Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Event: Ibadah Haji
Hewan: Domba, Anjing
Institusi: UIN
Kab/Kota: Jember
Kasus: pembunuhan
Haji dan Pesan Kesetaraan Universal
Rmol.id Jenis Media: Nasional
Inilah, dalam hemat saya, hakikat puncak haji wukuf di Arafah, 9 Dzulhijjah 1444 H. Bersimpuh di hadapan sang pencipta dalam bentuknya yang masih asli, tanpa make up dan tedeng aling apapun.
Di tanah gersang yang panas itu, tak ada yang mulia sebagai manusia. Di hadapan-Nya, semua sama. Ketika mulai melewati miqat, semua harus menanggalkan pakaian biasa dan diganti dengan pakaian ihram. Sebagaimana maklum, pakaian menunjukkan status sosial, preferensi dan perbedaan tertentu. Di miqat makani, perbedaan tersebut harus ditanggalkan seiring dengan menanggalkan secara ruhaniah apa yang menjadi pembeda status sosial, ekonomi maupun profesi.
Dari miqat ini pula, tempat dimana ritual ibadah haji dimulai, kata Ali Syariati (2007), seorang manusia-- apapun ras dan sukunya harus ditanggalkan. Dalam bahasa Ali Syariati, semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) juga harus ditinggalkan.
Semua ditinggalkan ketika Miqat dan seorang haji berperan sebagai manusia yang sesungguhnya. Di Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. Dua helai pakaian ini pula yang akan membalut tubuhnya kala ia meninggal dunia. Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Inilah apa yang saya sebut dengan Pesan Kesetaraan Universal. Pesan kesetaraan universal dalam haji ini sejalan hadits Nabi Muhammad Saw. Dalam sebuah kesempatan, Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non Arab, orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan”. (HR. Bukhori-Muslim)
Merefer pada hadits inipun, orang dengan warna kulit putih tidak lebih baik daripada kulit hitam, begitu pula sebaliknya. Salah satu bukti, di Ka’bah ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya adalah pangkuan Ismail. Di sanalah, Ismail putra Ibrahim, nabi yang membangun Kabah pernah berada dalam pangkuan ibunya bernama Hajar.
Hajar sendiri adalah seorang perempuan hitam, miskin, dan budak yang konon kuburannya berada di tempat itu. Budak perempuan ini di tempatkan Tuhan di sini atau peninggalannya diabadikan Tuhan, sebagai ibrah bahwa Allah memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya pada Allah Swt.
Demikian juga dengan jabatan dan kedudukan manusia. Semua musti ditanggalkan kebesarannya. Dalam haji, tak ada lagi jabatan prestise presiden, gubernur, bupati, guru besar, guru TK, dan sebagainya. Tak ada juga pengusaha yang kaya raya. Para jamaah haji sedang menuju pada kemuliaan abadi yang diajarkan Islam.
Kemuliaan abadi adalah kemuliaan yang selama-lamanya, sebagaimana perkataan Ibnu Athailah al-Iskandari dalam Kitab Hikam (tt) . “In aradta an yakuuna ‘izzun la yafna, fala taztaizzanna bi'izzin yafna”. Jika kau ingin kemuliaan yang tidak fana alias selama-lamanya, maka jangan kau banggakan kemuliaan yang fana. Kemuliaan yang fana adalah kemuliaan yang didasarkan pada kekayaan, jabatan, pangkat, kedudukan, popularitas dan sebagainya. Kemuliaan fana adalah kemuliaan yang sementara.
Semua manusia bisa saja silap dengan kemuliaan duniawiyah sebagaimana firman Allah Swt: “Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta yang tidak terbilang lagi berlipat ganda dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imron: 15)
Syahwat, menurut Quraish Sihab, adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat indrawi. Jika kecenderungan itu berasal dari Allah, maka kebajikan-kebajikan yang akan menyertainya.
Seperti keimanan yang dijadikan indah oleh Allah dalam hati orang yang beriman (baca QS. al-Hujurat: 7). Sedangkan, jika kecederungan hati, kecintaannya yang diperindah syaitan, akan dijadikan indah dalam bentuk kecintaan yang berlebihan, dan menjadikan sesuatu yang buruk terlihat baik. Seperti halnya kaum musyrikin yang menganggap indah pembunuhan terhadap anak (QS. Al-An’am: 137).
Namun, pada akhirnya, tak ada kemuliaan yang abadi selain hanya ketakwaan pada-Nya. Dengan indah, Allah Swt. berfirman: “Katakanlah, “Inginkah kuberitahukan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa, pada sisi Tuhan mereka, ada surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dianugerahi) pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan yang sangat besar bersumber dari Allah. Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imron: 15).
Haji adalah jalan menuju kemuliaan abadi dengan ketakwaan. Ketakwaan membawa seseorang kepada kesadaran bahwa seluruh makhluk adalah setara sebagai hamba dari Sang Maha Penguasa Semesta. Semoga menjadi haji yang mabrur.*Penulis adalah Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember dan PPIH Kloter SUB 55 Tahun 2023
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
Sentimen: positif (94.1%)