Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Event: Rezim Orde Baru
Institusi: UGM
Kab/Kota: bandung, Senayan, Solo
Kasus: Tipikor, HAM, KKN, korupsi
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Gus dur
Eggi Sudjana
Muslim Arbi
26 Tahun Peringatan Mega Bintang Solo, Wujud Bangsa Patuhi Sistem Konstitusi
Rmol.id Jenis Media: Nasional
Historis dan Kedudukan Hukum Diskusi Ilmiah 26 Tahun Mega Bintang di Surakarta
Hubungan antara peran serta masyarakat dan kebebasan berpendapat dengan historis Gerakan Mega Bintang Tahun 1997, yang hingga saat ini sejarah hukum di Tanah Air tidak pernah ada identifikasi atau sinyalemen terhadap gerakan Mega Bintang sebagai bentuk gerakan makar atau gerakan inkonstitusional. Selain menikmati hasil panen dari gerakan Mega Bintang.
Selanjutnya, melalui diskusi ilmiah yang diadakan para tokoh sambil memperingati 26 Tahun Gerakan Mega Bintang yang dikomandani oleh Mudrick Sangidu, dan sukses tanpa sebutan dan istilah makar, serta berkelanjutan dengan jatuhnya kursi Presiden Soeharto, kemudian Prof Habibie yang legal secara hukum, diikuti sahnya Presiden Gus Dur, Megawati, dan bahkan lembaga tertinggi legislatif MPR.
Dipimpin oleh Amien Rais sang pimpinan gerakan reformasi, cikal atau terusan daripada gerakan Mega Bintang, kemudian dilanjutkan oleh kepemimpinan SBY selama dua periode.
Lalu dilanjutkan oleh Jokowi hingga kini masih berlangsung, yang justru banyak para pakar termasuk pejabat publik tinggi negara aktif Menkopolhukam Mahfud berstatemen, lalu yang dimaknai oleh penulis sebagai bentuk sarkastik atau majas tendensius, karena seolah Menkopolhukam, menyatakan; "korupsi saat ini, saat masa Presiden Jokowi lebih parah dari orde baru, kemanapun kepala menoleh ada tindak pelanggaran".
Lalu apakah rezim dan generasi saat ini ingin "mengadili" para individu subjek hukum penggerak Mega Bintang tempo doeloe dengan pola retroaktif, siap untuk berlaku sungsang atau overlap (tumpang tindih) dengan segala konsekuensi hukum dengan menggunakan asas hukum yang berlaku surut atau retroaktif?
Adakah, dalam benak kepala para penguasa dan aparatur Negara RI yang berpendapat bahwa Gerakan Mega Bintang 1997 dan Gerakan Reformasi yang justru salah satunya melahirkan kepemimpinan Jokowi merupakan gerakan pelanggaran HAM?
Jika ada, tentu pola pikir ini merupakan kontradiktif dengan keberlangsungan sejarah dan hukum Tanah Air sejak orde reformasi 1998? Apa rezim saat ini sanggup membalikkan arah jarum jam dengan gejala-gejala pola pikir abnormal?
Peringatan 26 Tahun Mega Bintang yang melegenda serta hasilkan realitas kepemimpinan Presiden Jokowi, pada tanggal 11 Juni 2023 dihadiri oleh beberapa tokoh nasional dan para tokoh bangsa, di antaranya, selain Sdr Mudrick Sangidu selaku tuan rumah dan penggagas peringatan 26 Tahun Gerakan Mega Bintang, juga hadir dan turut memberikan narasi dan membuka "dokumen sejarah" Bapak Reformasi Amien Rais.
Kemudian senior aktivis muslim Eggi Sudjana, Syahganda Nainggolan, dan Rizal Fadillah, serta pembicara dan penanggap materi lainnya, di antara penangkapan ada penulis sendiri dan aktivis Muslim Arbi, dan beberapa orang penanggap lainnya yang turut mendukung acara 26 Tahun Mega Bintang serta ruangan sekelas aula, dihadiri sesak para pengunjung acara.
