Sentimen
Negatif (100%)
4 Jul 2023 : 10.00
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Solo

Kasus: covid-19, korupsi

Pemberontakan

Solopos.com Solopos.com Jenis Media: News

4 Jul 2023 : 10.00
Pemberontakan

SOLOPOS.COM - R. Bambang Aris Sasangka (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Seruan  pemberontakan menjadi hal yang digemari orang ketika berupaya memaksakan kehendak. Di tengah kancah perang Rusia-Ukraina, tentara bayaran dari perusahaan Wagner yang dipimpin Yevgeny Prigozhin memberontak terhadap pemerintah Rusia yang mengontrak mereka.

Prigozhin dan pasukannya selama ini sering mengeluhkan strategi militer Rusia dalam invasi mereka ke Ukraina. Sang bos tentara bayaran yang sebelum ini dikenal sebagai pendukung garis keras Presiden Rusia Vladimir Putin belakangan menjadi salah satu pengkritiknya yang paling keras.

Promosi5 Rekomendasi Hotel di Solo Termewah untuk Berlibur

Kabarnya pemberontakan itu hanya berlangsung sehari karena, ya, urusannya bukan benar salah atau soal “demi kepentingan tanah air.” Soalnya jelas kepentingan pribadi. Prigozhin menarik mundur pasukannya karena kabarnya dia sudah mencapai kesepakatan dengan pemerintah Rusia agar tak dikenai tuntutan hukum.

Prigozhin dan pasukannya sempat dielu-elukan rakyat di Kota Rostov-on-Don yang mereka duduki sehari saat pemberontakan terjadi. Pemberontakan Prigozhin juga dinilai para politikus Barat sebagai pertanda melemahnya wibawa Presiden Putin.

Pemberontakan juga belakangan ini diserukan sejumlah orang di Indonesia. Ada politikus gaek Amien Rais yang menyerukan perlunya menurunkan Presiden Joko Widodo. Seruan serupa juga diungkapkan oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana.

Seruan-seruan ini sungguh aneh sebenarnya diperdengarkan pada saat sekarang ini, ketika pemilihan umum anggota legislatif tingkat pusat dan daerah, pemilihan kepala daerah, dan yang paling penting, pemilihan presiden, semuanya bakal berlangsung dalam tempo kurang dari setahun.

Kondisi sosial dan ekonomi saat ini relatif bagus. Memang ada perubahan harga-harga sejumlah bahan kebutuhan pokok menjadi lebih tinggi. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi kalau mau dilihat memang belum banyak membawa angin segar.

Kalau mau membandingkan dengan situasi pada 1997-1998 yang menjadi pemicu lengsernya Presiden Soeharto, kondisi sekarang amat sangat baik dan stabil. Seruan-seruan untuk menurunkan Presiden Joko Widodo itu jadi bisa “dimaklumi” karena saat ini sudah tahun politik.

Inilah saat ketika semua orang yang punya ambisi politik mencari-cari dan menciptakan panggung dan podium bagi dirinya dan kelompok pendukungnya untuk berkicau menarik perhatian. Tidak peduli soal benar atau salah, tidak peduli soal masa depan bangsa atau kemajuan negara. Yang penting berteriak, bak menabuh kaleng dan galon air kosong biar berisik saja.

Saya setuju dengan pendapat bahwa dalam dua periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo belum bisa mencapai banyak hal yang dia janjikan. Oligarki masih mencengkeram kuat, pemberantasan korupsi terasa seperti terengah-engah.

Memang makin banyak orang ditangkap soal korupsi, tapi kok, ya, terasa seperti tak ada habis-habisnya sehingga kita mempertanyakan sebenarnya orang takut pada hukum atau tidak? Semua kebijakan Presiden Joko Widodo masih sering terasa tidak terlaksana sampai di tataran bawah.

Berbasis semua hal itu apakah layak responsnya adalah seruan pemberontakan yang sulit dipisahkan dari niat menggulingkan pemerintahan? Kita tidak bisa lupa dengan kerusuhan yang terjadi pascapemilu 2019, ketika golongan-golongan yang menjadi lawan politik Presiden Joko Widodo—sebagai petahana—berupaya memicu aksi kekerasan di jalanan dengan tabir people power.

Upaya itu kandas karena people alias rakyat yang mereka jadikan bahan dalih tidak menanggapi aksi itu, bahkan merasa tidak punya kepentingan dengan apa yang diteriakkan para anasirnya. Pemberontakan justru makin menjadi isu yang kontraproduktif dengan kondisi aktual sekarang.

Negeri ini sedang sibuk memulihkan diri dari dampak pandemi Covid-19 yang membuat semua negara kecolongan dan tertatih-tatih, jatuh bangun dalam penanganannya. Ketika pemulihan dari dampak pandemi masih berjalan, ada pukulan baru berupa perang Rusia-Ukraina yang mengganggu perekonomian di negara-negara Barat, khususnya Eropa, yang selama ini jadi mitra dagang utama Indonesia.

Gerakan perlawanan, harus diakui, memang juga menjadi bagian dari dinamika demokrasi. Civilizations grow by agreements and accomodations and accretions, not by repudiations. The rebels and the revolutionaries are only eddies, they keep the stream from getting stagnant but they get swept down and absorbed, they’re a side issue. Quiet desperation is another name for the human condition. If revolutionaries would learn that they can’t remodel society by day after tomorrow — haven’t the wisdom to and shouldn’t be permitted to — I’d have more respect for them … Civilizations grow and change and decline — they aren’t remade.

Begitu menurut novelis Wallace Stegner dalam Angle of Repose. Arti kutipan itu lebih kurang adalah pengakuan bahwa peradaban dibentuk melalui kesepakatan dan penerimaan atas ide-ide, bukan terkait penolakan-penolakan. Aksi perlawanan dan para pelakunya memang dibutuhkan, namun sebatas menjaga agar aliran kehidupan tidak stagnan atau terhenti.

Setelah itu, menurut Stegner, para pelaku perlawanan itu bakal hanyut. Kaum revolusioner, kata dia, harus belajar bahwa mereka tak bisa mengubah keadaan hanya dalam sehari. “Peradaban tumbuh dan berubah, dan juga surut, tidak dibuat ulang,” kata dia.

Maka dari itulah, dalam kehidupan demokrasi, semua upaya perlawanan, kalau memang dibutuhkan, tetap harus menggunakan kanal-kanal yang sudah disepakati. Di kanal hukum, kanal birokrasi, dan kanal parlemen.

Pendapat dan argumen disampaikan kepada masyarakat melalui kanal informasi dengan penyampaian pemikiran yang jernih, bukan untuk memrovokasi, apalagi dengan menggunakan hoaks dan misinformasi. Mari berpolitik secara waras dan fastabiqul khairat alias berlomba-lomba dalam kebaikan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Juni 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Sentimen: negatif (100%)