Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Dian Nuswantoro
Kab/Kota: Solo
Partai Terkait
Jangan Menjadi Menara Gading
Solopos.com Jenis Media: News
SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)
Solopos.com, SOLO – Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta—selanjutnya disebut ISI Solo—merayakan ulang tahun ke-59 pada 15 Juli 2023 lalu. ISI Solo menjadi kampus seni yang secara konsisten berperan sebagai benteng bagi daya hidup tradisi.
Kala kampus-kampus seni lain di Indonesia mulai membuka diri lewat kemungkinan-kemungkinan baru, katakanlah dalam konteks seni pertunjukan, dengan menghadirkan program studi berbasis pendidikan (guru seni), ISI Solo masih terus bertafakur dengan pengarya seni (seniman).
PromosiRekomendasi 5 Wisata di Solo Baru, Mau Apa Aja Ada!
Itu pun seniman dengan basis tradisi kuat. Zaman telah berubah, segala kemungkinan patut disikapi bukan lagi dengan antipati, apalagi mengambil peran antagonistik. Sebutlah, misalnya (sekadar mengambil contoh), saat seni urban muncul di tengah-tengah masyarakat dengan nama “campursari”.
Cibiran bahkan hujatan diletupkan oleh kalangan akademikus yang sering kali melegitimasi diri sebagai kaum seniman ningrat. Mereka menganggap campursari sebagai bagian dari musik tak berkelas alias musik sampah.
Campursari adalah representasi musik gado-gado, tak jelas, tidak elite, tidak adiluhung, dan merusak kemapanan. Kendatipun musik jenis demikian laris manis di pasaran. Begitu juga saat kampus lain mencoba mengawinkan tradisi musik gamelan dengan teknologi digital yang disebut sebagai gamelan elektronik (e-gamelan).
ISI mengambil sikap jelas: menolak. Peristiwa itu dianggap sebagai bagian yang mengikis unikum gamelan. Tidak ada lagi “kehidupan” saat bunyi gamelan harus berpindah dari gaung agung di pendopo menjadi suara elektrik dalam pengeras suara telepon pintar.
Tidak lama kemudian Universitas Dian Nuswantoro sebagai penggagas e-gamelan mendapatkan penghargaan bertubi-tubi dari pemerintah (lewat Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi).
Program musik gamelan digital itu dipentaskan di banyak negara, digemari generasi muda, dan meringkas segala yang ribet dalam bergamelan. ISI Solo masih teguh bersikap terus menolak apa pun yang berpotensi mengganggu kenyamanan tradisi alias pakem.
Itu terjadi pula dalam episentrum seni lain, sebutlah misalnya pedalangan, tari, dan seni rupa. Indikasinya sederhana, bahwa tidak ada muatan mata kuliah yang secara khusus dan konsisten membahas—katakanlah—“seni dan teknologi”. Sebenarnya antipati bukan berarti tidak mau mengerti dan memahami.
Akibatnya, temuan-temuan baru dalam konteks teknologi dan seni senantiasa lahir dari kampus-kampus yang tak memiliki jurusan seni. Sudah saatnya ISI Solo tidak sekadar piawai dalam berkarya tradisi, ciamik dalam berwacana, namun menjadi muara bagi temuan-temuan karya seni baru yang dinamis, tidak mandek.
Gaya dan citra ISI Solo sebagai kampus pelestari seni tradisi patut dipertahankan, namun upaya untuk terus berbenah dengan mengambil langkah yang lebih progresif juga mendesak untuk dipertimbangkan.
Tradisi yang direkam, disusun, dirumuskan, serta dipertahankan selama puluhan tahun bukanlah dogma yang kaku, apalagi diyakini sebagai puncak estetika tiada tanding.
MengintelektualisasikanISI Solo berawal dari Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI). Ini adalah anak tangga berikutnya dari estafet pendidikan seni bernama Konservatori Karawitan (Kokar) di Kota Solo pada 1950.
Upaya untuk “mengintelektualisasikan” kesenian Jawa kala itu menghadapi jalan terjal karena belum terciptanya ukuran-ukuran atau rumus-rumus pasti tentang “cara bermain” dan “memproduksi” karya seni (gamelan, kala itu) yang bagus dan indah.
