Kisah Sedih Huang Che Ming
Rmol.id Jenis Media: Nasional
Itu terjadi setelah Barlian melihat langsung kondisi Huang dan Siti Aisah, mantan PRT keluarga Huang yang kini jadi ibu angkat Huang. Sebelumnya, pihak imigrasi sudah menyatakan akan mendeportasi Huang.
Barlian: "Dari data kami, bersangkutan (Huang Che Ming) overstay 3 tahun 10 bulan. Maka, harus dideportasi ke Taiwan.”
Tapi ketika tim Imigrasi mendatangi rumah Siti Aisah di Desa Kamojing, Kecamatan Cikampek, Kabupaten Karawang. Tim meneliti secara mendalam. Lalu hasil penelitian itu dibahas unsur pimpinan Imigrasi. Akhirnya rencana deportasi dibatalkan.
Barlian: "Kami sudah datangi rumah Siti Aisyah. Kita pahami kondisinya seperti apa. Kami juga sudah komunikasi dengan pimpinan, dan memang WNA itu juga sedang sakit dan membahayakan dirinya."
Huang pengidap down syndrome sejak lahir. Kini usia 26. Tinggi badan 170 sentimeter. Tapi kondisinya seperti anak usia 3 tahun. Tidak bisa makan sendiri. Tidak bisa mandi sendiri. Tidak bisa bisa pakai pakaian sendiri. Tangan kiri-kanan kithing (bengkok). Jalannya geloyoran (seperti hendak jatuh).
Terparah, Huang tidak bisa cebok sendiri.
Seumpama ia dideportasi ke Taiwan, saat menunggu pesawat di bandara pun, ia pasti akan ke toilet. Lantas, siapa yang akan membantunya? Selama ini dibantu Aisah. Inilah (mungkin) pertimbangan Imigrasi.
Kasus unik ini muncul dua pekan lalu. Ketika Aisah mengunggah video di TikTok. Isinya, dia punya anak asuh Huang Che Ming, masuk IGD karena penyakitnya kambuh. Barangkali, keluarga Huang di Taiwan mau membantu biaya pengobatan.
Video itu dikomentari banyak warganet. Ditonton ribuan orang yang simpatik pada Aisah. Memuji perbuatan baik Aisah. Maka, viral dalam waktu cepat.
Aisah kepada wartawan, Rabu (7/6) mengatakan: "Enggak ada niat saya buat viral awalnya. Enggak menyangka juga. Videonya yang saya unggah aja kan cuman berapa detik saja, cuman banyak komen dan tag. Tau-tau bisa begitu.”
Viral ini membuat pihak Imigrasi menyelidiki. Akhirnya pembatalan deportasi itu.
Kisahnya, Aisah jadi TKW di Taiwan sejak 2013. Ia langsung ditempatkan jadi PRT keluarga Laopan. Di rumah itu Laopan tinggal dengan dua anaknya, yang pertama perempuan usia 18 dan adiknya, Huang usia 16 (waktu itu).
Pekerjaan Laopan, satpam di komplek perumahan di sana. Sedangkan, istri Laopan tinggal di rumah tidak jauh dengan rumah Laopan dan dua anaknya.
Aisah: “Bos saya dan isterinya pisah rumah. Mereka cerai enggak, nyatu juga enggak. Malah tidak saling bicara. Istrinya enggak mau ngurusin anak-anak, terutama karena ada Huang yang kondisinya begitu.”
Saat hari pertama bekerja, Aisah kaget. Tugas paling berat, mengurus Huang itu. Menyuapi makan. Memandikan dan memakaikan pakaian. Nyeboki. Bahkan, menjaga agar tidak jatuh, karena jalannya geloyoran.
Aisah kecewa, jauh-jauh dari Karawang ke Taiwan, dapat pekerjaan begitu. Berat. Tapi, dia tidak mungkin membatalkan, karena penempatan itu sudah dirancang lembaga penyalur TKI di Indonesia. Dia tak boleh menolak.
Penasaran, Aisah bertanya ke Laopan, tentang kondisi Huang. Dijelaskan Laopan, bahwa Huang lahir kondisinya sudah begitu. Dokter menyebutnya down syndrome.
Aisah: “Waktu Huang baru lahir, mamanya minta ke dokter agar bayi itu disuntik mati. Pihak rumah sakit masih rapat soal itu. Tapi bos saya menolak keras suntik mati Huang. Dari situ bos sama istri jadi enggak rukun, akhirnya pisah rumah.”
Laopan bertekad merawat sendiri Huang sejak bayi. “Bos sangat sayang sama Huang. Setelah Huang umur 16, barulah saya masuk kerja di rumah tangga bos.”
Dari cerita itu, dan kenyataan ibunda Huang tinggal tak jauh dari situ tapi ogah mengurus rumah tangga, Aisah jatuh iba. Dia lama-lama ikhlas mengurus Huang. Rutin tiap hari. Cuma kalau Laopan libur kerja, Huang diurus ayahnya.
