Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM, FH UGM
Kasus: HAM, kekerasan seksual
Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga
Krjogja.com Jenis Media: News
Ilustrasi.
Krjogja.com - Pekerja Rumah Tangga atau PRT merupakan pekerjaan yang termasuk kedalam pekerja sektor non-formal. Karena pada umumnya mereka bekerja di rumah-rumah orang yang membutuhkan bantuan dalam mengurus kebersihan dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Bentuk pekerjaan yang cenderung membersihkan dan merapikan rumah tersebut sejak awal diberi stigma bahwasannya pekerjaan yang dilakukan PRT adalah pekerja rendahan yang tidak memiliki nilai dan juga tidak membutuhkan skill khusus yang berkualitas.
Mereka dianggap hanyalah sebagai pembantu (helper), sehingga tidak layak masuk sebagai kategori pekerja (workers) seperti yang lainnya dimana dianggap harus memiliki skill khusus sesuai bidang pekerjaan dan juga memiliki pendidikan tinggi. Sementara PRT siapa pun bisa melakukannya meski yang hanya berpendidikan rendah.
Hal ini lah yang sering kali sebagai orang yang mempekerjakan PRT atau biasa kita sebut “majikan” memandang bahwa PRT memiliki derajat lebih rendah dan harus menuruti semua keinginan majikan tersebut. Mau tidak mau, suka tidak suka, PRT yang merasa terintimidasi dengan majikan nya tersebut dan memiliki ketimpangan kekuasaan antara keduanya, terpaksa hanya bisa pasrah apabila diperlakukan buruk oleh sang majikan.
Seperti dikutip dari KETERANGAN PERS Nomor: 11/HM.00/II/2023 KOMNAS HAM bahwa menurut JALA PRT ada setidaknya 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT baik secara ekonomi maupun fisik, seperti tidak diberikan gaji atau gaji PRT di potong secara semena-mena tanpa ada kesepakatan dan alasan yang jelas. Kemudian ada juga yang mengalami kekerasan fisik, psikis, dan bahkan kekerasan seksual. Komnas HAM juga kerap menerima pengaduan kasus pekerja rumah tangga yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia hilang kontak, kekerasan, dan perdagangan orang. Ironisnya lagi PRT yang masih dianggap menjadi pekerjaan yang kurang dihargai, dan memiliki gaji yang cenderung rendah tersebut, pekerjanya tidak dilindungi oleh hukum secara sempurna, khususnya belum ada peraturan hukum yang melindungi hak-hak PRT sebagai pekerja seperti kepastian tentang batasan jam kerja, hari libur, upah minimum, dan syarat kerja serta mayoritas PRT belum memiliki kontrak kerja yang jelas baik secara lisan maupun tertulis yang mengatur mengenai hal-hal yang disebutkan sebelumnya.
Belum adanya pengaturan yang secara rinci melindungi hak-hak PRT tersebut tentu saja membuat PRT sulit untuk mencari keadilan melalui jalur hukum. Tidak adanya perlindungan yang memayungi pekerjaan mereka membuat pelaku pelanggaran HAM terhadap PRT tentu merasa nyaman atas kuasanya dan aman atas perilaku buruk mereka. Kemudian tidak adanya kontrak kerja yang jelas mengenai hari libur, jam kerja, serta upah minimum membuat para majikan diluar sana semakin berperilaku sewenang-wenang terhadap PRT nya. Padahal PRT juga manusia yang memiliki martabat dan hak-hak asasi manusia yang harus selalu dihargai dan tidak boleh dibelenggu oleh orang lain siapa pun itu.
Pekerja Rumah Tangga juga sangat penting keberadaan nya bagi sang pemilik rumah yang memang memerlukan bantuan untuk mengurus kebutuhan sehari-hari dalam pekerjaan rumah baik ibu rumah tangga maupun wanita karir. Terlebih lagi bagi wanita karir yang telah memiliki keluarga dan anak, kemudian sebagian besar waktunya di pakai untuk bekerja sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk mengurus kebersihan dan kebutuhan rumah sehari-hari.
Maka disini peran PRT sangatlah penting dan sangat menolong ibu-ibu diluar sana baik ibu rumah tangga maupun wanita karir yang telah berkeluarga, sehingga perumusan mengenai regulasi PRT sangatlah penting untuk lebih mengakomodasi dan memberikan proteksi terhadap semua warga negara dengan berbagai bentuk pekerjaan secara komprehensif sampai kepada ruang lingkup kerja yang paling kecil, seperti PRT yang bekerja untuk orang lain di kediaman mereka.
Hak asasi manusia merupakan hak fundamental dimana negara sebagai pengembang kewajiban untuk untuk mengakui (to recognize), melindungi (to protection), memenuhi (to fulfil) . Teori kontrak sosial Locke yang berangkat dari keadaan alam juga mengatakan bahwasannya kekuatan politik yang benar adalah kondisi negara yang memberikan kebebasan sepenuhnya (kepada warga negaranya) tanpa meminta izin kepada orang lain. Locke juga mengatakan bahwa setiap orang dilahirkan dengan hak istimewa yang sama. Indonesia demi mewujudkan terpenuhinya kewajibannya sebagai negara untuk memperjuangkan dan melindungi nilai-nilai HAM juga telah ikut serta meratifikasi nilai-nilai yang ada pada Universal Declaration of Human Rights , seperti ICCPR dengan UU No.12 Tahun 2005, ICESCR dengan UU No. 11 Tahun 2005, dan CEDAW dengan UU No. 7 Tahun 1984. Secara umum konvensi tersebut berisi hak-hak warga negara di setiap negara untuk dihargai, diakui, dilindungi, dan dipenuhi baik negara bersifat aktif (ekonomi, Pendidikan, budaya, dll) maupun pasif (hak beragama, politik, dll).
Indonesia juga meratifikasi melalui UU Nomor 21 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO Convention No. 111 Concerning Discrimination In Respect Of Employment And Occupation (Konvensi Ilo Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan Dan Jabatan) dimana dalam Pasal 2 dikatakan Setiap anggota yang memberlakukan Konvensi ini wajib mengumumkan dan membuat kebijakan nasional yang bertujuan untuk memajukan dengan cara yang sesuai dengan keadaan dan kebiasaan nasional, persamaan kesempatan dan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan dengan tujuan untuk meniadakan diskriminasi dalam hal tersebut.
Keadaan dan juga kebiasaan yang berada di negara Indonesia seperti yang kita tahu sangat melekat dengan kebudayaan warga negara nya yang banyak memakai jasa PRT, sehingga sudah saat nya PRT masuk kedalam jajaran pekerja yang dilindungi haknya dan diperjelas tupoksi kerjanya, serta memiliki kontrak kerja yang melimitasi kekuasaan pengguna jasa mereka agar tidak semena-mena dan memandang rendah pekerjaan PRT tersebut sebagai negara yang mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia baik dalam regulasi nasional maupun internasional.
Oleh:
Alfina Sabila
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM
Sentimen: positif (98.5%)