Sentimen
Negatif (99%)
3 Jul 2023 : 17.20
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Paris

Kasus: penembakan

Tokoh Terkait

Korban Penembakan di Prancis, Nahel Merzouk Dimakamkan

Sumutpos.co Sumutpos.co Jenis Media: News

3 Jul 2023 : 17.20
Korban Penembakan di Prancis, Nahel Merzouk Dimakamkan

SUMUTPOS.CO – Suasana haru dan sedih menyelimuti prosesi pemakaman Nahel Merzouk yang merupakan korban penembakan polisi di Prancis di Masjid Ibn Badis di Nanterre, Prancis, Sabtu (1/7). Ratusan orang datang untuk menyalati Nahel sebelum dimakamkan di pemakaman setempat.

Setidaknya ada lebih dari 300 orang yang tidak bisa memasuki masjid karena sudah penuh. Mereka memilih berdoa di luar masjid.

Tidak ada polisi yang berjaga di area masjid. Mereka ditempatkan di jalanan sekitar masjid dan area yang akan dilalui oleh iring-iringan pelayat ke pemakaman. Pihak keluarga menyewa puluhan mediator yang bertindak sebagai penghubung antara masyarakat dan para pejabat setempat. Mereka diminta untuk menjaga ketertiban dan menghentikan siapa pun yang merekam ataupun mengambil foto. Aturan itu juga berlaku untuk para pekerja media. Ibu Nahel, Mounia, ingin prosesi pelepasan putra semata wayangnya tersebut dilakukan dengan khusyuk.

Dalam sebuah wawancara dengan saluran televisi Prancis, Mounia mengungkapkan bahwa dirinya hanya marah kepada petugas kepolisian yang membunuh anaknya. Dia tidak marah pada seluruh jajaran kepolisian.

”Seorang petugas polisi tidak bisa mengambil senjatanya dan menembaki anak-anak kami, mengambil nyawa anak-anak kami,” terang Mounia.

Dia mengungkapkan, kalimat terakhir yang diucapkan Nahel di hari kematiannya adalah bahwa dia mencintai sang ibu. Saat itu, mereka keluar rumah di waktu yang sama untuk pergi bekerja. Nahel bekerja menjadi kurir pengantar barang.

”Dia memeluk dan mencium saya, lalu berkata bahwa dia mencintai saya. Saya katakan kepadanya agar berhati-hati,” kenang Mounia. Baginya, Nahel adalah segalanya. ”Saya hanya memilikinya, dia sahabat terbaik saya, putra saya, dan kami sangat dekat,” tambahnya.

Nahel selama ini dikenal sebagai sosok yang baik dan selalu bahagia. Kawan-kawannya menyebut bahwa suasana hati pemuda 17 tahun tersebut hampir selalu bagus. Dia jarang marah atau bersedih. Karena itu, orang-orang di sekelilingnya begitu sedih ketika tahu Nahel meninggal dengan cara mengenaskan. Selasa (27/6) lalu dia ditembak mati oleh polisi karena mobilnya tidak berhenti saat melanggar rambu lalu lintas di Nanterre.

Pemuda keturunan Aljazair dan Maroko itu dibesarkan di area perkebunan bernama Pablo Picasso di Vieux-Pont, Nanterre, pinggiran Kota Paris. Area tersebut menjadi rumah bagi banyak imigran. Mounia yang merupakan keturunan Aljazair adalah orang tua tunggal bagi Nahel. Aljazair merupakan bekas jajahan Prancis yang menyumbang sebagian besar imigrasi Afrika Utara ke Prancis.

Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron membatalkan lawatan kenegaraannya ke Jerman yang seharusnya berlangsung pada 2–4 Juli ini. Dia sempat dikritik bertubi-tubi gara-gara tertangkap kamera tengah menonton konser Elton John pada Rabu (28/6) ketika demo sedang panas-panasnya dan banyak mobil serta bangunan terbakar.

Demo di Prancis terkait kematian Nahel masih berlangsung meski tidak semasif beberapa hari sebelumnya. Polisi mengerahkan 45 ribu petugas keamanan, unit khusus, kendaraan tempur, dan helikopter di penjuru negeri untuk berjaga. Bala bantuan akan dikirimkan ke Marseille pada Sabtu menyusul laporan dari wali kota setempat tentang kekerasan dan penjarahan.

Di L’Hay-les-Roses, pendemo, menabrakkan mobil ke rumah Wali Kota Vincent Jeanbrun, lalu membakarnya. Istrinya terluka saat berusaha melarikan diri bersama anak-anaknya untuk menghindari demonstran. Kasus tersebut masih diselidiki.

Ribuan demonstran sudah ditahan sejak hari pertama. Pada malam keempat, polisi menangkap sekitar 2.400 orang dan 719 orang lainnya di malam kelima atau Sabtu (1/7). Total ada 3.119 orang yang kini dipenjara karena aksi demo tersebut. Mayoritas adalah pemuda yang masih berusia belasan tahun. Yang termuda berusia 13 tahun. Penduduk mengecam kekerasan yang terjadi. Tapi, tidak bisa menyalahkan demonstran sepenuhnya.

”Kami paham kenapa anak-anak kami marah. Mereka pasti berpikir, bagaimana jika berikutnya adalah salah satu dari kita?” ujar Catherine seperti dikutip NPR. (jpc/ram)

Sentimen: negatif (99.2%)