Keabsahan pertemuan diskusi kebangsaan ini, selain bernilai tinggi historis, kenyataan hasilnya yang memang sudah dinikmati oleh bangsa ini. Acara 26 Tahun Mega Bintang ini dari sisi yuridis adalah sah legalitasnya, karena merupakan pemenuhan kewajiban atau amanah konstitusi kepada setiap anak bangsa yang memenuhi kriteria selain merupakan fiksi hukum atau presumptio iures de iure dari sudut tinjauan yuridis yang terdapat didalam sumber hukum UUD 1945.
Dan, terdapat di banyak sistem hukum lainnya, yang isinya memerintahkan atau dibebankan kepada seluruh anak bangsa, atau identik dengan makna hukum terhadap bangsa ini lintas SARA, agar berperan aktif atau turut serta dalam penyelenggaraan negara, sebagai wujud mengaplikasikan hak bangsa dalam framing "peran serta masyarakat serta turut berperan melalui penyampaian pendapat baik oleh setiap individu atau kelompok secara terbuka di muka umum".
Sedangkan arti hak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh aturan salah satunya undang-undang.
Dan tak hanya itu, hak juga bisa diartikan sebagai wewenang seseorang menurut hukum. Maka keberadaan hak selalu berdampingan dengan kewajiban dalam penerapannya.
Hak dan kewajiban WNI terkait peran serta dan kemerdekaan atau kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, terdapat di dalam UUD 1945 dan tercantum dari Pasal 27 sampai Pasal 34, termasuk Pasal 28.
Vide Pasal 28E UUD 1945; (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Jo Pasal 28F UUD 1945; Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Lalu, bunyi konstitusi dasar Pasal 28E dan 28F ini, menjadi sumber hukum terkait hak kegiatan, baik oleh individu maupun kolektif terhadap kinerja atau aktivitas di dalam penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh para aparatur negara sesuai tugas pokok dan fungsinya (tupoksi), dimuat dan dijabarkan di dalam berbagai undang-undang.
Asas-asas Legalitas Diskusi Ilmiah Solo
Undang-undang yang merujuk kepada sumber hukum pada Pasal di dalam UUD 1945 tersebut, wajib dipatuhi serta dilaksanakan oleh setiap orang yang berstatus WNI dan juga menjadi acuan atas sumber sistem hukum atau setiap undang-undang yang hirarkis ada di bawahnya.
Maka keberadaan hak WNI, terkait tentang peran serta masyarakat dan atau menyampaikan pendapat ini diaplikasikan serta jelas tertulis di salah satu frase pada bagian pasal di banyak undang-undang, dan bersifat sebagai hukum positif atau ius constitutum atau hukum yang harus berlaku, dan equality.
Serta, undang-undang tersebut lahir dan terbit melalui proses sistem hukum yang sudah ditentukan oleh dan bersumber dari pada UUD 1945, termasuk terkait tupoksi DPR RI dan MPR RI selaku lembaga legislatif dan presiden selaku kepala negara atau eksekutif tertinggi pemerintahan atau penyelenggaraan negara (Vide Pasal UUD 1945).
Di antara undang-undang tersebut selain lex generalis, juga terdapat lex specialis, yang kesemua sistem konstitusi ini memuat peran serta dan kebebasan berpendapat masyarakat, di antaranya adalah:
UU RI 9/1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; UU RI 39/1999 Tentang HAM; UU RI 28/1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Bebas dari KKN; UU RI 31/1999 Jo perubahan; UU Tentang KPK; UU 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik; UU 17/2017 Tentang Ormas.
KUHAP Jo Putusan MK Tentang Saksi; UU 35/2014 Tentang Perubahan Atas UU 23/2002 Tentang Perlindungan Anak; UU 2/2002 Tentang Polri; UU 12/2021 Tentang Kejaksaan RI.
Dan banyak lagi undang-undang yang objek materi di dalamnya terdapat perintah terhadap "peran serta masyarakat" yang kemudian dipertegas relevansinya, ditolerir dalam makna substantif serta pelaksanaannya pada semua "peran peran masyarakat, dan kebebasan dan kemerdekaan dalam pelaksanaan HAM," dikemas serta diatur juklak, atau sebagai pola teknis pelaksanaannya oleh PP dan atau regulasi di bawahnya (sistem hirarkis) sesuai hukum ketatanegaraan, kesemuanya merupakan konsekuensi dalam kerangka kewajiban moral (penyelenggara) negara, demi WNI ikut serta keterlibatannya dalam melindungi harta milik negara atau milik rakyat bangsa ini.