Setiap individu, kelompok, dan masyarakat memiliki ukuran yang berbeda-beda. Untuk itulah gerakan “mengilmiahkan” sesuatu yang tak ilmiah mulai digelorakan. Karya seni yang berkembang di masyarakat—dan tentu saja keraton, diambil, dibawa ke “laboratorium” guna dibongkar, dibedah, dipecah-pecah untuk dicari inti, nilai, dan keteraturan yang bersemayam di dalamnya.
Itu seperti membawa tikus sebagai kelinci percobaan. Pada konteks demikian, karya seni yang dibedah itu untuk sesaat beku, diam, atau bahkan mati. Dari hasil pembedahan itulah muncul rumus-rumus, ukuran-ukuran, norma, estetika, dan tekhnik yang diyakini kebenarannya.
Semua menjadi formula cara berkarya seni yang indah dan adiluhung. Pada rentang “pembedahan” yang memakan waktu panjang itu, karya seni sejenis di masyarakat telah berkembang, berubah, dan terus mengonstruksi diri sebagai sesuatu yang baru.
Peristiwa itu seperti foto dalam kartu tanda penduduk (KTP), diambil dalam pose yang distrukturkan, formal, dan rapi. Di luar itu, pemiliknya telah jauh berubah, baik potongan rambut maupun bobot tubuhnya.
Sementara kita dengan penuh keyakinan memercayai bahwa foto di KTP itu adalah representasi sosok paling ideal, di luar itu dipandang salah, bahkan pada persepsi si pemilik foto sekalipun.
Karena keyakinan itulah, karya-karya yang dihasilkan kampus seni senantiasa berjarak dengan masyarakat. Kita dengan mudah mengidentifikasi karya demikian sebagai “seni sekolahan”. Jenis seni demikian tentulah rumit, kompleks, dan barangkali ribet, alih-alih ilmiah dan akademis.
Seni sekolahan itu berpendar mencipta stereotipe baru sebagai gaya seni paling baik dan karenanya harus dipuja (atau ditakuti?). Lulusan kampus seni bergelar sarjana seni dengan seketika menjadi seniman aristokrat baru di daerah atau kampungnya.
Mereka terseok-seok kala harus bercengkerama dan berkarya bersama seniman-seniman pelosok desa. Ada gap atau sekat yang menjulang di antara keduanya. Gap itu tidak semata tentang konsep, teknik, pengetahuan, wacana, bahkan sampai pada hal paling substansial, yakni keyakinan dalam berkarya.
Pengetahuan yang dibawa dari dalam tembok kampus sama sekali tak mampu dioperasionalkan dengan baik, bahkan chaos. Jalan paling cepat adalah menyebut seniman-seniman desa itu belum terdidik alias belum tercerahkan.
Sementara bagi seniman-seniman kampung, sarjana seni itu ibarat dewa dengan produksi pengetahuan yang sama sekali tidak mereka pahami. Mereka dengan seketika meyakini bahwa pengetahuan demikian itu datangnya dari “langit” yang hanya dapat diproduksi oleh “kaum langitan” (kata lain dari seniman akademis).
Pada umur yang lebih dari setengah abad, ISI Solo sudah selayaknya berbenah, untuk kembali menentukan posisi di tengah-tengah masyarakat. Mempersempit jarak dan menghapus batas agar dalam setiap pementasan dan pameran, penikmat dan penonton bukan hanya dari kalangan tembok kampus, itu pun jika mereka tidak bosan dan jenuh.
Berbenah agar dalam setiap publikasi dari wacana ilmu pengetahuan tidak hanya dimengerti oleh orang-orang satu ruangan, tapi menyebabkan dahi berkerut bagi publik kebanyakan.
ISI Solo pada ulang tahun kali ini mengambil tema Seni dan Industri Budaya, Menuju Transformasi. Ada kata industri. Sebagaimana lazimnya, industri itu kejam. Sering kali menggilas apa pun tanpa belas kasih, tidak terkecuali tradisi.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Juli 2023. Penulis adalah etnomusikolog dan dosen Institut Seni Indonesia Solo)
Sentimen: positif (99.9%)