Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam, Katolik
Event: Ibadah Haji
Kab/Kota: Keagungan
Tokoh Terkait
Umat Tauhid dan Perjalanan Haji
Rmol.id Jenis Media: Nasional
Ketika seseorang merasa bahwa hidupnya telah dimulai sejak keberadaan umat manusia di bumi, dia berdiri di hadapan sebuah perjalanan masa lalu yang dimulai ribuan abad sebelum keberadaan dirinya. Perasaan memiliki keterkaitan dengan suatu tempat tidak menghentikan rasa keterasingan seseorang dalam arti spiritual dan eksistensialnya.
Dalam perjalanan, musafir mengungkapkan akhlaknya dan menampakkan apa yang tersembunyi pada dirinya. Arti etimologis dari kata safar (perjalanan) berasal dari arti kejernihan dan pancaran, "dan pagi ketika menjadi cerah." Sebagaimana kata tersebut juga mengandung arti perjalanan, dan perjalanan akan memperluas wawasan, oleh karena itu perjalanan diasosiasikan dengan gerakan keilmuan.
Bepergian adalah kebalikan dari arti menutupi yang termasuk dalam kata kufr, seolah-olah gerak seseorang dan kepergiannya dari suatu tempat menggerakkan dalam pikirannya sebab-sebab pengetahuan dan alasan-alasan keyakinan.
Di antara dimensi peradaban dari perjalanan tersebut adalah kontrak “Al-Ilaf al-Qurashi”, yang dilakukan oleh Hashim bin Abd Manaf dengan raja-raja Syam, dan telah menciptakan kepentingan bersama dalam pertukaran manfaat antara jalur Syam dan Hijaz, kemudian anak cucu keturunan mereka membuat kontrak yang sama dengan raja-raja Yaman, jadi kontrak ini adalah alasan untuk menciptakan kepentingan bersama di antara orang-orang di wilayah tersebut.
Hal ini berkontribusi pada menjaga keamanan dari kelaparan dan ketakutan, dan Al Quran menyanjung suku Quraisy atas kenikmatan ini dan mengarahkan mereka untuk bersyukur kepada pemberi nikmat tersebut (Allah) sebagai cara untuk melanggengkannya.
Sebagaimana firman Allah: “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Kabah). Yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.” (Quraisy/106:3-4).
Iman menghubungkan perjalanan manusia di bumi dengan perjalanannya ke langit, dan pemikiran sufi dalam Islam menggunakan kata safar (perjalanan) ketika berbicara tentang perjalanan manusia dan pencariannya untuk meraih ilmu tentang marifatullah (mengenal Allah) dan untuk mencapai kebahagiaan spiritual, seperti yang kita temukan dalam Muhyiddin Ibn. Arabi dalam bukunya “Informasi tentang hasil perjalanan” Di mana perjalanan, dikalangan Al’arifin billah (mereka yang mengenal Allah), terbagi menjadi tiga jenis: perjalanan dari Allah, perjalanan menuju-Nya, dan perjalanan bersama-Nya.
Perbedaan hati dapat memisahkan anak bangsa dari negara yang sama, sementara tempat yang jauh dapat bertemu ketika hati bersatu dan tujuan sama.
Persatuan merupakan tujuan yang paling agung dari ibadah haji, para jamaah haji datang dari berbagai penjuru dunia yang jauh menuju ke Baitullah (Rumah Allah) yang mulia, sesuai fiman-Nya: “(Wahai Ibrahim), serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (Mereka berdatangan) supaya menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan.” (Al-Hajj/22: 27-28).
Salah satu tujuan haji adalah sebagai perwujudan praktis dari aturan “mengagungkan masjid dan menghormati perbedaan”, yang dapat membantu kita memahami peta keragaman budaya dan agama di masyarakat kita. Dari sini kita dapat memahami perbedaan antara aliran pemahaman dalam sejarah Islam yang merupakan keragaman yang berguna yang telah berkontribusi dalam kebangkitan ummat membangun proyek peradabannya.
Musim haji menyadarkan kita akan pentingnya menghubungkan jalur perjalanan haji dengan jalur gagasan dalam mendekatkan antara anak bangsa dan masyarakat. Kota suci bukan hanya tempat untuk melakukan ritual dan ibadah, melainkan juga pusat spiritual, budaya dan komersial yang menggabungkan hal-hal duniawi dan sakral dengan cara yang unik.
Selain menjadi penghubung antara agama dan ekonomi. Para pembangun peradaban Islam memahami bahwa membangun bumi adalah ibadah, sehingga kita dapati pasar-pasar tersebar di jalur perjalanan haji dari Samarkand ke Hijaz, yang dikenal dengan Jalur Sutra. Para nenek moyang kita telah dapat menggabungkan antara keagungan spiritual dalam berkunjung ke tempat-tempat sakral dengan pembangunan yang berkelanjutan dengan membuka pasar-pasar untuk mengatasi kemiskinan, kelaparan, dan kemelaratan.
