Wacana Aturan Tembakau di RUU Kesehatan Dikritik
Medcom.id Jenis Media: News
1 Jun 2023 : 18.14
Jakarta: Wacana penyamaan tembakau dan zat adiktif seperti narkotika dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dikritik. Sebab, banyak pihak bergantung pada komoditas tersebut.
"Tembakau merupakan komoditas yang nilai ekonomisnya paling tinggi dibandingkan dengan komoditas pertanian atau komoditas perkebunan. Keahlian, modal, dan lain-lain sudah terbentuk sedemikian rupa di diri petani tembakau. Lalu kalau masalah ini mau diganti tidak bisa serta merta," ujar Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia NTB Sahminudin dikutip Media Indonesia, Kamis, 1 Juni 2023.
Menurut dia, kontribusi penerimaan negara dari cukai Industri Hasil Tembakau (IHT) terbilang besar. Angkanya mencapai Rp200 triliun pada 2022. Sehingga, wacana terkait RUU Kesehatan yang tengah bergulir di DPR itu diminta menjadi perhatian.
Senada, peneliti kebijakan publik dari IPB University Sofyan Syaf menilai industri tembakau telah menjadi andalan banyak petani dan masyarakat lokal. Jika tembakau disamakan dengan zat adiktif lain, dampaknya sangat signifikan.
“Ada sekitar 2,7 juta jiwa yang bergantung kepada sektor tembakau ini. Kemudian, kalau kita lihat perputaran uang per tahunnya itu sampai Rp9,2 triliun di tingkat petani. Bayangkan kalau kemudian diksi pasal zat adiktif itu hadir, maka habis petani yang kemudian bergantung pada tembakau. Rp9,2 triliun perputaran uang per tahunnya," kata dia.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menilai kebijakan mesti ditelaah. Sebab, mengalihkan fungsi lahan dari penanaman tembakau tak mudah.
“Persoalan pangan bukan semata persoalan lahan. Utamanya justru ada pada sistem insentif di sektor pertanian," ujar dia.
Saat ini, kata Piter, nilai tukar petani sangat rendah. Sebab, tidak ada insentif bagi petani dan semakin sedikit atau bahkan tidak ada orang yang mau menjadi petani.
"Sektor pertanian identik dengan kemiskinan,” tandasnya.
Ia meambahkan, selagi pemerintah belum mengubah sistem insentif bagi petani, maka ekstensifikasi produksi pangan nasional akan sulit diwujudkan optimal. Selain soal regulasi, pemerintah mesti memikirkan regenerasi petani.
"Mengubah lahan perkebunan tembakau menjadi lahan perkebunan pangan tidak akan berdampak untuk produksi pangan nasional kalau petaninya sendiri semakin berkurang,” kata dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
"Tembakau merupakan komoditas yang nilai ekonomisnya paling tinggi dibandingkan dengan komoditas pertanian atau komoditas perkebunan. Keahlian, modal, dan lain-lain sudah terbentuk sedemikian rupa di diri petani tembakau. Lalu kalau masalah ini mau diganti tidak bisa serta merta," ujar Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia NTB Sahminudin dikutip Media Indonesia, Kamis, 1 Juni 2023.
Menurut dia, kontribusi penerimaan negara dari cukai Industri Hasil Tembakau (IHT) terbilang besar. Angkanya mencapai Rp200 triliun pada 2022. Sehingga, wacana terkait RUU Kesehatan yang tengah bergulir di DPR itu diminta menjadi perhatian.
-?
- - - -Senada, peneliti kebijakan publik dari IPB University Sofyan Syaf menilai industri tembakau telah menjadi andalan banyak petani dan masyarakat lokal. Jika tembakau disamakan dengan zat adiktif lain, dampaknya sangat signifikan.
“Ada sekitar 2,7 juta jiwa yang bergantung kepada sektor tembakau ini. Kemudian, kalau kita lihat perputaran uang per tahunnya itu sampai Rp9,2 triliun di tingkat petani. Bayangkan kalau kemudian diksi pasal zat adiktif itu hadir, maka habis petani yang kemudian bergantung pada tembakau. Rp9,2 triliun perputaran uang per tahunnya," kata dia.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menilai kebijakan mesti ditelaah. Sebab, mengalihkan fungsi lahan dari penanaman tembakau tak mudah.
“Persoalan pangan bukan semata persoalan lahan. Utamanya justru ada pada sistem insentif di sektor pertanian," ujar dia.
Saat ini, kata Piter, nilai tukar petani sangat rendah. Sebab, tidak ada insentif bagi petani dan semakin sedikit atau bahkan tidak ada orang yang mau menjadi petani.
"Sektor pertanian identik dengan kemiskinan,” tandasnya.
Ia meambahkan, selagi pemerintah belum mengubah sistem insentif bagi petani, maka ekstensifikasi produksi pangan nasional akan sulit diwujudkan optimal. Selain soal regulasi, pemerintah mesti memikirkan regenerasi petani.
"Mengubah lahan perkebunan tembakau menjadi lahan perkebunan pangan tidak akan berdampak untuk produksi pangan nasional kalau petaninya sendiri semakin berkurang,” kata dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
(ADN)
Sentimen: negatif (72.7%)