Maka terbitlah, dan terbukti kekuatan sumber hukum dan hukum ini, banyak melahirkan dan atau menerbitkan berbagai bentuk PP, Kepres, Perpres, dan Kepmen serta terbentuknya wadah atau badan atau komisi, serta lain-lain berbagai wadah media hukum.
Di antaranya PP 68 Jo PP 43/2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; PP 22/2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Perpres 93/2022 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; PP 2/2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat; PP 78/2021 Tentang Perlindungan Khusus bagi Anak dan Jo Permen PPPA 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak dari Kekerasan.
Komisi Ombudsman, Inisiasi Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 10 Maret 2000 melalui Keppres 44/2000 Tentang Komisi Ombudsman RI untuk melaksanakan tugas, pokok, dan fungsinya, baik dalam konteks pencegahan maladministrasi dan penyelesaian laporan masyarakat, tentu misi lainnya memiliki peran untuk menyukseskan Teori Pembangunan Hukum Nasional.
Peraturan Kepolisian 4/2020 Tentang Pengamanan Swakarsa ini ditetapkan Kapolri Idham Aziz dan diundangkan Dirjen PP Kemenkumham di Jakarta pada 5 Agustus 2020. Perpol 4/2020 Tentang Pam Swakarsa ditempatkan pada Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 868.
Dan banyak lagi PP, Keppres, Perpres, dan Permen yang membutuhkan dan atau mengajak peran serta masyarakat, termasuk peran serta masyarakat ini sudah dapat dibuktikan dengan adanya komisi-komisi dibentuk oleh kekuatan legislatif dan eksekutif, lalu diangkat, dilantik pengurusnya menjadi pejabat publik (non pejabat negara) berdasarkan kekuatan undang-undang.
Sehingga, "Peran Serta Masyarakat dan Kebebasan Berpendapat dan kemerdekaan berdasarkan HAM", saat 26 Tahun Mega Bintang, bermakna secara hukum.
Melalui acara tersebut, masyarakat yang hadir menunjukkan bahwa mereka antusias untuk patuh dan tunduk terhadap perintah undang-undang positif, atau norma hukum yang mesti berlaku, bukan sekadar cita-cita atau mudah-mudahan berlaku (ius konstituendum) terkait pelaksanaan peran serta dan kemerdekaan menyampaikan berpendapat di muka umum, di antaranya, melalui teriakan atau kehendak people power, sebagai implementasi kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.
Tentunya sebagai wujud protes, kritisi dan para narsum menyuarakan, nanti pada saatnya, jika sudah diagendakan, (karena saat itu yang pada 11 Juni 2023 di Surakarta), di mana penulis artikel pun hadir, sebagai individu yang turut berpartisipasi dalam peran serta masyarakat saat pertemuan reuni 26 Tahun Mega Bintang.
Para narasumber baru sekadar menyampaikan terkait tentang hak-hak yang dimiliki oleh setiap bangsa ini, hak setiap warga negara lintas SARA, tentang berekspresi dalam bentuk menyampaikan pendapat, dan selebihnya unek-unek dari para tokoh, dan para pembicara sebagai peringatan keras dari rakyat yang berdaulat dan memiliki asas perintah konstitusi, yang muatan pesan moralnya adalah, "people power" akan disampaikan kepada wakil mereka (wakil bangsa ini) di Senayan, di DPR RI dan atau MPR RI.
Dan terkait momentum ketepatan waktu yang definitif, tidak ada diputuskan, kapan waktu people power direalisasikan, atau jelasnya belum ada agenda atau tidak diagendakan (mohon periksa daftar agenda acara).
Selebihnya kupasannya hanya penyampaian sebatas data empirik terkait sederet penyelewengan yang dilakukan para penyelenggara negara dari rezim saat ini, dan terkait isu adanya penyelewengan, memang faktual adanya serta jumlahnya bak isi gudang.
