Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Moskow
Tokoh Terkait
Awas Rusia Chaos Minyak Dunia 'Kiamat', Jadi Venezuela Kedua
CNBCindonesia.com Jenis Media: News
Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia masih terus menjadi sorotan dunia. Pasalnya, negara yang sedang berperang dengan Ukraina itu mengalami perpecahan internal, dengan kelompok tentara bayaran Wagner membelot dan memberontak kepada pemerintah pada Sabtu (24/6/2023).
Pemberontakan Wagner sendiri disebabkan oleh ketidakpercayaan kelompok itu pada rezim pertahanan Rusia yang dipimpin Menteri Pertahanan Sergei Shoigu dan Kepala Staf Umum, Valery Gerasimov. Kedua figur itu dirasa tak mampu menyokong pasukannya dengan logistik yang cukup selama perang di Ukraina.
Dalam aksinya, Wagner sempat mengambil alih pusat komando Selatan militer Rusia di kota Rostov-on-don dan bergerak menuju Moskow dari kota Selatan itu. Pasukan pimpinan Yevgeny Prigozhin itu bahkan telah menguasai wilayah hingga kota Voronezh, yang merupakan pertengahan jalan antara Moskow dan Rostov-on-don.
Namun pemberontakan bersenjata tiba-tiba dibatalkan pada hari Minggu. Saat ini, Prigozhin bergerak menuju Belarus untuk bernegosiasi dengan pemimpin negara itu yang juga sekutu dekat Presiden Rusia Vladimir Putin, Alexander Lukashenko.
Analis memandang memang saat ini rezim Putin dapat dikatakan aman. Namun, resiko tantangan paling serius terhadap otoritas Putin dalam 23 tahun masih dapat mengantarkan periode kekacauan dan perubahan.
"Putin benar-benar kacau sekarang," kata profesor Yale dan pakar Rusia, Jeffrey Sonnenfeld, kepada CNN International, dikutip Selasa (27/6/2023).
Ini juga bisa berimplikasi kepada ekonomi dunia. Meski Rusia telah keluar dari peringkat 10 ekonomi teratas di dunia, Moskow tetap menjadi salah satu pemasok energi terbesar ke pasar global, termasuk China dan India, meskipun sanksi Barat diberlakukan setelah serangan besar-besaran negara itu ke Ukraina pada Februari 2022.
Analis di Rystad Energy mengatakan serangan ketidakpastian geopolitik di negara-negara penghasil minyak utama selama 35 tahun terakhir- mulai dari kerusuhan sipil hingga upaya kudeta, konflik bersenjata, dan pergantian pemerintahan- rata-rata menambah harga minyak 8% di lima tahun terakhir. Gonjangan ke Rusia juga dipastikan memperparah.
Menurutnya, kehilangan bahan energi Rusia juga berarti akan memaksa China dan India bersaing dengan negara-negara Barat untuk mendapatkan pasokan dari produsen lain. Makanan dunia juga akan terganggu, jika ekspor komoditas lain seperti biji-bijian atau pupuk, terganggu kisruh politik.
"Hal itu juga dapat merusak penawaran dan permintaan serta mendorong kenaikan harga global," tegasnya.
Komentar senada juga dikatakan Matt Smith, analis minyak utama Amerika di Kpler. Ketidakpastian Rusia sangat berisiko.
"Kudeta yang tampaknya dicoba ini hanya membawa ketidakpastian, yang dapat tercermin melalui harga yang lebih tinggi," katanya.
"Pergolakan dan ketidakpastian seperti yang telah kita lihat dalam beberapa hari terakhir dapat memberikan dukungan pada harga mengingat potensi gangguan pasokan dan ketakutan terhadapnya tidak menjadi pertimbangan sebelum akhir pekan," tambahnya.
Perlu diketahui, harga energi dan pangan global melonjak setelah serangan Rusia ke Ukraina tahun lalu, mendorong inflasi di Eropa dan Amerika. Jika, ditambah dengan ketidakpastian di Rusia, bagian dari perjalanan memulihkan stabilitas harga akan menjadi yang tersulit.
"Ada risiko material yang akan ditahan oleh psikologi inflasi, yang mengarah pada apa yang digambarkan oleh para ekonom sebagai spiral harga upah," muat Bank for International Settlements dalam catatannya.
Rusia Bisa Jadi Libya atau Venezuela Kedua?Politik tak jelas di Rusia bisa membuat negara itu menjadi seperti Libya dan Venezuela. Di mana perang saudara dan perselisihan politik internal dapat merusak ekspor terutama energi.
Produksi minyak Libya turun dari sekitar 1,7 juta barel per hari ke rekor terendah hanya 365.000 pada tahun 2020. Produksi Venezuela juga mencapai titik terendah dalam beberapa dekade pada tahun yang sama.
Negeri Beruang Putih menghasilkan sekitar 10% dari permintaan minyak mentah global. Dan dengan total ekspor minyak hampir 8 juta barel per hari, Rusia adalah kekuatan terbesar kedua setelah Arab Saudi dalam aliansi OPEC+.
"Meskipun masih terlalu dini untuk mengatakan sesuatu akan terjadi atau berubah, ini belum berakhir, sehingga menimbulkan pertanyaan baru tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya," kata Bronze.
[-]
-
Video: "Minyakita" Katanya Langka? Yuk! Simak Faktanya!(sef/sef)
Sentimen: negatif (100%)