Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Tangerang, bandung, Semarang, Bogor, Batang, Depok, Klaten, Jepara, Temanggung, Duren Sawit, Pondok Kelapa, Yogyakarta, Sleman, Solo, Magelang, Pangkal Pinang
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Tak Lolos Jalur Zonasi PPDB, Siswa dari Keluarga Miskin Terpaksa Daftar ke Sekolah Swasta
Gelora.co Jenis Media: News
GELORA.CO - Perhimpunan Pendidikan dan Guru menyebut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 2023 kacau balau lantaran adanya berbagai persoalan yang ditemukan di lapangan. Mulai dari manipulasi Kartu Keluarga, jual beli kursi, hingga siswa "titipan" dari pejabat atau tokoh masyarakat.
Salah satu korban kebijakan PPDB adalah Anastasia, siswa SMP di Kelurahan Pondok Kelapa, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Yati, ibu Anastasia, bercerita anaknya tidak lolos jalur zonasi lantaran kalah dengan siswa lain yang usianya lebih tua.
Umur Anastasia, ungkapnya, tahun ini 15 tahun dan tiga bulan. Sedangkan sekolah yang dituju anaknya mensyaratkan minimal usia 16 tahun.
"Jadi karena usia nggak lolos, dianggap terlalu muda. Padahal kalau nilai masuk," ujar Yati kepada BBC News Indonesia, Kamis (13/07).
Tapi yang bikin dia tambah kesal adalah soal penentuan zonasi sekolah yang disebutnya "aneh".
Sebab zonasi sekolah yang dituju anaknya yaitu SMA Negeri 91 Jakarta tidak mencakup wilayah tempat tinggalnya.
SMA Negeri 91 Jakarta, sambung Yati, hanya melingkupi RT 1, 2, dan RT 10 di Kelurahan Pondok Kelapa.
Sementara dia menetap di RT 8. Padahal jarak antara RT-nya dengan RT 2 sangat dekat.
"Makanya saya bingung, jaraknya dekat tidak sampai 500 meter kok tidak masuk zonasi," ucapnya kesal.
Ibu empat anak ini mengaku sangat kecewa karena anaknya tak lolos masuk ke sekolah negeri.
Sebab, kalau Anastasia harus ke sekolah swasta bakal memberatkan keluarganya. Pasalnya, ayah Anastasia berprofesi sebagai tukang ojek.
"Saya dari awal pendaftaran sekolah sudah pantau semua jalur zonasi sekolah mulai dari gelombang pertama sampai terakhir. Tapi malah nggak lolos, yah mau tidak mau, daripada anak saya nggak sekolah," keluh Yati.
Di sekolah swasta tempat anaknya sekarang, Yati harus membayar uang pendaftaran atau yang disebut 'uang gedung' sebesar Rp2,7 juta.
Kemudian uang seragam sekolah sekitar Rp700.000. Belum lagi harus membeli Lembar Kerja Siswa (LKS).
Yati dan suaminya bingung bagaimana mendapatkan uang sebesar itu.
"Yah mau gimana lagi. Mahal banget soalnya, tapi demi anak... karena yang diutamakan tadinya sekolah negeri. Kartu Jakarta Pintar (KJP) juga nggak ada."
"Kalau ditotal jumlahnya hampir Rp4 juta masuk sekolah swasta."
Pengalaman buruk soal zonasi tidak hanya dialami Yati dan anaknya saat mendaftar sekolah menengah atas, tapi juga saat pendaftaran sekolah menengah pertama.
Anastasia, kata Yati, juga terganjal masalah usia kala itu sehingga terpaksa masuk ke SMP Terbuka.
Itulah kenapa dia minta pemerintah agar melihat langsung persoalan di masyarakat dan membenahi sistem zonasi.
"Menyulitkan sistem begini, kasihan anak saya. Pengennya seperti dulu, zonasi dihapus saja."
"Bayangin kalau satu keluarga anaknya banyak dan masuk swasta semua karena nggak lolos zonasi, berapa biayanya? Saya saja anak satu bingung."