Beban Hukum para Anggota DPR RI Lintas Partai Periode 2019-2024
Meminjam istilah Moh. Mahfud MD, pejabat Menkopolhukam yang lemah tak berdaya, yang menyatakan, "bahwa saat ini di setiap sisi di mana kita menoleh selalu ada pelanggaran".
Publik membacanya dengan; "banyak perilaku pejabat publik dan oligarki saat ini yang sering transparansi melakukan tindak kejahatan". Lalu pendapat Menko Polhukam ini, memang mendapat justifikasi nyata oleh publik, termasuk jika dihubungkan dengan adanya Peringatan 26 Tahun Gerakan Mega Bintang, 11 Juni 2023 di Solo.
Namun akhirnya pendapat Moh. Mahfud MD yang disepakati oleh masyarakat nalar sehat, di antaranya di Solo 11 Juni 2023 ini, namun dikotori melalui gerakan masyarakat kelompok kecil dan minim pengetahuan sejarah hukum, para mahasiswa yang melaporkan para pegiat atau para narasumber pada momentum reuni Mega Bintang, pada 26 Juni 2023 di Solo, di Polda Jawa Barat.
Apakah nalar para pelapor kejepit, sehingga lupa akan pepatah "Jas Merah Soekarno" ? Oleh sebab laporan a quo in casu, terhadap Peringatan 26 Tahun Gerakan Mega Bintang, yang materiele waarheid justru Mega Bintang merupakan peristiwa heroik, serta produknya berkesinambungan, serta menghasilkan realitas pemerintahan dan tak terpisahkan kepada tatanan hukum serta eksistensi para pejabat publik saat ini, di antaranya, tentu orang-orang atau kelompok yang menduduki Kursi RI 1 dan pejabat tinggi pendampingnya di kabinet pasca 1997-1998.
Oleh sebab kadung publish dan ramai terhadap perihal atau tentang akan diagendakannya people power yang konstitusional, maka DPR RI dan MPR RI idealnya segera bersikap politik yang bijak, dan kelak memang notabene sebagai lembaga wakil rakyat, sesuai sounding pada acara Mega Bintang, 11 Juni 2023 di Solo bahwa upaya hukum yang akan dituju adalah di Senayan, sebagai salah satu lembaga tempat persinggahan people power.
Untuk itu, demi mencegah people power dalam bentuk nyata, DPR RI mencegah para aparatur negara agar acuhkan, laporan yang disampaikan oleh Kelompok manusia yang mengotori alam kehidupan demokrasi atau kelompok kecil yang antikonstitusi serta antieksistensi fakta empirik daripada historis hukum Mega Bintang serta kaitannya dengan orde reformasi, yang sudah dinikmati bangsa ini, terutama oleh para pejabat rezim saat ini.
Ketua dan atau anggota DPR RI dan MPR RI hendaknya berstatemen hukum yang santun, arif dan bijaksana, atau tidak provokatif.
DPR RI secara tegas dan transparan dan diketahui publik, mendorong para aparatur negara bersikap edukatif serta persuasif kepada peserta dan panitia reuni 26 Tahun Mega Bintang.
DPR RI juga segera menggunakan hak angket atau hak melakukan penyelidikan terhadap persepsi publik dan sepengetahuan DPR RI sendiri, yang sudah merupakan sebagai bukti sesuai asas notoire feiten/sepengetahuan umum, bukti krusial daripada perkembangan isu politik publik bangsa.
Sungguh amat memalukan, bagi Jokowi dan pejabat publik lainnya jika urat malu lengkap atau tidak putus, karena hampir setiap hari nyinyiran masyarakat para pegiat dan peselancar di berbagai media sosial yang begitu kasar dan menohok.
Kalimat-kalimat yang mereka lontarkan dan sampaikan, termasuk di antaranya pendapat negatif dari para akademisi, pakar hukum, pakar ekonom melalui berita online, podcast, video YouTube, TikTok, dan lain-lain perihal penegakan hukum dan pembangunan ekonomi dengan gejala bukti utang negara yang bertumpuk, kebohongan-kebohongan publik dan atau terkait informasi publik keabsahan ijazah-ijazah milik Jokowi, utamanya ijazah S1 Fakultas Kehutanan UGM yang nyatanya isu publik tersebut sudah memakan korban 2 WNI.
