Sentimen
Negatif (66%)
3 Jul 2023 : 02.27
Informasi Tambahan

Event: peristiwa G30S/PKI

Kab/Kota: Washington, New York

Tokoh Terkait

Kisah Presiden Soekarno dan Majalah Playboy Buatan Amerika

3 Jul 2023 : 02.27 Views 1

Pojoksatu.id Pojoksatu.id Jenis Media: Nasional

Kisah Presiden Soekarno dan Majalah Playboy Buatan Amerika

POJOKSATU.id, JAKARTA— Tak salah lagi orang pertama dan mungkin yang terakhir menyebut berkali-kali nama majalah Playboy, seraya mempertontonkannya dalam acara resmi kenegaraan adalah Presiden Soekarno.

“Saudara-saudara, ini loh saya bawa Playboy,” kata Sukarno ketika berpidato di depan 1500 Pemuda Marhaenis di Istana Negara Jakarta pada 20 Desember 1966.

Sebagai sosok yang dikenal pemuja perempuan cantik boleh jadi Sukarno senang majalah Playboy.

Lantas apa penyebab Sukarno memerlukan diri memperlihatkan majalah Playboy ke panggung kenegaraan yang begitu mulia?


Sukarno membawa Playboy ke panggung pidato kenegaraan karena mau menunjukkan kepada hadirin mukanya EH Hunt.

Everette Howard Hunt Jr atau sohor sebagai E Howard Hunt adalah agen legendaris CIA sepanjang 1949–1970.

Spesialisasinya peperangan politik: trik kotor, sabotase dan propaganda.

The New York Time menyebutnya sosok amoral tetapi paling banyak tahu rencana busuk Amerika seantero jagad.

Hunt terlibat berbagai operasi keji pemberontakan dan penggulingan kekuasaan yang tak sejalan dengan Amerika, seperti di Guatemala, Iran, Kuba.

Hunt pernah menjadi asisten bos CIA, Allen W Dulles. Allen adalah pemegang peran paling penting dan amat menentukan dalam menjalankan ‘containment policy’ atau kebijakan agresif melawan komunisme Presiden Dwight D Eisenhower.

Lantaran kebijakan semacam itu menuntut kerahasiaan, Presiden Eisenhower dan Menteri Luar Negeri John F Dulles yang adalah kakaknya banyak bergantung pada CIA.

Di bawah kepemimpinan Allen Dulles itulah CIA menjadi institusi penting yang paling menentukan berbagai kebijakan Amerika terhadap Indonesia dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.

Soekarno Tak Suka Kebijakan AS

Marshall Green dan istrinya, Lisa tiba di Jakarta pada 13 Juli 1965. Selang dua pekan kemudian dia sudah dapat berjumpa Presiden Sukarno.

Pada 26 Juli 1965, ia menyerahkan surat kepercayaan sebagai duta besar Amerika Serikat (AS), menggantikan pendahulunya, Howard John.

Usai menyerahkan surat, Green menyampaikan pidato. Datar dan normatif. Maklum, hubungan AS dan Indonesia saat itu sedang kurang harmonis sejak akhir 1950-an.

Sebagai tuan rumah, Sukarno membalas pidato Green yang datar itu dengan sejumlah kalimat provokatif.

Ia menyerang kebijakan luar negeri AS. Meski hatinya panas, diplomat senior itu mencoba keras untuk menahan diri. Padahal secara tata krama diplomatik dia dibenarkan untuk segera meninggalkan ruangan.

“Saya tidak punya pilihan kecuali tetap di sana. Meninggalkan ruangan barangkali akan menyebabkan Sukarno menyatakan saya persona non grata,” tulis Green dalam memoarnya bertajuk ‘Dari Sukarno ke Soeharto: G30S/PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar’.

Saat momen ramah tamah, Green punya kesempatan untuk ‘membalas’ Sukarno.

Hal itu dilakukan saat ‘sang Presiden’ memperkenalkan dirinya kepada Nyonya Supeni, petinggi di Departemen Luar Negeri, yang berkebaya hijau dan selendang keemasan.

“Nyonya Supeni, senang sekali saya berkenalan dengan Anda. Tahukah Anda? Dengan kebaya hijau dan selendang keemasan, Anda membuat saya terpaku saat Presiden berpidato tadi. Saya tak menangkap semua kata-kata yang diucapkannya. Bisakah Anda menceritakan kepada saya apa yang diucapkannya?”

Sontak suasana menjadi hening dan tegang. Semua seperti menahan nafas dan menutup mulut, menanti reaksi Sukarno. Rupanya si Bung menangkap balasan cerdas tamunya. Dia menepuk paha dan tawanya meledak. Suasana mencair. Hadirin lega.

Sukarno Minta Dibawakan Majalah Playboy

Pada 31 Agustus 1965, Green mendapat kesempatan bertemu lagi dengan Sukarno secara empat mata dalam suasana hangat.

Toh begitu, Sukarno tetap menunjukkan ketidaksenangannya kepada politik luar negeri AS. Di ujung pertemuan, Green mendapat kejutan dari sang Presiden.

Dengan berbisik Sukarno meminta dibawakan majalah Playboy dengan alasan menyukai ulasan tentang film dan teaternya.

Beberapa waktu kemudian, Lisa yang sedang berada di Washington DC mengirim majalah itu dalam kantung diplomatik. Tapi Green tak serta-merta mengirimkannya kepada Sukarno.

Setelah ditimang-timang, nalurinya insyaf bahwa ada unsur jebakan di balik permintaan Sukarno tersebut.

“Saya segera sadar bahwa ini mungkin sebuah jebakan. Pasti Sukarno punya cara yang lebih mudah untuk mendapatkan majalah itu.”

Dalam bayangan Green, Sukarno bakal mengolok-oloknya di muka umum. “Jawablah Duta Besar Green, ya atau tidak. Benarkah Tuan telah mengirimi saya, Bung Karno, yang murni dan polos, majalah-majalah Playboy yang kotor?”

Akhirnya Green seperti dalam memoar terbitan Grafiti 1995 itu memutuskan untuk menyimpan saja majalah pesanan Sukarno tersebut. (ikror/pojoksatu)

 

 

 

Sentimen: negatif (66.7%)