Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Kab/Kota: Depok, Denpasar
Kasus: pengangguran
Tokoh Terkait
25 Tahun Pasca-Reformasi, Indonesia Masih Punya Masalah di Dua Bidang Ini Selasa, 27/06/2023, 11:57 WIB
Wartaekonomi.co.id Jenis Media: News
Tahun 2023 menandakan peringatan ke-25 reformasi Indonesia sejak tahun 1998. Gerakan reformasi dimulai ketika masyarakat mulai menggalang kekuatan untuk menuntut reformasi terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang dianggap korup dan otoriter.
Selain itu, krisis ekonomi dan keinginan rakyat menjadi negara demokrasi juga menjadi faktor utama kejatuhan Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.
Ekonom dan mantan Dubes Indonesia untuk Jepang dan Federasi Mikronesia, Yusron Ihza Mahendra, menjelaskan bahwa Gerakan Reformasi menjadi batu loncatan dari perubahan-perubahan positif yang terjadi di Indonesia dalam rentang 25 tahun terakhir, khususnya di bidang politik.
Baca Juga: Seperempat Abad Reformasi: Kebijakan Hukum Harus Berlandaskan Nilai Pancasila yang Mengedepankan Kepentingan Nasional
“Menurut saya, tentu reformasi itu merupakan peristiwa yang amat penting, dan bahkan dapat dikatakan menjadi salah satu tonggak sejarah bagi bangsa ini. Kalau kita berbicara tentang reformasi, tentu saja intinya itu adalah perubahan. Tentu kita berharap perubahan ke arah yang lebih baik. Kalau kita melihat di dalam konteks politik, saat ini pun sebentar lagi kita akan Pemilu pada tahun 2024. Maka dapat kita katakan bahwa proses reformasi itu sedang berjalan,” kata Yusron, dikutip dari kanal Youtube PinterPolitik TV pada Selasa (27/6/2023).
Selain itu, perubahan pasca-reformasi juga terjadi pada bidang ekonomi. Meskipun perekonomian Indonesia sempat hancur lebur saat Krisis Moneter 1998, tetapi berbagai paket kebijakan pemerintah yang dikeluarkan selama 25 tahun terakhir dinilai akan mampu membawa Indonesia masuk ke dalam kategori negara maju pada tahun 2045.
“Dalam konteks perubahan tadi, tentu saja bukan saja hanya politik, tetapi juga ekonomi dan lain-lain. Kalau kita bicara dalam konteks ekonomi, maka mungkin apa yang diumumkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) bahwa Indonesia akan menjadi negara maju pada tahun 2045 nanti tentu dapat kita jadikan sebagai salah satu acuan bagi kita untuk melihat ke sana,” ujarnya.
Dengan demikian, ia memetakan ada dua masalah penting yang dinilai akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu pada aspek sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM).
“Kalau kita bicara tentang masalah ekonomi, memang segalanya tidak mudah. Jadi kita tentu harus melihat, misalnya dua hal, pertama SDA dan kemudian juga SDM. Kita sering sekali merasa senang dan bangga bahwa kita mempunyai jumlah penduduk yang besar, bahkan di tengah situasi dunia di mana penduduk di berbagai negara di dunia ini cenderung mengalami penurunan, kita justru terus mengalami kenaikan,” bebernya.
Spesifik pada aspek SDM, ia menjelaskan Indonesia harus bersiap untuk menghadapi bonus demografi yang akan datang. Dengan demikian, pemerintah harus mampu membentuk SDM yang unggul dan dapat bersaing. Pemerintah harus mampu mengubah SDM (human resources) menjadi modal manusia (human capital).
“SDM itu kan pada prinsipnya adalah suatu yang masih potensial, masih bahan baku, bagaimana cara kita mengubah sumber daya manusia atau human resources itu bisa menjadi human capital. Untuk itu, jelas diperlukan langkah-langkah yang serius, yang betul-betul dapat menjadi human capital. Dalam arti kata, tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang sanggup bersaing. Bahkan kalau kita melihat ke depan, di mana dunia cenderung terbuka dan semakin terbuka lagi, kita harus sanggup bersaing dengan katakanlah baik sesama kita maupun dengan pihak luar,” jelasnya.
Terlebih, data dari OECD menunjukkan bahwa indeks sumber daya manusia Indonesia berada pada urutan ke-30 dari 199 negara di dunia. Oleh karena itu, Yusron mengklaim aspek SDM Indonesia bisa menjadi pisau bermata dua; dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui bonus demografi atau malah mencetak angka pengangguran yang tinggi pada tahun 2045 mendatang.
“Kalau demikian adanya, maka bonus demografi itu bisa menjadi semacam pisau bermata dua. Kalau kita tidak sanggup mengubah human resources tadi menjadi human capital atau, maka itu bisa menjadi malapetaka bagi kita. Paling tidak itu akan menjadi calon-calon pengangguran besar pada tahun 2045 nanti,” pungkasnya.
Baca Juga: Si Jago Merah Lahap Rumah Milik Lansia di Denpasar, 2 Motor Ludes-Kerugian Capai Rp 150 Juta
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Sentimen: positif (99.4%)