Yang oleh sebab temuan hukum, serta menggunakan fasilitas asas hukum "Peran Serta Masyarakat" dan kemerdekaan menyampaikan pendapat, namun terhadap para individu yang berperan serta, dan patuhi perintah hukum, justru berimbas vonis penjara, di antaranya Gus Nur dan Bambang Tri Mulyono.
MPR wajib memonitoring gerak politik para anggota parlemen di lembaga DPR RI yang ditengarai antara legislatif (DPR RI) dan pemerintah selaku penyelenggara negara eksekutif banyak terjadi konspirasi, baik diskresi khusus yang dikeluarkan presiden, atau pejabat tinggi publik yang mendapat dukungan moral politik melalui statemen politik individu (anggota parlemen dan kadang suara core partai tertentu dan core lintas partai).
Salah satunya model persetujuan RUU HIP yang indikasi hukumnya sebagai "perbuatan makar terhadap dasar negara Pancasila", yang justru RUU inisiasi BPIP, namun nyatanya diterima dan disetujui oleh mayoritas anggota DPR RI.
MPR RI berdasarkan hasil yang didapat DPR RI terhadap pemanggilan presiden, sesuai hak dan kewenangan dengan pola interpelasi atau hak untuk bertanya tentang berbagai kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi yang overlapping atau tumpang tindih antara kebijakan satu dengan yang lainnya, atau kebijakan yang melanggar konstitusi.
Maka, terpenting, hendaknya MPR RI melakukan tindakan politik luar biasa, jika keadaan bangsa ini tambah bergejolak atau terdapat gejala-gejala menuju force majeure politik, pasca laporan segelintir mahasiswa antisejarah, sehingga menjadi kegentingan.
Maka, keadaan darurat dengan sinyal merah, memaksa MPR RI harus bertindak dengan kebijakan politik, walau mesti mengenyampingkan serta ambil alih dan fungsi MK yang saat ini sistemnya mensyaratkan, pemakzulan presiden mesti melalui MK (UUD 1945).
Penulis tidak memprovokasi agar MPR RI atau publik tidak indahkan makna sumber hukum positif UUD 1945 dan UU MD3, namun selain bicara "jika" kegentingan yang memaksa atau oleh sebab force majeure politik dan keberadaan bangsa ini, maka secara perspektif dan logika hukum harus dipertanyakan tentang makna dan kewenangan legislatif, sebenarnya apakah badan legislatif atau badan lembaga yudikatif/Mahkamah Konstitusi?
Perubahan terkait MK yang seolah berperan ganda, yakni peran yudikatif dan ekspansi kekuasaan legislatif ditengarai adanya konspirasi politik atau pelemahan terhadap wakil rakyat atau substansialnya, melahirkan tatanan teoritis hukum yang melemahkan rakyat, karena diciptakan metode yang justru obstruksi terhadap kewenangan badan legislatif dan hak hukum para anggotanya, karena kekuasaan yudikatif menciptakan sabotase hak legislatif (MPR RI).
Sehingga, menjadi jalan sulit untuk ditempuh dan berliku-liku, kontradiktif dengan sistem asas hukum yang dianut oleh konstitusi (UU Kekuasaan Kehakiman) tentang contante justitie atau speedy trial.
Sehingga, patut disimpulkan produk UU MD3 dan perubahan konstitusi dasar UUD 1945, memang sengaja dikonstruksi sebagai barrier atau penyumbat atau sebagai bagian bad politics para eksekutif dan para politisi, namun oleh karena kekuatan sistem hukum, sehingga "dipaksa legitimate".
Dan, kausalitas hukumnya, andai rakyat yang banyak menemukan presiden melakukan pelanggaran adab dan moral atau ditemukan peristiwa delik yang dilakukan aparatur negara, namun ternyata presiden melakukan pembiaran atau bertindak obstruksi.
Atau, presiden secara individu, ditemukan telah melakukan delik, maka sistem konstitusi yang ada, UU MD3 ini justru menjadi wujud barrier, atau sebagai faktor penyumbat hukum, karena praktiknya proses pemakzulan presiden oleh DPR RI dan MPR RI akan dipaksa melalui waktu dan proses yang amat panjang, sulit penuh liku, akibat adanya hak legislatif (DPR RI dan MPR RI ) yang dihibahkan kepada yudikatif (MK).