Dalam konteks Islam, kita sangat membutuhkan pemikiran yang memperdalam hubungan antara cinta kepada Ahl al-Bayt, yang diperintahkan Allah untuk dicintai, sebagaimana firman-Nya .
”Katakanlah (Nabi Muhammad), Aku tidak meminta kepadamu suatu imbalan pun atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (Al-Syura/42: 23), dan cinta kepada para sahabat Rasul yang dipuji Allah dengan firman-Nya “Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya ...” (Al-Fath/48: 29), hal tersebut telah memberi kita pemahaman yang komprehensif terhadap pandangan yang mendalam tentang semangat persatuan dan kerukunan dalam diri kita.
Perbedaan antara umat dan bangsa merupakan medan interaktif yang mengarah pada altruisme yang efektif. Perkenalan antar manusia adalah proses timbal balik yang dilakukan oleh kelompok yang berbeda dan beragam, sebagaimana ditegaskan oleh Al Quran: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kamu.” (Al-Hujurat/ 49:13).
Para cendikiawan tidak boleh tinggal diam terhadap meningkatnya faktor-faktor perpecahan di kalangan umat Islam dan upaya untuk membasmi mereka dan memberi mereka legitimasi agama, dan kita tidak boleh mengabaikan bahaya wacana takfir (pengkafiran) dan ujaran fitnah yang melukai umat Islam, yang melanda wilayah luas platform media sosial.
Intensitas perbedaan antara pengikut satu agama dan satu budaya meningkat tajam di saat moral bangsa merosot dan pengetahuan mereka menurun, dan hal ini yang kita saksikan dalam sejarah Barat abad pertengahan, di mana konflik berlangsung selama beberapa dekade antara Katolik dan Protestan.
Keterbukaan terhadap pemikiran universal manusia tidak dapat mendalam dan bermakna tanpa keterbukaan terhadap keragaman internal dalam konteks budaya dan agama kita, dan semakin kaya dan konsisten keragaman internal, kita semakin sukses dalam menyerap dan mengambil manfaat dari keragaman eksternal.
Menjunjung tinggi martabat manusia dan menghormati privasi budaya dan agamanya merupakan prasyarat untuk setiap proyek beradab yang layak bertahan hidup. Salah satu syarat proyek ini juga menghindari logika mayoritas, kemenangan dan dominasi, yang mau tidak mau berujung pada pengucilan dan merebaknya suasana tirani. Saat ini, kita sangat perlu menekankan legitimasi "hak untuk berbeda", daripada ditarik ke dalam logika kekuatan di mana kekuatan mengidentifikasi dengan kebenaran, dan yang lemah di dalamnya menjadi pihak bersalah.
Jauh dari logika paksaan, Al Quran menegaskan adanya kontradiksi hakiki antara pemaksaan agama di satu pihak dengan hakikat keyakinan agama di pihak lain. , seperti yang diajarkan Al Quran kepada kita: “Dan katakanlah (Nabi Muhammad) kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barang siapa yang menghendaki (beriman), dan hendaklah dia beriman dan siapa yang menghendaki (kufur) biarkan dia yang kufur.” (Al-Kahfi/18: 29).
Eksklusi agama tidak kalah buruknya dengan eksklusi politik, dan mungkin bentuk eksklusi agama yang paling buruk adalah ketika ia menjadi alat untuk mencapai tujuan utilitarian yang tidak terkait dengan agama. Sudah tiba saatnya untuk menghadapi penyebab sebenarnya dari kegagalan ekonomi dan politik kita, jauh dari mengingat masalah sejarah yang kontroversial yang tidak akan berkontribusi untuk menyelesaikan masalah kita yang sebenarnya dalam realitas kita saat ini.
Salah satu landasan moral terpenting untuk perbedaan adalah apa yang disebut aturan emas, yang kita temukan di sebagian besar agama, dan yang mengatakan: "Cintailah orang lain seperti kamu mencintai dirimu sendiri." Di sini dapat dikatakan bahwa mengejek dan merendahkan keyakinan orang lain dan ajaran agama mereka atau sekte mereka mencerminkan masalah akhlak yang diingatkan dengan keras oleh Al Quran sebagaimana firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang (diolok-olok itu) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” (Al-Hujurat/49:11).
Sebaliknya, Islam melarang menghina orang yang berbeda agama sekalipun mereka musyrik: “Dan janganlah kamu menghina (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat Kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang mereka telah kerjakan." (Al-An'am/6:108).
Seorang muslim diperintahkan untuk menghadirkan model akhlak yang harus diteladani dalam hubungan antar pemeluk agama, lalu bagaimana dengan akhlak kita dengan ahli kiblat dan mazhab muslim!
Apapun perbedaan kondisi dan titik tolak politik, maka makna budaya dan spiritual umat tetap makna yang paling mendalam, dan di sini kami membangkitkan pentingnya kembali kepada keutamaan Syura, yang dimulai dari satu tanah air dan meluas ke tanah air kaum muslimin lain yang jauh.
Tulisan ini diterjemahkan oleh Ahmad Murodi.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
Sentimen: positif (100%)