Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Pasar Rebo
Kasus: HAM
Tokoh Terkait
Penasihat Hukum Korban GGAPA Klaim Pemerintah Tak Mau Ganti Rugi
Tirto.id Jenis Media: News
tirto.id - Penasihat Hukum salah satu pihak keluarga korban Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) Rusdianto Matulatuwa, menyatakan bahwa pemerintah sebagai pihak tergugat, tidak mau membayar ganti rugi atas kasus ini.
Rusdianto menyatakan, proses sidang mediasi kasus gangguan ginjal akut pada anak yang disebabkan akibat mengkonsumsi obat sirop, menemui titik buntu.
Dalam dua kali sidang mediasi di Pengadilan Jakarta Selatan, Rabu (21/6), Rusdianto menyatakan pihak tergugat kompak menyampaikan tidak memiliki kewenangan untuk membayarkan uang kompensasi terhadap korban pasien anak yang menderita gangguan ginjal akut.
“Seperti obat yang tidak tercover dengan BPJS dan di luar anggaran. Intinya adalah anggaran yang menunjang kesehatan korban anak gagal ginjal untuk hidup lebih baik,” kata Rusdianto di Jakarta, Kamis (22/6/2023).
Penggugat dalam kasus ini adalah Eko Rachmat Saputro, yang merupakan orang tua korban GGAPA atas nama Raina Rahmawati (19 bulan).
Eko menggugat pihak yang dinilai bertanggungjawab untuk memberikan bantuan, dengan mengajukan uang sejumlah Rp4,9 juta per bulan. Selain itu, dalam petitum gugatannya korban juga meminta uang kompensasi dari biaya yang ditimbulkan di luar ketentuan BPJS Kesehatan.
Adapun pihak tergugat dalam perkara ini adalah Kementerian Kesehatan (tergugat 1), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (tergugat ii), PT Afi Farma (tergugat iii), dan Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo (tergugat iv).
Juga turut tergugat Kemenkes cq Rumah Sakit Bunda Harapan Kita (turut tergugat i). Kepala Kepolisian Republik Indonesia cq. Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Rumah Sakit Bhayangkara tk i r.said sukanto (turut tergugat ii), Kementerian Keuangan (turut tergugat iii).
Gagalnya mediasi ini menurut Rusdianto memperlihatkan secara gamblang bagaimana negara abai dan tidak mau bertanggung jawab dalam kasus gagal ginjal akut pada anak.
Padahal, kata Rusdianto, peredaran obat sirup beracun yang menyebabkan banyak anak-anak Indonesia mengalami gagal ginjal—bahkan kehilangan nyawa—tidak lepas dari kelalaian yang dilakukan para tergugat.
“Sebagai contoh, peredaran obat-obatan tersebut ditangani langsung oleh BPOM dan Kementerian Kesehatan,” ujarnya.
Rusdianto menyatakan, uang yang diminta ini nantinya akan dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan pengobatan korban.
Misalnya, uang tersebut akan dibelikan kebutuhan kesehatan anak seperti pembelian kasa steril, obat-obatan, dan biaya akomodasi ke rumah sakit sebanyak 2-3 kali dalam rangka melakukan proses penyembuhan akibat dari komplikasi tindakan hemodialisis atau cuci darah rutin.
Komnas HAM sebelumnya, juga telah mengeluarkan rekomendasi yang menyebutkan terjadi indikasi kelalaian dari Kementerian Kesehatan dan BPOM terkait kasus ini. Oleh karena itu, Rusdianto berharap Majelis Hakim akan memberikan putusan yang adil bagi korban dan pihak keluarga.
“Namun ketika itu diajukan sepertinya semakin menegaskan di negeri ini bahwa orang miskin di larang sakit. Akhirnya persoalan uang Rp4,9 juta ini yang bisa menyelamatkan kehidupan nyawa anak manusia menjadi terabaikan hanya gara-gara persoalan birokrasi,” ujar Rusdianto.
Rusdianto menambahkan, orang tua korban juga ikut terdampak secara finansial atas kasus GGAPA ini.
“Mengalami kendala dalam bekerja karena tidak bisa meninggalkan anaknya dalam waktu yang lama, suaminya tidak bisa meninggalkan istrinya sendiri karena untuk pengobatan penyakit ginjal itu harus ada yang dilakukan secara berkala,” imbuh Rusdianto.
Di sisi lain, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementrian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan, dirinya belum bisa memastikan klaim dari Rusdianto tersebut.
“Ditanyakan dulu ya (informasi tersebut),” kata Nadia dihubungi reporter Tirto, Kamis (22/6/2023).
Sentimen: negatif (100%)