Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Beijing, Paris, London, New York
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait
Mantap Xi Jinping! Berkat Anda Waktu 'Kiamat' Bumi Mundur
CNBCindonesia.com Jenis Media: News
Jakarta, CNBC Indonesia - Tiap kali acara tahunan Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP) berlangsung, Maladewa menjadi salah satu negara yang cukup vokal menyuarakan pentingnya bahaya perubahan iklim. Alasannya jelas, Maladewa jadi yang paling merasakan hal itu karena terancam tenggelam imbas kenaikan air laut buntut peningkatan suhu global.
Bahkan, jika tidak ada perubahan berarti, dipercaya pada 2100 Maladewa bakal tinggal nama. Pada kondisi ini, Maladewa adalah korban dari keganasan perubahan iklim yang justru tidak dilakukan olehnya sendiri.
Sebab, tulis Jason Hickel dalam "Quantifying National Responsibility for Climate Breakdown" (2020), tanggungan dosa besar atas kerusakan bumi harusnya menyasar negara-negara besar dan kaya. Bukan negara miskin atau kepulauan, seperti Maladewa.
Jadi, wajar apabila negara kepulauan yang berada di Samudera Hindia ini menuntut negara-negara besar untuk bertanggung jawab. Sebab, negara itu sebenarnya tidak bersalah karena hanya mengeluarkan emisi karbon yang sangat kecil.
Dan salah satu target negara yang dituntut bertanggungjawab itu adalah China.
Tuntutan terhadap China tentu selaras dengan laporan bahwa negara itu memuncaki klasemen negara penghasil karbon dioksida terbesar di dunia. Hal ini diungkap oleh Bank Dunia dalam laporan tahun 2022 lalu.
Diketahui, sejak 2006 China bertanggungjawab atas 27% emisi karbon dunia dengan total 14 miliar ton per tahun. Parahnya, sebagaimana dilaporkan Bloomberg (2021), jutaan emisi karbon tersebut disumbangkan oleh 1-2 perusahaan saja, yang total emisi tahunannya setara dengan gabungan emisi beberapa negara
Sebagai contoh, perusahaan minyak Petrochina Company Ltd, yang mengeluarkan 881 juta ton karbon per tahun. Angka ini setara gabungan emisi karbon tahunan Vietnam dan Korea Selatan.
Di bawah itu ada BUMN listrik Huaneng Power International penghasil 317 juta ton karbon per tahun. Jumlah ini setara dengan total emisi tahunan Inggris.
Dari sudut pandang ekonomi, besarnya angka lepasan karbon itu jelas berkaitan dengan agresifitas China untuk menjadi 'Raja' dunia. Sejak tahun 1980-an dan makin masif di abad ke-21, China seakan tidak peduli terhadap kerusakan iklim dan lingkungan.
Yang penting pembangunan berjalan, baik di dalam atau luar negeri meski lewat instrumen investasi. Meski begitu, kondisi seperti itu sebenarnya sudah berbanding terbalik.
Mulai Berbenah
Menurut laporan Global Times (2021), pemerintah China mulai membuka mata dan menerima masukan dunia ihwal kerusakan iklim. Bahkan, Presiden Xi Jinping berjanji tidak akan membangun proyek baru pembangkit listrik tenaga batu bara di dalam dan luar negeri.
Dia juga berkomitmen ihwal keseriusannya mencapai energi hijau. Bahkan mendukung negara-negara lain melakukan transisi energi.
Sebenarnya, 'genderang perang' melawan krisis iklim sudah digaungkan China pada Perjanjian Paris 2015 imbas meningkatnya polusi udara beberapa waktu sebelum perjanjian. Mengutip The Guardian, pada saat itu, Beijing berjanji menurunkan emisi karbon sebelum tahun 2030 dan mengakhiri total penggunaan karbon sebelum tahun 2060.
Untuk merealisasi ini, China secara global membentuk dana abadi kerjasama iklim sebesar US$ 3,1 miliar dan melakukan beberapa inisiatif besar. Menurut pemerintah China sendiri ini pun "mengorbankan pembangunan ekonomi."
Pengorbanan ini terlihat pada kebijakan China menyetop pembukaan pembangkit listrik batu bara. Bahkan, mengutip laporan Green Finance & Development Center, Negeri Tirai Bambu telah menghentikan arus investasinya terhadap proyek tersebut di luar negeri, meski berpotensi cuan jika tetap dilanjutkan.
Zimbabwe menjadi negara pertama yang terkena dampak kebijakan ini. Mengutip Bloomberg, proyek pembangkit listrik batu bara senilai US$ 3 miliar di sana dihentikan China sebagai komitmen menuju energi hijau.
Sebagai dampak transisi energi, China kemudian mengalihkan duitnya ke arah yang lebih bermanfaat. BBC mencatat, China setelahnya banyak berinvestasi di sektor energi terbarukan.
Elite Beijing lebih memilih membangun proyek pembangkit listrik tenaga angin. Termasuk berinvestasi di mobil listrik, dan menaruh uang di proyek energi terbarukan.
Khusus yang terakhir, China telah sukses membuat panel surya dan baterai berskala besar. Berkat ini, peneliti Overseas Development Institute Yue Cao, menjelaskan kalau China menjadi negara pemimpin transisi energi secara global.
Kesuksesan ini membuat duta iklim Amerika Serikat (AS) sekaligus eks-Menlu AS, John Kerry, mengacungkan jempol untuk Beijing. Dalam opini bertajuk "Don't Let China Win the Green Race" di New York Times, Kerry menyebut China sudah lebih maju dan meminta AS meniru kebijakan China agar tidak ketinggalan.
Tak hanya itu, berkat upaya pemulihan ini, NASA menyebut China, bersama India, menjadi lebih hijau dalam 20 tahun terakhir. Artinya, terjadi perluasan penanaman pohon di sana.
Kendati telah terjadi perubahan signifikan di sana, para peneliti dari London School of Economy menjelaskan bahwa itu akan menjadi hal sia-sia apabila tidak ada komitmen serupa dari seluruh negara di dunia. Sebab, kontribusi karbon tahunan tak hanya disumbang China, tetapi juga AS, India, negara-negara Eropa, juga Indonesia.
Jadi, perlu komitmen bersama satu dunia. Apalagi kalau bukan untuk mengurangi emisi karbon demi menghindari terjadinya 'kiamat'.
[-]
-
Bukan Perang-Covid! Bill Gates Beri Warning Petaka Baru Bumi
(mfa/sef)
Sentimen: positif (94.1%)