Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Honda
Kab/Kota: Banyuwangi
Kasus: KKN
Tokoh Terkait
Cerita di Balik Penjurian Babinsa TNI Inspiratif Brawijaya Awards, Malam Menegangkan Berakhir Sunrise Yang Indah
Fajar.co.id Jenis Media: Nasional
FAJAR.CO.ID -- Terbayar sudah malam menegangkan di Pantai Bangsring. Ketegangan berakhir dengan sajian sunrise yang indah.
Bangsring semarak sepanjang hari. Suasana berangsur-angsur sepi menjelang petang saat sang surya beranjak ke peraduan. Saat kegelapan mulai mencengkram bumi, celoteh kerumunan manusia tergantikan sepenuhnya oleh desau angin dan daun-daunan. Sesekali suara serangga terdengar.
Sesi penyambutan dan pembukaan di Pantai Bangsring berakhir. Para Pejabat Kodim 0825 Banyuwangi berpamitan meninggalkan tempat. Mengikuti komandan mereka, Kapten Mustohir.
Setelah membantu mengurus penginapan, Serma Nurhadi dan Serda Kadek, sang junior yang bakal menggantikan Nurhadi menjadi Babinsa Bangsring pamit undur diri. Kami berjanji untuk bertemu kembali di Saung utama Bangsring untuk forum temu nelayan pukul 20.00 WIB.
Fiu dan Rozak belum kembali. Saya suruh mereka membawa mobil Honda BR-V ditemani satu personel Kodim untuk membeli makan malam dan belanja logistik seperlunya. Tidak perlu banyak-banyak. Yang penting cukup untuk esok hari.
“Jauh mas,” jawab Fiu ketika saya tanya kenapa lama sekali.
Memang benar kata para Staf Ter Kodim Banyuwangi. Bangsring jauh sekali dari pemukiman. Untuk beli makan pun, mereka sepertinya harus sampai ke Ketapang.
Setelah salat Magrib, saya duduk termangu di musala kecil di tengah pantai. Memandang jauh ke cakrawala yang mulai pudar di kejauhan. Sesekali pada deretan warung yang kini membiru dan membisu diselimuti gelap.
Beberapa menit yang lalu, warung-warung itu ramai dijejali manusia. Sekarang tinggal remang-remang atap di antara kegelapan senja. Tanpa celoteh manusia, desau angin terdengar lebih jelas, seperti siulan. Tapi dengan bahasa aneh.
Saya membuka-buka lagi review tentang penginapan kami. Kok ya bisa terlewati. Ada beberapa review dari turis asing. Kemungkinan mereka adalah pelancong Bali yang ingin mencari ‘suasana’ yang berbeda dan nyasar di pantai timur Banyuwangi.
Dari beberapa review, satu muncul yang paling menarik perhatian saya. “Setelah kerumunan pantai pulang, anda akan tinggal sendiri. Dan anda tengah mendaftar untuk malam yang mencekam,” Kata si Bule.
Hm, mencekam? Mungkin karena mereka punya ‘aura’ berbeda dengan para penghuni halus lokal pantai ini. Ah, sudah terlambat untuk mengubah keputusan sekarang. Kalaupun ada gangguan, nampaknya harus kita hadapi dengan tabah sampai besok pagi.
Sekitar jam 8 malam, suasana sepi sedikit terobati ketika para nelayan Bangsring datang. Sambil bersarung ria, kami bercerita soal Bangsring dulu dan kini. Bagaimana mereka berubah dari sekelompok pengebom, pemotas, dan pencungkil terumbu karang, menjadi pasukan penjaga Bangsring yang loyal dan ber mindset konservasionis.
Forum diakhiri sekitar pukul 10 malam. Para nelayan pamit, Serma Nurhadi dan Serda Kadek juga pamit. Meninggalkan kami di penginapan sendirian. Sampai akhir forum pun, tidak ada satupun yang mau menjelaskan sebenarnya apa pontensi ‘gangguan’ yang bakal kami terima.
“Aman mas, Insyaallah. Saya bantu juga untuk ‘mengamankan’. Ya paling sekedar menyapa,” jelas Serma Nurhadi sebelum pergi.
“Baik ndan, besok jangan lupa jam 7 kita langsung mulai,” kata saya.
