Frugal Living
Solopos.com Jenis Media: News
SOLOPOS.COM - Astrid Prihatini WD (Solopos/Istimewa)
Solopos.com, SOLO – Istilah frugal living beberapa hari ini sedang ngetren di TikTok. Banyak pengguna TikTok mengunggah video yang memperlihatkan mereka menjalani gaya hidup tersebut.
Banyak yang menganggap frugal living adalah gaya hidup pelit, terutama kepada diri sendiri, dan identik dengan hidup susah. Benarkah? Dilihat dari segi bahasanya, frugal artinya hemat, sementara living artinya hidup.
PromosiRekomendasi 5 Wisata di Solo Baru, Mau Apa Aja Ada!
Kalau diartikan secara harfiah maka frugal living adalah gaya hidup hemat. Lebih dalam lagi atau seperti yang dikutip dari laman wealthsimple, frugal living adalah gaya hidup yang lebih menekankan pada mindfulness atau kesadaran seseorang ketika menggunakan uang tanpa mengesampingkan value dari suatu barang.
Terkadang gaya hidup seperti ini kerap dicap pelit oleh sebagian orang, padahal keduanya sangat berbeda karena orang pelit tidak mau berbagi. Dalam frugal living kita dituntut untuk hidup mindfulness atau berkesadaran atas uang yang dibelanjakan.
Berkesadaran atas barang yang dibeli, value yang didapat, hingga dampak yang lebih luas terhadap lingkungan tanpa kehilangan esensi nilai-nilai kemanusiaan seperti berbagi dengan sesama dan berderma.
Frugal living ini cocok diterapkan kaum muda yang terbiasa dengan gaya hidup konsumtif, misalnya gonta-ganti handphone dengan keluaran terbaru padahal yang lama masih bisa digunakan, membelanjakan uang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, dan lain sebagainya.
Kenapa kita jadi boros dan hobi berbelanja? Biasanya perilaku ini didorong alasan self reward atau pengakuan. Ini seperti pengalaman saya saat belum mengenal frugal living. Saya boros dan cenderung impuls buying.
Alasan kenapa saya boros adalah saya merasa sudah bekerja keras, jadi sah-sah saja dong saya membelanjakan uang yang tersisa untuk self reward. Saya butuh self reward atas kerja keras dan pencapaian saya.
Suatu saat saya melihat praktisi yoga Dylan Werner. Saya jadi pengikutnya di Instagram. Dia sering bepergian ke banyak negara untuk mengajar yoga, namun barang yang dia miliki hanya di satu koper kecil.
Untuk tempat tinggal sebelum pindah ke Bali, dia memilih menyewa apartemen full furnished sehingga dia tidak perlu membelanjakan uang untuk membeli perabotan rumah tangga.
Berkat gaya frugal living tersebut, dia sekarang bisa membeli vila di Bali. Dia juga membuka kelas yoga di vila tersebut, selain tentu saja menerima undangan mengajar di luar negeri.
Saya merasa tertampar. Ternyata bisa ya orang hidup dengan barang seadanya seperti itu? Nyatanya Dylan Werner bisa dan hidupnya juga baik-baik saja. Sebetulnya dampak positif frugal living bukan hanya kepada diri sendiri, berupa tabungan semakin meningkat, melainkan juga berdampak secara luas terhadap kelestarian lingkungan hidup dan bumi kita.
Bayangkan jika semua orang bisa menerapkan frugal living, berapa ton sampah fashion dan sampah elektronik yang bisa dipangkas? Saat ini beban bumi kita bukan hanya peningkatan populasi manusia, melainkan juga peningkatan volume sampah.
Menurut laporan Prospek Populasi Dunia 2022 Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB, populasi global diproyeksikan mencapai 8,5 miliar orang pada 2030, lalu menjadi 9,7 miliar orang pada 2050, meningkat menjadi 10,4 miliar orang pada 2080, dan akan bertahan sampai 2100.
Jumlah populasi penduduk Indonesia per 1 Juli 2022 adalah 277.402.144 jiwa dengan jumlah kelahiran per hari 12,140 dan jumlah kematian per hari 5,718. Indonesia berada di urutan keempat dunia di bawah Amerika Serikat. Jumlah penduduk Indonesia 277.402.144 jiwa dan Amerika Serikat 338.653.036 orang.
Dengan jumlah penduduk sebesar itu, sampah yang dihasilkan Indonesia juga besar. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada 2022, timbulan sampah di Indonesia 28,75 juta ton per tahun, sedangkan sampah terkelola mencapai 18,46 juta ton per tahun, dan sampah tidak terkelola 4,31 juta ton per tahun.
SIPSN juga mencatat bahwa komposisi sampah berdasarkan jenis didominasi oleh sampah sisa makanan sebanyak 41,9%; sampah tumbuhan (kayu, ranting, dan daun) 12%, sampah kertas atau karton 10,7%; sampah plastik 18,7%; dan sampah lainnya 6,9%.
Komposisi sampah berdasarkan sumber sampah masih didominasi oleh rumah tangga dengan angka mencapai 37,6%, pasar tradisional sebanyak 16,6%, dan pusat perniagaan mencapai 22,1%.
Sedangkan sampah fashion, sebagai gambaran, pada 2018, Zero Waste Indonesia menemukan fakta mengenai jumlah limbah tekstil yang mendominasi polutan di lautan bahkan lebih banyak dibandingkan sampah plastik.
Limbah pakaian selain dihasilkan oleh aktivitas industri juga didapatkan dari gaya hidup masyarakat yang membuang pakaian bekas. YouGov mencatat terdapat sekitar 66% masyarakat dewasa membuang paling tidak satu potong pakaian mereka per tahun dan sekitar 25% membuang setidaknya lebih dari 10 potong pakaian per tahun.
Di samping itu, sebanyak 41% kalangan milenial di Indonesia juga menjadi konsumen produk fast fashion yang menyumbangkan potensi sampah pakaian lebih banyak lagi. Nah, dengan menerapkan frugal living sebagai gaya hidup, kita secara tidak langsung juga berkontribusi mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan.
Menerapkan frugal living sebenarnya juga sangat mudah, antara lain, mengatur dan mencatat pengeluaran, sebelum membeli barang pikirkan dulu apakah karena dilandasi kebutuhan atau keinginan, dan tidak perlu mengikuti tren atau gengsi. Selamat mencoba.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Juli 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)
Sentimen: negatif (99.9%)