Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Kasus: kasus suap
Tokoh Terkait
Prof Jimly soal Putusan MK Perpanjang Jabatan Pimpinan KPK: Jangan Semua Diperpolitisasikan
Rilis.id Jenis Media: Nasional
RILISID, Jakarta — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie, mengaku setuju dengan pendapat empat hakim MK yang menyatakan pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK.
"Yang lebih tepat adalah pendapat (hakim) yang dissenting, karena diskriminasi itu adalah Hak Asasi Manusia, bukan lembaga negara yang (mana) terserah (pembuat) undang-undang untuk mengatur sepanjang tidak bertentangan dengan UUD," kata Jimly, dalam keterangannya, dikutip Senin (29/5/2023).
Diketahui, sebanyak empat hakim MK menyampaikan dissenting opinion yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.
Keempat hakim konstitusi itu berargumen bahwa tidak seharusnya MK mengabulkan permohonan soal masa jabatan pimpinan KPK diperpanjang dari 4 menjadi 5 tahun.
Sedangkan lima hakim konstitusi mengabulkan gugatan uji materiil Undang-Undang No.19/2019 tentang KPK terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron itu.
Empat hakim MK beralasan antara lain dengan dikabulkannya permohonan untuk mengubah masa jabatan pimpinan KPK oleh Mahkamah, dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara.
Lalu, empat hakim itu juga menilai putusan tersebut dapat membuat MK masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk UU atau menyimpangi kewenangan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) pembuat UU.
Merespons itu, Jimly menjelaskan putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus dihormati. Ia mengaku lebih setuju dengan pendapat empat hakim yang menolak memperpanjang jabatan pimpinan KPK.
"Jangan semua diperpolitisasikan. Saya lebih setuju pendapat dissenting, tapi sebagai negara hukum mari kita sama-sama menghormati putusan yang sudah final dan mengikat. Semua pejabat eksekutif dan legislatif jangan berkomentar, meskipun kita tidak suka," papar Jimly.
Lantas, Jimly mengimbau agar masyarakat menghormati putusan pengadilan yang sudah final dan mengikat dalam upaya membangun peradaban demokrasi dan negara hukum. Kendati, Jimly mengakui bahwa MK sudah beberapa kali menyimpangi kewenangan pembuat UU melalui putusannya.
Misalnya, MK pernah menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak masuk dalam rezim Pemilu. Adapun yang masuk dalam rezim pemilu menurut MK adalah pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif DPR dan anggota DPD.
Putusan itu, ujar Jimly, dibuat saat pengujian terhadap UU Pemilu dan setelah adanya kasus suap sengketa Pilkada terhadap mantan ketua MK Akil Mochtar.
"Sudah beberapa kali, tapi ada yang tidak jalan. Misal penentuan pilkada sebagai pemilu atau bukan diserahkan kepada pembentuk UU. Tapi setelah (kasus) Akil Mochtar, MK ngeles dengan putusan yang memastikan bahwa pilkada bukan pemilu," ucap Jimly.
Ia menambahkan setelah MK memutuskan bahwa pilkada bukan rezim pemilu, Mahkamah tetap menerima gugatan sengketa pilkada. Padahal, MK sudah memutus itu bukan kewenangannya.
"Tapi sekarang ada tindak lanjut, sehingga terus mengadili Perkara Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang sudah diputus bukan kewenangan MK karena mau melepas beban. Padahal negarawan tidak boleh lepas beban untuk kepentingan sendiri," tukas Jimly.
Sentimen: negatif (92.8%)