Maka, MPR RI sejatinya wakil rakyat bangsa ini segera langsung saja melakukan sidang umum luar biasa MPR dengan satu agenda, "berhentikan Presiden Jokowi", dengan catatan jika DPR RI tidak melaksanakan rekomendasi atau saran poin-poin di atas.
Jika mereka, DPR RI melaksanakan, maka agenda tunggal "pemakzulan" oleh MPR RI tetap dapat berlangsung dengan tenang, aman, dan tertib serta damai oleh adanya faktor pelanggaran yang segudang. Di antaranya kebohongan kontrak sosial atau kontrak politik yang sering dan banyak Jokowi lakukan.
Sebaliknya, serta hal terpenting, jika ternyata faktor laporan oleh kelompok mahasiswa ditindaklanjuti secara apriori, tanpa mempertimbangkan kekuatan konstitusi, peran serta masyarakat, dan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, baik lisan tertulis, secara individu maupun kelompok dan hasil memuaskan daripada Gerakan Mega Bintang 1997 dibarrier, diobstruksi oleh para mahasiswa sempit pikir, dan didorong oleh aparatur dengan cara memproses hukum para narasumber ulang tahun Mega Bintang ke-26.
Dari sisi pandang fakta dan sejarah hukum, justru hari yang diperingati oleh 5 sampai 6 orang tokoh bangsa, 3 pembicara, serta para pengunjung lainnya, Gerakan Mega Bintang 1997 melahirkan kemaslahatan bagi umat dan tatanan atau sistem hukum pada bangsa dan negara ini, dari sistem militeristik (otoritarian) ke sistem reformasi serta Indonesia yang lebih demokratis? Dampak positif lainnya, Jokowi kini berkuasa di top eksekutif.
Maka jika DPR RI dan MPR RI mengabaikan hak dan kewenangan absolut yang dimiliki anak bangsa selaku wakil rakyat pada bangsa ini timbul gejala keadaan darurat karena dinamika politik yang memprihatinkan. DPR RI dan MPR RI malah tetap asik sekadar menonton dan menikmati fenomena dan gejala sosial yang ada.
DPR RI dan MPR RI tidak melaksanakan peran positifnya menurut undang-undang, tidak aktif menampung aspirasi dan tidak hendak mengantisipasi kekhawatiran publik bangsa ini, justru praktik pressure moral terjadi kepada masyarakat luas karena laporan in casu dari segelintir mahasiswa Bandung, di-follow up, lalu terjadi implicated dan complicated yang mengandung high risk dan extra chaotic tingkat nasional.
Maka prinsipnya DPR RI dan MPR RI sengaja lempar handuk, atau identik dengan ungkapan "whatever", atau apa pun terserah.
Maka, penulis yakini agenda people power jilid ke-2 akan menjadi kenyataan, Jokowi akan longsor dengan tidak terhormat. Lalu entah bagaimana nasib para pejabat publik yang ditengarai koruptor atau para pejabat, sosok oligarki, serta para kroninya bakal tunggang langgang dan lintang pukang dikejar gelombang kebangkitan kekuatan hukum yang dimulai dengan people power cikal bakal Mega Bintang Tahun 1997.
Kesimpulan dan harapan, mudah-mudahan konsep penerapan upaya hukum yang arif dan bijaksana akan dilakukan, utamanya oleh para aparat penegak hukum penyidik Polri, yang sudah semestinya berlaku teliti dan selalu berpedoman kepada undang-undang, transparansi, tidak diskriminatif, mandiri, objektif serta akuntabel, profesional dan proporsional (kredibel), bukan bekerja dan berkarya berdasarkan order dan stakeholder.
*Sekretaris Dewan Kehormatan DPP Kongres Advokat Indonesia (DK DPP KAI)
Artikel hukum ini dibuat sebagai legal opinion dan legal fight kepada penyidik Polda Jabar, yang menerima laporan hukum Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi Pancasila. Laporan dibuat terhadap eksistensi pembicara dalam rangka memperingati 26 Tahun Gerakan Mega Bintang 1997.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
Sentimen: netral (66.6%)