Tak lama kemudian, Fiu dan Rozak datang. “Kamar kalian yang sebelah utara. Tidak dikunci. Aku sekamar dengan Pak Yusuf,” kata saya.
“Oke mas,”
Saya menarik lengan Rozak. “Nanti malam, kalau kalian dengar suara-suara aneh. Apapun itu, tidak usah dikejar tidak usah dicari. Paham ya?” pesan saya padanya. “Oke mas,” si jangkung lantas menyusul Fiu ke kamarnya. Sudah tidak sabar mau menyentuh kasur sepertinya.
Pantai pun sepi lagi. Suara gelombang dan kelindan angin yang menghempas-hempaskan mereka ke karang semakin riuh rendah di kegelapan di depan penginapan kami. Seolah olah di luar jangkauan cahaya lentera sana bukan laut, tapi tribun stadion sepakbola.
Tepat di luar jangkauan cahaya lentera, sepuluh meteran di depan saya, sebuah patung penari perempuan khas Banyuwangi. Mirip dengan patung di tugu Watudodol, dan KKN Desa Penari. Ah, betapa kita ini memang bangsa yang suka simbol dan serba mengait-ngaitkan sesuatu.
Analisis saya, mungkin memang ‘kehadiran makhluk lain’ di tempat ini cukup kuat. Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Karena toh kita hidup berdampingan. Namun, berdampingan itu mungkin menyajikan pengalaman berbeda bagi setiap orangnya.
Sehingga mungkin orang-orang yang menginap disini mengalami berbagai macam kontak dengan ‘mahkluk lain’. Adapun bentuknya, sangat tergantung dengan pemahaman, persepsi, dan kondisi psikologis orang yang bersangkutan.
Saya sejak kecil tidak pernah melihat hantu. Tidak juga diberkahi kemampuan untuk melihat wujud-wujud atau sosok-sosok. Tapi saya setuju bahwa tempat ini memang memiliki ‘kehadiran’ yang kuat.
Sejak sore saya memang telah melakukan persiapan-persiapan khusus. Namun, menganalisa kondisi sekitar, saya memutuskan saya butuh dukungan eksternal. Saya pun menghubungi beberapa orang pembimbing yang kemudian memberi saya beberapa petunjuk untuk menciptakan kondisi aman. Secara sekala dan niskala, kata orang-orang Bali, hehe.
Set up kondisi butuh beberapa lama. Prinsipnya, saya menyapa ‘mereka’ dulu dan menyampaikan kedatangan kami. Agar mereka tidak kepo dan menggaruk-garuk dinding kamar Rozak dan Fiu di tengah malam.
Setelah dirasa cukup, saya berjalan ke tepi pantai dan melakukan acara inti dari ‘set up’ kondisi ini. Yakni memberikan salam takdzim kepada seorang kekasih Tuhan yang menurut legenda berperan dalam mega proyek memisahkan Jawa dan Bali.
Oke, selesai. Waktunya tidur.
Dan, seperti yang saya harapkan, malam itu berlangsung khidmat dan sunyi. Kami tidur tanpa mimpi. Terbangun suara keresak-keresak sapu yang menggores pasir pantai.
Ternyata itu adalah para nelayan Bangsring yang sudah siap dengan ‘pakaian’ tempur mereka untuk mencari nafkah. Ada yang membuka warung, loket pengunjung, persewaan alat selam, persewaan penginapan, bersiap jadi guide, membuka toko peralatan renang, dan lain sebagainya.
Warga Bangsring punya kesepakatan. Bangsring adalah rumah bersama, dijaga bersama, dirawat bersama. Itulah mengapa tanpa disuruh, di pagi buta mereka sudah siap dengan sapu dan mulai membersihkan sekitar lima ratusan meter garis pantai ini.
Hari itu hari sabtu, Bangsring akan kebanjiran pengunjung.
“Enak mas tidurnya?” sapa seorang perawat Bangsring. “Alhamdulillah pak. Aman. Saya tak ke pantai dulu, mau lihat sunrise,”
“Monggo monggo,”
Saya pun mencari tempat yang cocok untuk duduk bersila menghadap ke timur. Pada cakrawala yang mulai memerah. Seperti para punggawa kerajaan yang bersiap menyambut kedatangan Bhatara Surya. (fajar/hariandisway)
Sentimen: negatif (80%)