Di Kelurahan Pondok Kelapa terdapat 48 sekolah. Dari jumlah itu, sekolah swasta lebih banyak daripada sekolah negeri.
Di tingkat sekolah dasar, tercatat ada 16 sekolah swasta dan delapan sekolah negeri.
Jenjang sekolah menengah pertama, terdapat 11 sekolah swasta dan tiga sekolah negeri.
Untuk tingkat sekolah menengah atas, ada dua sekolah swasta dan dua sekolah negeri.
Sedangkan jenjang sekolah menengah kejuruan berjumlah enam, yang seluruhnya berstatus swasta.
Nasib serupa juga dialami Yassarah Hasna.
Siswi 12 tahun itu harus mengenyam pendidikan di sekolah swasta setelah gagal seleksi jalur zonasi ke dua SMP Negeri.
Jarak dari rumah ke lokasi SMP negeri pilihan pertama sekitar 1,3 kilometer dan 1,6 kilometer ke SMP negeri pilihan kedua. Sementara passing grade jalur zonasi ke dua SMP negeri tersebut hanya berjarak sekitar 500 meter.
"Saya kecewa banget dengan sistem pendidikan sekarang ini. Anak saya terus saja tergeser dari daftar sampai hilang. Anehnya, di sini banyak yang daftar ke sekolah yang sama dan lolos, padahal rumahnya lebih jauh," ungkap ibunda Yassarah, Yeni Saeni, kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Yeni mengaku sempat ditawari seseorang yang mengaku bisa meloloskan anaknya ke SMP negeri tujuan dengan imbalan sejumlah uang. Namun tawaran itu ditolaknya.
"Ada teman saya minta Rp4 juta. Astaghfirullah sampai segitunya sekolah zaman sekarang," ucap Yeni.
Dia berharap seleksi penerimaan siswa di sekolah negeri bisa kembali ke sistem NEM (Nilai EBTANAS Murni) di mana prestasi akademik siswa betul-betul dihargai dan si anak bisa bersekolah di sekolah negeri yang sesuai dengan kemampuan akademisnya.
Apa saja masalah-masalah dalam pelaksanaan PPDB?
Kepala bidang litbang pendidikan di Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Feriyansyah, mengatakan apa yang dialami Anastasia juga terjadi pada keluarga tidak mampu lainnya di banyak daerah.
Mereka -yang disebut sebagai siswa jalur afirmasi- tidak tertampung di sekolah negeri. Padahal tujuan dari kebijakan PPDB sesungguhnya agar anak dari keluarga miskin bisa mengakses sekolah negeri.
Faktor utama mengapa mereka tidak lolos jalur zonasi, menurut Feri, karena ketidakjelasan penyelenggara PPDB yakni dinas pendidikan menentukan zonasi sekolah.
Berdasarkan pantauannya, dinas kerap menggunakan fitus aplikasi peta google maps ketika menetapkan zonasi.
"Ini kan aneh, di lapangan banyak yang mempertanyakan zonasi kok seperti itu?" ujar Feri kepada BBC News Indonesia.
Sementara situasi di lapangan tidak sesederhana itu.
Kebanyakan sekolah-sekolah negeri dan swasta, kata Feri, berada di pusat suatu wilayah atau sebarannya tidak merata. Sedangkan pertumbuhan masyarakat semakin tinggi dan semakin lama semakin ke area pinggiran.
Kalau mau menggunakan sistem zonasi, maka otomatis anak-anak yang tinggal di daerah pinggiran kota tidak bisa mendaftar ke sekolah yang dituju.
Belum lagi semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit pula jumlahnya.
"Jadi sekolah enggak bertambah, sedangkan warga terus bertambah dan akses terhadap tempat tinggal makin ke ujung. Ini kan enggak rasional."
