MK Merusak Undang-Undang - Medcom.id
27 Mei 2023 : 10.32
Views 1
Medcom.id Jenis Media: News
SEBAGAI penjaga konstitusi, Mahkamah Konstitusi diberi wewenang oleh negara untuk membatalkan undang-undang ketika ada yang mengajukan judicial review terhadap aturan tersebut. Celakanya, dengan kewenangan yang begitu besar, mereka bisa bertindak suka-suka terhadap undang-undang.
Itulah yang terjadi dua hari lalu ketika MK mengadili uji materi UU No 30 Tahun 2022 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada dua pasal yang digugat oleh komisioner KPK Nurul Ghufron. Pertama, Pasal 29 huruf (e) UU KPK bahwa batas usia minimal pimpinan KPK ialah 50 tahun dan maksimal 65 tahun. Kedua, Pasal 34 bahwa pimpinan KPK memegang jabatan selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Hebatnya, majelis hakim MK mengabulkan gugatan Nurul untuk seluruhnya. MK memutuskan, usia minimal pimpinan KPK tidak harus 50 tahun asal berpengalaman. Masa jabatan pimpinan KPK pun mereka tambah menjadi 5 tahun. Pertimbangan majelis, ketentuan yang lama melanggar prinsip keadilan dan rasionalitas serta bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Sebagai produk MK yang bersifat final dan mengikat, kita menghormati putusan itu. Namun, harus kita katakan pula, putusan tersebut tidak masuk akal, aneh, membingungkan. Pasal yang mengatur usia minimal dan durasi jabatan pimpinan KPK bersifat open legal policy. Pengaturannya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.
Ketika membatasi masa jabatan pimpinan KPK 4 tahun, pemerintah dan DPR punya pertimbangan kuat, sangat kuat. KPK adalah lembaga penegak hukum dengan kewenangan luar biasa, punya hak memaksa, sehingga pimpinannya tak boleh berlama-lama menjabat. Semakin lama mereka punya kuasa, semakin besar potensi abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan. Alasan itu sangat logis, sangat tepat.
Soal pertimbangan MK demi keadilan dan mencegah diskriminasi karena masa jabatan pimpinan lembaga negara yang lain juga 5 tahun, juga terbantahkan. Tidak semua komisi dan lembaga seperti itu. Masa jabatan anggota Komisi Informasi, misalnya, 4 tahun.
Mengabulkan gugatan uji materi adalah hal biasa buat MK. Akan tetapi, mengabulkan sekaligus mengambil alih kewenangan pembuat undang-undang dengan menambah masa jabatan komisioner KPK adalah putusan yang sulit diterima. Bahkan, tak cuma rakyat kebanyakan, empat hakim konstitusi pun beda pandangan.
Mereka, yakni Wahiduddin Adamas, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo, menolak memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK. Mereka menilai tidak ada ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminasi dalam ketentuan lama. Mereka mengedepankan akal waras. Mereka tak ingin melampaui kewenangan, tak mau mengambil kewenangan lembaga lain. Mereka memilih dissenting opinion.
Sayang, mereka kalah suara karena lima hakim konstitusi lainnya berpendapat sebaliknya. Pendapat yang oleh banyak kalangan dianggap merusak tatanan, juga merusak undang-undang.
Menambah masa jabatan pimpinan KPK sama saja menambah potensi penyimpangan. Terlebih ketika hadiah itu diberikan oleh MK kepada komisioner saat ini yang alih-alih menunjukkan prestasi, tapi malah hobi mempertontonkan kontroversi. Komisioner yang bukannya gigih memberantas korupsi, tapi justru diduga kerap melakukan pelanggaran.
Wajar, sangat wajar, jika kemudian banyak yang beranggapan putusan MK tersebut terkait dengan politik. Perpanjangan masa jabatan komisioner KPK pun rawan digunakan sebagai alat politik di tahun politik.