2019 kontrak kerja Aisah berakhir. Aisah memutuskan pulang kampung. Karena dia punya anak dua di Karawang. Dirawat ayah mereka. Tapi rencana kepulangan Aisah dicegah Laopan. Kontrak hendak diperpanjang, tapi Aisah menolak.
Aisah: “Bos dengan sedih bilang, siapa yang mengurus Huang, kalau kamu pulang ke Indonesia? Saya bilang, saya juga punya dua anak, pengen ngurus anak saya sendiri.”
Kemudian dicapai kesepakatan, Aisah diminta Laopan jangan pulang dulu, sambil menunggu dapat PRT pengganti. Aisah setuju menunda kepulangan.
Aisah: “Dicoba perawat berkali-kali gagal. Perawatnya mau, Huang enggak mau. Huang nangis, enggak mau saya tinggal. Sampai tujuh perawat dicoba berhari-hari tidak cocok semua. Saya jadi bingung.”
Pikir punya pikir, Laopan memutuskan, Aisah boleh membawa Huang ke Karawang. Biaya hidup Huang juga honor Aisah ditransfer Laopan setiap bulan. Biaya kesehatan Huang kalau dirupiahkan sekitar Rp 3 juta per bulan. Belum termasuk makan.
Aisah mikir. Dia menelepon suami di Karawang, minta pertimbangan. Suami Aisah sudah tahu keseharian Aisah dan Huang. Tapi belum tahu bahwa Huang akan dibawa pulang Aisah.
Esoknya, suami Aisah menyatakan setuju Huang dibawa ke Karawang, asal biaya hidup dan kesehatan Huang ditanggung ayahnya.
Aisah: “Tahun 2019 saya pulang ke Karawang bertiga: Sama Huang dan kakak perempuannya. Kayak perempuan menginap semalam di rumah saya, esoknya pulang balik ke Taiwan.”
Hari-hari Huang di Karawang tetap dirawat Aisah. Ternyata suami Aisah juga ikut membantu merawat Huang. “Suami saya kadang memandikan, memakaikan pakaian, nyuapin, kalau saya lagi repot,” ujar Aisah.
Huang juga kerasan di Karawang. Asal ia dekat dengan Aisah, Huang kelihatan gembira. Kata Aisah, Huang bukan anak yang merepotkan. Selain segala keterbatasan bawaan itu.
Bulan demi bulan, Aisah dapat transferan biaya hidup Huang dari Laopan. Rutin. Sampai Agustus 2021 Laopan meninggal. Tak ada lagi transferan. Nomor HP kakak Huang juga tak bisa dihubungi. Apalagi ibunda Huang, malah cuek sejak Aisah awal bekerja di Taiwan.
Aisah: “Kira-kira sebulan sebelum bos meninggal, ia kirim surat wasiat ke saya, isinya menyatakan, Huang supaya dirawat saya selamanya. Waktu itu bos sudah sakit parah. Kayaknya, bos sudah punya firasat hidupnya.”
Setelah transferan rutin putus, Aisah dan suami ikhlas merawat Huang. Aisyah dan suami buka warung kelontong di rumah mereka.
Aisah sudah punya anak lagi, kini usia 3,5 tahun. “Dua anak saya itu (kelas tiga SMA dan kelas tiga SMP) sayang banget sama Huang. Anak-anak saya panggil Aa ke Huang. Terutama anak bontot, sayang banget sama Huang.”
Kondisi Huang bersama keluarga Aisah itu diamati cukup lama oleh tim dari Imigrasi. Sudah empat tahun Huang tinggal di rumah sederhana Aisah itu. Menyatu sebagai keluarga.
Repotnya, pekan lalu muncul pernyataan dari Taipei Economic and Trade Office (TETO). Taiwan adalah bagian dari China, disebut One China (China Daratan, Hong Kong, Taiwan). Tapi urusan Indonesia dengan Taiwan ditangani TETO.
TETO mengumumkan, Huang Che Ming warga negara Taiwan. Dan, harus kembali ke Taiwan. Jika keluarga Huang terbukti tidak mau merawat Huang, berdasarkan hukum Taiwan, bakal dihukum menelantarkan anak. Sedangkan Huang meski sudah dewasa, akan dimasukkan ke panti asuhan anak terlantar, karena kondisi fisik dan mentalnya.
Aisah: “Buat saya, meskipun saya menyayangi Huang tapi kalau diputuskan ia harus pulang Taiwan, saya ikhlaskan. Itu terjadi waktu didatangi bapak-bapak dari Imigrasi, anak saya yang bontot nangis. Katanya: Aa enggak boleh pergi.”
Keputusan Imigrasi membatalkan deportasi Huang, bertentangan dengan pengumuman TETO. Sama-sama lembaga yang berpijak pada hukum formal. Tapi beda keputusan.
Kasus ini belum final. Belum ada eksekusi dari pengumuman TETO. Inilah kontradiksi antara hukum formal dengan kemanusiaan. Meskipun, dasar-dasar hukum adalah keadilan manusia. Entah, bakal menang mana.Penulis adalah Wartawan Senior
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
Sentimen: negatif (79.9%)