Koordinator Nasional P2G, Satriawan Salim, mencontohkan di DKI Jakarta, jumlah calon peserta didik baru tahun 2023 untuk jenjang SMP/MTs adalah 149.530 siswa. Tetapi total daya tampung sekolah hanya 71.489 siswa atau sekitar 47,81%.
Di jenjang SMA/MA/SMK situasinya juga sama. Jumlah calon peserta didik baru tahun 2023 mencapai 139.841 siswa, sedangkan total daya tampung hanya 28.937 siswa atau 20,69%.
Adapun daya tampung jenjang SMK justru lebih sedikit lagi hanya 19.387 siswa atau 13,87%.
"Data itu menunjukkan kondisi sekolah negeri di Jakarta, makin tinggi jenjang sekolah, makin sedikit ketersediaan bangkunya," jelas Satriawan.
"Implikasinya adalah dipastikan tidak semua calon siswa bisa diterima di sekolah negeri. Akhirnya swasta menjadi pilihan terakhir."
Persoalan lain yang dicatat P2G yakni adanya praktik migrasi domisi melalui Kartu Keluarga (KK) calon siswa ke wilayah sekitar sekolah yang dinilai favorit oleh orangtua.
Praktik ini umumnya berlangsung di wilayah yang punya sekolah "unggulan".
Modusnya dengan memasukkan atau menitipkan nama calon siswa ke KK warga sekitar. Seperti yang pernah terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur, dan terbaru di kota Bogor.
Dampak berikutnya dari kebijakan PPDB adalah adanya sekolah yang kekurangan siswa atau sekolah tersebut sepi peminat.
Penyebabnya karena jumlah calon siswa yang sedikit, kemudian jumlah sekolah negeri yang banyak dan berdekatan lokasinya satu sama lain, serta lokasi sekolah jauh di pelosok pedalaman atau perbatasan yang aksesnya sulit.
"Intinya sebaran sekolah negeri tak merata."
Berdasarkan pemantauan P2G, kasus ini terjadi di Magelang, Temanggung, Solo, Sleman, Klaten, Batang, dan Pangkal Pinang.
Di Batang, ada 21 SMP negeri kekurangan siswa pada PPDB 2022. Lalu di Jepara, dalam PPDB 2023 hingga akhir Juni tercatat 12 SMP negeri masih kekurangan siswa.
"Di Yogyakarta ada tiga SMA negeri yang masih kekurangan siswa. Di kabupaten Semarang dalam PPDB 2023 ini sebanyak 99 SD negeri tak dapat siswa baru sehingga guru harus mencari murid dari rumah ke rumah," ungkap Feriyansyah, Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G.
Masalah dalam PPDB yang juga sering muncul, kata Feri, adalah praktik jual beli kursi, pungli, dan siswa "titipan" dari pejabat atau tokoh masyarakat di wilayah tersebut.
Dari laporan yang masuk ke lembaga ini, kasus tersebut terjadi di Bali, Bengkulu, Tangerang, Bandung, dan Depok.
Modusnya, sambung Feri, menitipkan siswa atas nama pejabat tertentu ke sekolah. Panitia PPDB sekolah yakni kepala sekolah, sebutnya, tidak punya kekuasaan untuk menolak.
"Jadi selama PPDB tak hanya jalur zonasi, prestasi, afirmasi yang ada, tetapi juga ada jalur intervensi, intimidasi, dan surat sakti," cetus Feri.
Kemendikbud harus evaluasi PPDB
Kepala bidang litbang pendidikan di Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Feriyansyah, mendesak Kemendikbud agar mengevaluasi kebijakan PPDB yang telah diberlakukan sejak 2017 tersebut.
Meski telah enam tahun berlangsung, tapi setiap tahun persoalan yang sama terus berulang dan semakin kacau.
Salah satu yang harus dibenahi menurut Feri adalah jalur zonasi. Di mana penyelenggaranya dinas pendidikan harus akuntabel, transparan, dan bertanggung jawab.
Untuk kepala daerah, Feri berpesan agar memperhatikan pola pembangunan yang menyertakan pendidikan.
