Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak, Pilkada 2020
Kab/Kota: Depok, Temanggung, Solo
Kasus: korupsi
Partai Terkait
Mengapa Politik Dinasti Jokowi Berbahaya
Oposisicerdas.com Jenis Media: News
GIBRAN Rakabuming Raka, Bobby Nasution, dan yang terakhir Kaesang Pangarep semestinya belajar dari Joko Widodo dalam menapaki karier politik.
Menjadi wali kota, gubernur, lalu presiden, Jokowi memulai dari nol. Ia bukan orang partai, bukan dari keluarga penguasa, bukan anggota militer atau pemilik media, dan bukan bagian dari birokrasi—sejumlah modal dan kemudahan bagi seseorang yang ingin meraih kekuasaan.
Tak bisa ditolak, Gibran Rakabuming Raka di Solo dan Bobby di Medan menang mudah dalam pemilihan kepala daerah pada 2020 karena figur Jokowi.
Kaesang, yang bersiap berlaga dalam pilkada Depok di Jawa Barat tahun depan, diakui atau tidak, akan mendapat manfaat yang sama. Jokowi sudah memberi restu atas rencana pencalonan anak bungsunya itu.
Jokowi adalah presiden pertama yang memiliki anak dan menantu wali kota. Dua periode menjadi presiden, Jokowi tak belajar dari Jokowi: kekuasaan merupakan amanah yang diperjuangkan dari bawah.
Setelah tuntutan masa jabatan presiden tiga periode dan gagasan penundaan pemilihan umum meredup, memberi jalan bagi sanak keluarga menduduki posisi kepala daerah tampaknya pilihan lain bagi Jokowi agar tetap diperhitungkan di panggung politik nasional.
Apalagi Gibran dan Bobby kini bersiap “naik kelas”. Gibran digadang-gadang bakal maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta atau Jawa Tengah.
Nama Gibran santer disebut bakal mendampingi calon presiden Prabowo Subianto, kandidat yang berpeluang besar mendapat sokongan dari Jokowi.
Kabar itu sejalan dengan cara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia minimal yang mengganjal Gibran jadi calon wakil presiden.
PSI juga partai yang menjadi inisiator pencalonan Kaesang di Depok. Menantu Jokowi, Bobby, juga berhasrat maju sebagai calon Gubernur Sumatera Utara.
Buzzer Jokowi Ini Disebut Pencetus 'Hoaks' Anies Ngibul Naik Haji Diundang Raja Salman
Curhat dari Anak NU Yang Diajar Agama Oleh Guru Muhammadiyah di Temanggung
Presiden Jokowi bisa saja berkilah keikutsertaan anak dan menantunya dalam pemilihan kepala daerah tak menyalahi aturan dan merupakan hak setiap warga negara.
Namun, tak bisa dimungkiri, ketika seorang presiden menjadi patron bagi sanak keluarganya yang maju dalam pilkada, mereka akan mendapat keuntungan dan kemudahan dibanding kandidat lain.
Mobilisasi aparatur sipil negara, warisan jaringan politik, dan sokongan finansial adalah pelbagai “keunggulan” yang dimiliki kandidat kepala daerah dari dinasti politik.
Dalam sistem birokrasi patron-klien, restu Jokowi terhadap anak-anaknya bisa diterjemahkan sebagai perintah kepada birokrasi dan aparatur pemerintah lain agar mendukung.
Gibran di Solo dan Bobby di Medan mungkin bukan tak punya prestasi. Di Solo kabarnya kerukunan umat beragama makin baik. Di Medan, Bobby lumayan disukai masyarakat. Tapi itu tak cukup.
Sejumlah studi menyebutkan dinasti politik juga dekat dengan korupsi. Kekuasaan yang dihimpun di tangan satu keluarga membuka sikap permisif pemegang kekuasaan untuk melanggar tata kelola.
Bermodal populisme, salah satunya diukur dari tingkat kepuasan kerja yang tinggi versi sejumlah lembaga survei, Jokowi berhasil menjadikan anak dan menantunya sebagai pesona elektoral bagi partai politik yang gagal menjalankan meritokrasi kader.
Partai-partai yang memperebutkan anak dan menantu Presiden juga berharap mendapatkan efek ekor jas popularitas Jokowi, yang tetap mendapatkan skor tinggi dalam sejumlah survei. Alih-alih menjadi alat demokrasi, partai-partai kian terbenam dalam kubangan politik elektoral.
Kondisi ini diperparah oleh permakluman di kalangan pemilih bahwa dinasti politik merupakan konsekuensi demokrasi.
Riset Nagara Institute menemukan bahwa 57 kandidat dari dinasti politik dipilih rakyat dalam pilkada 2020, termasuk Gibran dan Bobby.
Dinasti politik Jokowi tak hanya mengoyak etika politik, tapi juga sekaligus merusak demokrasi.
Foto: Ilustrasi Tempo/Kendra Paramita
Sentimen: positif (99.8%)