Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak, Pemilu 2019, Pemilu 2014
Institusi: Universitas Indonesia
Tokoh Terkait
Penghapusan Laporan Sumbangan Dana Kampanye Suatu Kemunduran
Tirto.id Jenis Media: News
tirto.id - Anggota Dewan Pembina untuk Pemilu Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghapus laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK), sebuah langkah mundur. Sebab, LPSDK sudah diatur KPU sejak Pemilu 2014 hingga 2019 lalu.
"Penghapusan LPSDK suatu kemunduran bagi transparansi dan akuntabilitas dana kampanye. Meski tidak diatur dalam UU, tapi LPSDK sudah diatur KPU sejak Pemilu 2014. Dilanjutkan terus hingga pilkada serentak dan Pemilu 2019," kata Titi saat dihubungi reporter Tirto, Minggu (11/6/2023).
Menurut Titi, KPU saat ini terkesan minim komitmen untuk melakukan terobosan bagi penyelenggaraan pemilu yang antikorupsi, bersih, dan berintegritas. Ia mengatakan seluruh kontroversi yang melemahkan kerangka hukum pemilu demokratis berangkat dari pengaturan KPU. Padahal, lanjut Titi, Undang-Undang Pemilu tidak berubah.
"Mulai dari pengaturan keterwakilan perempuan, pengurangan masa jeda pencalonan mantan terpidana yang mendapat hukuman pencabutan hak politik, penghapusan persyaratan LHKPN dalam PKPU Pencalonan, dan sekarang penghapusan pengaturan LPSDK," ucap Titi.
Pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu mengatakan, LPSDK adalah instrumen yang bisa digunakan publik untuk mengecek dan memantau akuntabilitas dana kampanye peserta pemilu. Sebab, laporan awal dana kampanye (LADK) ataupun laporan penerimaan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) tidak bisa menjadi pertimbangan bagi pemilih dalam memilih peserta pemilu pada hari H.
"Sebab, misalnya durasi penyampaian LPPDK itu dilakukan kebanyakan setelah hari pemungutan suara. Jadinya, tidak bisa memberikan informasi kepada pemilih sebagai pertimbangan dalam mencoblos," tutur Titi.
Titi menyayangkan praktik baik yang merupakan terobosan hukum KPU dan sudah dipraktikkan sejak lama di mana para peserta pemilu juga mampu mematuhinya justru dihapuskan. Alasannya, kata Titi hanya karena alasan yang sangat pragmatis, tidak diatur dalam UU.
Oleh karena itu, Titi menilai sikap KPU sangat mengecewakan bagi upaya mewujudkan integritas pemilu dan semakin menunjukkan rendahnya komitmen dan konsistensi mereka dalam berdemokrasi dan gerakan antikorupsi. Padahal, IPK Indonesia sedang merosot tajam di 34 poin.
"Sampai-sampai membuat presiden [Jokowi] gelisah dan menerbitkan RUU Perampasan Aset sebagai upaya mengatasinya. Sayang spirit yang sama tidak dimiliki KPU," pungkas Titi.
Sentimen: negatif (99.9%)