Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM
Kab/Kota: Solo
Mencegah Anak Merokok
Solopos.com Jenis Media: News
SOLOPOS.COM - Pomfilia Gracewaty Zendrato (Solopos/Istimewa)
Solopos.com, SOLO – Har i Anti-Tembakau Sedunia dipreringati setiap 31 Mei. Tahun ini World Health Organization (WHO) mengangkat tema We Need Food, Not Tobacco. Kita harus mengutamakan menanami lahan untuk kebutuhan pangan daripada tembakau.
Kita perlu mengurangi kebutuhan tembakau pada masa depan, salah satunya rokok. Anak usia 0-19 tahun (WHO) atau 0-18 tahun (Kementerian Kesehatan) adalah aset masa depan yang jika tidak kita cegah akan berpotensi menjadi konsumen produk tembakau.
PromosiCucok Bun! Belanja Makeup di Tokopedia Sekarang Bisa Dicoba Meski Lewat Online
Prevalensi perokok anak di Indonesia naik tiap tahun, yaitu 7,2% (Riset Kesehatan Dasar 2013), 8,8% (Survei Angkatan Kerja Nasional 2016), 9,1% (Riset Kesehatan Dasar 2018), 9,79% (Survei Sosial Ekonomi Nasional 2021) dengan rata-rata mulai merokok sejak usia 10 tahun.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengestimasi kenaikan prevalensi perokok anak 16% pada 2030 jika kita tidak segera melakukan upaya komprehensif untuk mengendalikan.
Dunia menjuluki Indonesia baby smoker country. Negara dengan jumlah perokok terbanyak kedua dan jumlah perokok anak terbanyak di dunia. Perilaku merokok orang tua, pengaruh teman sebaya, kemudahan akses ke rokok, tidak adanya pelindungan anak dari rokok menambah perokok anak di Indonesia.
Hasil penelitian Gentzke A.S., et.al. (2022) menjelaskan faktor-faktor yang mendorong penggunaan tembakau pada generasi muda adalah tersedianya aneka varian rasa rokok, adanya akses ke produk tembakau, paparan promosi, dan persepsi yang salah tentang bahaya penggunaan produk tembakau.
Prevalensi perokok di Jawa Tengah 28,72%, peringkat ke-11 di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan perokok di Kota Solo pada 2021 meningkat seiring bertambah usia. Dari usia 15 tahun hingga 24 tahun (10,51%) naik terus sampai batas usia 45 tahun hingga 54 tahun (25,36%) dan mulai menurun setelahnya.
Kita telah menuai berbagai macam kerugian akibat merokok. Saat ini di Indonesia ada 290.000 orang tiap tahun yang meninggal akibat penyakit tidak menular yang disebabkan perilaku ini. Rokok menyebabkan penurunan kecerdasan anak. Ini mengancam kualitas generasi muda kita.
Anak adalah bagian masyarakat yang lemah dan rentan. Negara harus hadir mencegah mereka terjebak dalam ikatan nikotin. Pengendalian merokok di Indonesia masih setengah hati. Kita satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Ini konvensi tentang pengendalian tembakau di dunia. FCTC mewajibkan seluruh negara yang menandatangani perjanjian ini melarang semua bentuk iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau. Salah satu dampak tidak meratifikasi aturan tersebut adalah kita menjadi pasar potensial rokok impor.
Iklan dan PromosiKita gagal melindungi generasi muda kita dari pengaruh negatif rokok dan produk tembakau lainnya. Menaikkan cukai rokok tidak berhasil mengurangi prevalensi perokok secara signifikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan tidak efektif menurunkan perokok anak.
Aturan ini tidak mencantumkan pengaturan iklan, promosi, dan sponsor produk rokok di media. Pada akhir 2022, terbit Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 yang mencanangkan larangan penjualan rokok secara batangan mulai 2023 yang bertujuan mengurangi jumlah perokok.
Aturan tersebut hanya menunda akses ke rokok bagi sebagian orang. Sebagian lain, yang mampu membeli rokok bungkusan, gampang mengaksesnya di lokapasar, bahkan di banyak toko atau kios. Harga rokok per bungkus hanya belasan dan puluhan ribu rupiah.
Harga itu bisa dijangkau anak dengan uang saku. Belum ada larangan dan pengawasan penjualan rokok di lokapasar yang mempermudah akses anak ke rokok. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2019 dan Peraturan Daerah Kota Solo Nomo 9 Tahun 2019 yang sama-sama mengatur tentang kawasan tanpa rokok (KTR) hanya fokus melindungi perokok pasif.
Aturan ini hanya menyebut larangan pemasangan iklan dan promosi rokok di tempat belajar mengajar dan di daerah KTR saja. Siswa masih terpapar iklan dan promosi rokok serta dapat mengakses rokok di banyak tempat dengan berbagai cara. Iklan rokok masih ada di media tradisional kita, bahkan di toko-toko secara terbuka.
Tidak cukup hanya melarang penjualan rokok kepada anak berusia di bawah 18 tahun, namun tanpa pengawasan dan sanksi jelas. Kita mudah menemukan anak merokok tanpa pengawasan di tempat umum dan di rumah-rumah makan. Tidak ada aturan dan sanksi kepada pemilik tempat umum dan rumah-rumah makan tersebut.
Xiao L., et al. (2015) meneliti siswa kelas VII-XIX dan membuktikan siswa yang pernah terpapar iklan dan promosi tembakau cenderung lebih tertarik mulai merokok daripada yang tidak. Hal yang serupa diungkapkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 2012). Bahwa paparan iklan, promosi, dan sponsor dari perusahaan rokok memicu anak mulai dan merokok.
Penelitian itu membuktikan anak sangat terpajan iklan dan promosi tembakau. Generasi muda kita terpapar iklan dan promosi tembakau di televisi, papan reklame, di kios penjualan, dan Internet, termasuk media sosial.
Kita perlu menciptakan lingkungan kondusif agar anak tidak merokok. Mengurangi paparan iklan, promosi, dan sponsor tembakau penting untuk mencegah inisiasi merokok pada anak. Caranya dengan melarang iklan dan promosi rokok di seluruh media tradisional dan Internet serta papan reklame, misalnya di persimpangan jalan atau tempat umum.
Kita harus menggantinya dengan informasi dan edukasi tentang rokok. Harus ada pengawasan serta sanksi tegas bagi pedagang yang menjual rokok kepada anak dan tempat usaha yang membiarkan anak merokok di tempat mereka.
Upaya-upaya tersebut perlu dituangkan dalam peraturan daerah tentang pencegahan dan pengendalian perilaku merokok pada anak. Monitoring dan evaluasi dilakukan secara berkala. Kita optimistis jika pemerintah menegakkan aturan dan masyarakat menaati, kita dapat menyelamatkan generasi muda kita dari jeratan nikotin.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 Mei 2023. Penulis adalah konselor berhenti merokok dan mahasiswa Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada)
Sentimen: negatif (99.2%)