Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: BSI
Kasus: kejahatan siber, serangan siber
Tokoh Terkait
bjorka
Kebocoran Data Bisa Ancam Nyawa, Pemerintah Gagap Tangani Serangan Siber
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Indonesia saat ini seakan mengalami 'pandemi' kebocoran data. Dalam 2-3 bulan terakhir, insiden kebocoran data terus terjadi dan menyerang berbagai sistem. Menurut pakar keamanan siber sekaligus Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, kebocoran data sebenarnya sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu, tetapi perlindungan data tetap tidak dilakukan maksimum.
"Mau dibawa ke mana perlindungan data kita setelah puluhan tahun kita perjuangkan bersama agar ada aturan main perlindungan data? Volume kebocoran data yang mengandung unsur-unsur data pribadi sangat masif dan sudah bocor dan 'netes' sejak puluhan tahun," kata Ardi, Senin, 17 Juli 2023.
Sekarang, ia menambahkan, kebocoran data itu semakin parah dengan adanya teknologi Artificial Intelligence (AI) yang mampu mempercepat rekonsiliasi berbagai elemen data-data curian yang sudah bocor. Ada tambahan pula teknologi deepfakes yang akan mengubah tatanan global bagaimana kita mempresentasikan diri masing-masing.
Insiden terakhir adalah dugaan kebocoran data yang informasinya dibagikan melalui deep web Breach Forum. Dugaan kebocoran data itu diungkap akun Twitter @secgron pada Minggu, 16 Juli 2023. Di dalam unggahan itu muncul gambar kutipan kebocoran data yang dilakukan sebuah akun Breach Forum dengan nama RRR.
Baca Juga: 34 Juta Data Paspor Warga Indonesia Bocor Diduga Ulah Bjorka, BSSN Buka Suara
Informasi mengenai kebocoran diduga data 337 juta masyarakat Indonesia yang terjadi di forum Breach Forum pada Senin, 17 Juli 2023
Data yang dibocorkan adalah data yang diambil dari Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Data yang diambil merupakan data termutakhir hingga Juli 2023, meliputi data nomor induk kependudukan (NIK), no kartu keluarga (no KK), nama ayah ibu dan lainnya.
Sebelumnya, ada pula dugaan kebocoran data 34 juta paspor warga negara Indonesia. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) masih melakukan investigasi bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), dan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen Imigrasi Kemenkumham). Beberapa bulan lalu, ada juga insiden siber yang dialami Bank BSI.
Di dunia, permasalahan keamanan siber juga sedang melanda. Ardi membagikan beberapa informasi seperti kejahatan siber yang dilakukan peretas asal Rusia ke perusahaan akunting di Australia, kebocoran data pasien di Amerika Serikat, serta dugaan spionase China yang meretas surat elektronik pemerintahan di AS.
Baca Juga: Dilema UU Perlindungan Data Pribadi, Ancaman Hukuman Tinggi tapi Punya Celah
Namun, kata dia, pemerintah Indonesia masih berfokus pada hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami. Padahal, serangan siber saat ini sudah tidak lagi mengikuti pola-pola lama yang selama ini kita semua pahami.
"Dan kita sebenarnya sudah lama menyadari kalau persoalan-persoalan dan ancaman-ancaman siber tidak lagi bisa diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan birokrasi karena menyangkut dua hal yakni nyawa manusia dan kelangsungan hidup dunia usaha," sebutnya.
Selain itu, ia menambahkan, masalah keamanan dan ketahanan siber bukan monopoli lembaga tertentu. Tetapi, kuncinya adalah bagaimana bisa memahami dan membangun budaya digital dan membangun kolaborasi dengan tingkat pemahaman yang sama dengan pihak lain.
"Masih banyak pihak yang tidak paham tentang kebocoran data. Data-data yang bocor dijadikan apa? Kebocoran data adalah awal dari tindakan-tindakan kejahatan lainnya, termasuk kegiatan mata-mata," katanya.
Baca Juga: Di Balik Ketenaran Threads, Ada Banyak Data Pribadi yang Dikumpulkan dari Pengguna
Budaya Digital
Ardi menuturkan, budaya digital harus ada pada semua pembuat kebijakan yang dibenamkan dari kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, masalah keamanan dan ketahanan siber serta perlindungan data bukan sekadar menghapal isi pasal-pasalnya.
"Budaya digital berlaku untuk semua pengguna teknologi digital, termasuk pemerintah, pejabatnya, regulator, dan seterusnya. Sekarang, kalau tidak memiliki pemahaman budaya digital, lantas bagaimana bisa memiliki kepekaan atas risiko dan dampaknya?" ujarnya.
Saat ini, ia beranggapan, pemerintah, legislator, dan regulator tidak memiliki cara pandang sebagai pihak yang terdampak dan dirugikan dalam kebocoran data. Hal itu mengakibatkan mereka merasa aman-aman saja.
Pemerintah pun akhirnya merespons sekenanya terkait insiden keamanan siber yang terjadi karena memang tidak paham harus berbuat apa lagi. Sementara di sisi lain, masyarakat berharap pemerintah bisa memberikan jawaban konkret yang jelas.
Ia pun mengingatkan kembali bahwa Indonesia hanya konsumen digital dan tidak tahu seluk-beluk teknologi yang digunakan, termasuk risikonya. Padahal, kebocoran data bisa menjadi sinyal awal tindakan kejahatan lainnya seperti tindakan mata-mata sehingga penanganan melalui elaborasi dengan pemahaman yang setara sudah harus dilakukan.***
Sentimen: negatif (100%)