Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: HAM
Tokoh Terkait
Koalisi sipil tolak RUU Kesehatan, sebut prosesnya cacat
Alinea.id Jenis Media: News
"Dari proses legislasi RUU omnibus Kesehatan ini kita menyaksikan, di tangan Pak Menteri Budi Gunadi Sadikin, aspirasi-aspirasi kesehatan, seperti yatim piatu, terabaikan, terlantar di 'rumah sendiri'. Tak cukup dibela, tak cukup diperjuangkan. RUU yang harusnya menjadi rumah besar bidang kesehatan justru tak mencerminkan pemihakan pada kepentingan kesehatan," tutur perwakilan Indonesia Institute for Social Development (IISD), Ahmad Fanani.
"Manakala seorang Menkes memunggungi aspirasi-aspirasi kesehatan, sejatinya ia telah kehilangan legitimasi moral sebagai Menteri Kesehatan. Bila masih mau tetap menjadi menteri, saran saya, baiknya Pak BGS sekalian saja mengubah nomenklaturnya jadi 'Menteri (Industri) Kesehatan'," imbuhnya.
Jaringan masyarakat sipil untuk pengendalian tembakau juga melihat proses pembahasan dan penyusunan RUU Kesehatan cacat karena prosesnya tergesa-gesa, tanpa transparansi kepada publik, dan akuntabilitasnya dipertanyakan. Dengan demikian, hasil penyusunan dan pembahasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
"Pembahasan RUU omnibus Kesehatan tertutup dan tergesa-gesa. Terlihat dari website Kemenkes, update DIM sangat minim dan public hearing yang telah dilakukan seakan hanya dekoratif saja. Tidak ada jaminan partisipasi kaum muda dapat terakomodasi dengan baik," ungkap Project Manager Indonesia Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Ni Made Shellasih.
Koalisi sipil berpandangan, pengendalian tembakau, yang menyebabkan berbagai penyakit, takkan tercapai jika tak mengutamakan pendekatan preventif. Perbaikan-perbaikan perlu dilakukan dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak, termasuk larangan iklan, promosi, dan sponsor. Dengan demikian, urgensi aturan ini seharusnya tertuang dalam RUU kesehatan untuk menjaga keterbukaan, melibatkan publik, dan memenuhi standar internasional yang telah ditetapkan.
Jika aturan tersebut terlalu teknis dan terlempar ke peraturan yang lebih rendah, koalisi sipil mengkhawatirkan risiko pengendalian tembakau yang tidak terkendali meningkat. Pangkalnya, iklan rokok bakal melonjak dan minimnya pengawasan publik.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menilai, RUU Kesehatan menggambarkan malicious legislation. Artinya, proses pembentukan kebijakan dengan upaya jahat, penuh tipu daya, dan merugikan masyarakat.
"RUU Kesehatan tidak menjalani tahapan perencanaan, penyusunan yang kayak karena tidak terbuka, tidak partisipatif, dan tidak ada rumusan identifikasi permasalahan kebijakan sektoral yang ada serta kebutuhan pemenuhan kesehatan yang belum diatur kebijakan yang ada, yang seharusnya jadi pijakan omnibus law. Terlebih, tidak diketahui siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam tahapan awal perencanaan dan penyusunan, lalu tiba-tiba lompat ke pembahasan dengan draf pasal per pasal yang sudah ada," urainya.
Karenanya, bagi Julius, RUU Kesehatan wajib ditolak dan diproses ulang dengan melibatkan publik dan mengakomodasi kepentingan hak atas kesehatan. Pernyataan senada disampaikan Ketua Umum Komite Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany; Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI); dan organisasi sipil lainnya.
Sentimen: positif (98.5%)