"Harusnya kepala daerah itu ada kebijakan menambah kelas, karena sekolah negeri makin langka. Ketika pertumbuhan warganya bertambah, harusnya bisa diprediksi kebutuhan sekolah bakal meningkat. Tapi ini dibiarkan."
"Sekolah jadi makin mahal, karena permintaan tinggi, jumlahnya sedikit."
Apa tanggapan Kemendikbud?
Merespons masalah yang timbul dari kebijakan PPDB, Kemendikbud menilai hal tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (pemda).
Direktur Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah, Iwan Syahril, mengatakan pemda memiliki keleluasaan menentukan susunan calon peserta didik yang bisa mendaftar ke PPDB di daerah masing-masing.
Ini karena pemda dinilai yang paling mengetahui bagaimana kondisi serta apa yang menjadi kebutuhan terkait penyelenggaraan pendidikan di daerahnya.
Kata dia, setiap daerah memiliki empat jalur pendaftaran PPDB tahun ajaran 2023/2024, di antaranya:
- Zonasi, SD paling sedikit 70%, SMP paling sedikit 50%, SMA paling sedikit 50%.
- Afirmasi, paling sedikit 15%.
- Perpindahan orangtua/wali, paling banyak 5%.
- Prestasi nilai rapor, jika persentase kuota masih tersisa.
Menurut Iwan, empat jalur ini seharusnya memberikan kesempatan adil bagi setiap peserta didik. Jalur zonasi juga bukan satu-satunya seleksi yang ada di PPDB.
"Prinsip pelaksanaan PPDB dilakukan tanpa diskriminasi, kecuali bagi sekolah yang secara khusus dirancang untuk melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama tertentu," kata Iwan seperti dilansir Kompas.com, Kamis (13/07).
Sementara itu, Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek, Chatarina Muliana Girsang, mengakui proses PPDB 2023 masih terdapat kelemahan pada sisi sosialisasi dan pengawasan di tingkat daerah.
Oleh karena itu, pihaknya mengimbau dinas pendidikan setempat memberikan sosialisasi dan pengawasan secara ketat agar pelaksanaan PPDB berjalan dengan baik.
Pihaknya meminta sebelum penyelenggaraan PPDB tingkat SMP, pihak SD harus memberikan sosialisasi kepada orangtua murid kelas 6.
Kemendikbudristek juga akan mengevaluasi regulasi PPDB yang saat ini berlaku untuk mengatasi kecurangan administrasi, melakukan pengawasan yang lebih ketat di lapangan, dan membentuk satuan tugas di tingkat pemda.
Apa itu jalur zonasi?
Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru disingkat PPDB adalah suatu sistem penentuan wilayah atau zona geografis yang digunakan untuk membatasi area pendaftaran dan penempatan siswa pada sekolah-sekolah. Ini dilakukan untuk mempercepat pemerataan pada sektor pendidikan.
Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sistem zonasi merupakan kebijakan dari sistem rayonisasi. Rayonisasi itu sendiri lebih memperhatikan pada capaian siswa di bidang akademik, sementara sistem zonasi lebih menekankan pada jarak atau radius antara rumah siswa dengan sekolah.
Pelajar yang rumahnya lebih dekat dengan suatu sekolah lebih berhak mendapatkan pendidikan di sekolah tersebut.
Tujuannya:
- Memeratakan akses pendidikan, karena dengan adanya jalur zonasi bisa membuat semua anak mendapatkan haknya untuk menerima pendidikan dengan jarak yang dekat
- Mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga, sehingga orang tua akan lebih mudah ketika memantau perkembangan anak dan kegiatan sekolahnya.
- Menghapuskan eksklusivitas dan diskriminasi, tidak ada lagi klasifikasi sekolah favorit dan tidak favorit.
- Membantu pemerintah daerah dalam memberikan bantuan, untuk tercapai peningkatan kualitas pendidik.
Sumber: bbc
Sentimen: negatif (98.5%)