Lumrah, sangat lumrah, bila banyak yang menyebut bahwa MK juga akan mengabulkan uji materi soal sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Jika itu terjadi, kita khawatir MK bukan lagi merupakan mahkamah penertib, tetapi perusak undang-undang.
Itulah yang terjadi dua hari lalu ketika MK mengadili uji materi UU No 30 Tahun 2022 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada dua pasal yang digugat oleh komisioner KPK Nurul Ghufron. Pertama, Pasal 29 huruf (e) UU KPK bahwa batas usia minimal pimpinan KPK ialah 50 tahun dan maksimal 65 tahun. Kedua, Pasal 34 bahwa pimpinan KPK memegang jabatan selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Hebatnya, majelis hakim MK mengabulkan gugatan Nurul untuk seluruhnya. MK memutuskan, usia minimal pimpinan KPK tidak harus 50 tahun asal berpengalaman. Masa jabatan pimpinan KPK pun mereka tambah menjadi 5 tahun. Pertimbangan majelis, ketentuan yang lama melanggar prinsip keadilan dan rasionalitas serta bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
-?
- - - -Sebagai produk MK yang bersifat final dan mengikat, kita menghormati putusan itu. Namun, harus kita katakan pula, putusan tersebut tidak masuk akal, aneh, membingungkan. Pasal yang mengatur usia minimal dan durasi jabatan pimpinan KPK bersifat open legal policy. Pengaturannya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.
Ketika membatasi masa jabatan pimpinan KPK 4 tahun, pemerintah dan DPR punya pertimbangan kuat, sangat kuat. KPK adalah lembaga penegak hukum dengan kewenangan luar biasa, punya hak memaksa, sehingga pimpinannya tak boleh berlama-lama menjabat. Semakin lama mereka punya kuasa, semakin besar potensi abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan. Alasan itu sangat logis, sangat tepat.
Soal pertimbangan MK demi keadilan dan mencegah diskriminasi karena masa jabatan pimpinan lembaga negara yang lain juga 5 tahun, juga terbantahkan. Tidak semua komisi dan lembaga seperti itu. Masa jabatan anggota Komisi Informasi, misalnya, 4 tahun.
Mengabulkan gugatan uji materi adalah hal biasa buat MK. Akan tetapi, mengabulkan sekaligus mengambil alih kewenangan pembuat undang-undang dengan menambah masa jabatan komisioner KPK adalah putusan yang sulit diterima. Bahkan, tak cuma rakyat kebanyakan, empat hakim konstitusi pun beda pandangan.
Mereka, yakni Wahiduddin Adamas, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo, menolak memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK. Mereka menilai tidak ada ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminasi dalam ketentuan lama. Mereka mengedepankan akal waras. Mereka tak ingin melampaui kewenangan, tak mau mengambil kewenangan lembaga lain. Mereka memilih dissenting opinion.
Sayang, mereka kalah suara karena lima hakim konstitusi lainnya berpendapat sebaliknya. Pendapat yang oleh banyak kalangan dianggap merusak tatanan, juga merusak undang-undang.
Menambah masa jabatan pimpinan KPK sama saja menambah potensi penyimpangan. Terlebih ketika hadiah itu diberikan oleh MK kepada komisioner saat ini yang alih-alih menunjukkan prestasi, tapi malah hobi mempertontonkan kontroversi. Komisioner yang bukannya gigih memberantas korupsi, tapi justru diduga kerap melakukan pelanggaran.
Wajar, sangat wajar, jika kemudian banyak yang beranggapan putusan MK tersebut terkait dengan politik. Perpanjangan masa jabatan komisioner KPK pun rawan digunakan sebagai alat politik di tahun politik.
Lumrah, sangat lumrah, bila banyak yang menyebut bahwa MK juga akan mengabulkan uji materi soal sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Jika itu terjadi, kita khawatir MK bukan lagi merupakan mahkamah penertib, tetapi perusak undang-undang.
(ADN)
Sentimen: negatif (99.7%)