Sentimen
Negatif (79%)
22 Mei 2023 : 22.44
Informasi Tambahan

Institusi: Oxford, Universitas Cambridge

Perppu Ciptaker dan Work-Life Balance yang Cuma Mimpi

23 Mei 2023 : 05.44 Views 1

CNNindonesia.com CNNindonesia.com Jenis Media: Nasional

Perppu Ciptaker dan Work-Life Balance yang Cuma Mimpi

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia --

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) panen kecaman karena dianggap merugikan. Bahkan, Perppu itu bisa mengancam cita-cita sederhana kelas pekerja: work-life balance.

Ya, ketimbang bikin senang, isi UU malah bikin ketar-ketir. Ada sejumlah pasal yang dianggap bermasalah, termasuk soal waktu kerja.

Jika pada UU Ketenagakerjaan, aturannya dipaparkan secara rinci, dalam UU Ciptaker dibuat ambigu. Pada Pasal 79 Ayat 2 huruf b, waktu libur hanya ditulis satu hari dalam seminggu.

-

-

"Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu," demikian bunyi Pasal 79 Ayat 2 huruf b UU Ciptaker.

Pasal ini berbeda dari UU Ketenagakerjaan tahun 2003 yang secara tegas menyebutkan pengusaha bisa memberi waktu libur minimal sehari atau dua hari.

"Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu," bunyi Pasal 79 huruf b.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menepis Perppu ciptaker pangkas waktu libur jadi sehari. Mereka menekankan satu hari adalah durasi minimal. Pengusaha bisa memberi waktu libur lebih dari itu.

"Tidak ada yang dihilangkan untuk libur 2 hari," kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker Indah Anggoro Putri saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (3/1).

Namun klarifikasi dari Kemnaker ini tampaknya tidak bisa menghilangkan kekhawatiran banyak pihak. Asosiasi buruh masih menyerukan pasal-pasal bermasalah itu, termasuk pasal aturan waktu kerja.

Pemerintah bisa berdalih apa saja, tapi sejauh tak dituliskan dalam aturan, apa jaminannya?

Pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam UU Ciptaker ini sebenarnya sudah ditentang sejak dalam bentuk RUU. Masyarakat sipil demo besar-besaran agar pasal-pasal tersebut dicabut. Tapi toh diloloskan juga oleh pemerintah.

Di kemudian hari, ketika MK memutuskan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki,pemerintahan Presiden Joko Widodo pun lebih memilih mengeluarkan Perppu ketimbang menuntaskan permintaan MK.

Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos malah bilang Perppu ini cuma 'baju ganti' dari UU Ciptaker.

Apakah mustahil work-life balance di Indonesia?

Sikap pemerintah sangat penting dalam hubungan 3 relasi (triangle relation): masyarakat (society), negara (state), pasar (market). Good governance dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan ketiganya.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai pasal aturan waktu kerja dan libur pada Perppu Ciptaker, berpotensi merugikan pekerja. Pasal tersebut bisa dijadikan pembenaran oleh perusahaan untuk memberi libur dalam durasi paling minimum.

Kelas pekerja menuntut aturan yang adil dan terpenuhinya hak-hak mereka. Bisa jadi tak muluk-muluk: jika tak bisa kaya dengan bekerja, paling tidak mental jangan "kena".

Mungkin mimpi kelas pekerja sesederhana bisa bikin sarapan sendiri setiap pagi, jalan kaki minimal 10 ribu langkah per hari untuk meminimalisir serangan diabetes, baca buku minimal 30 menit sepulang kerja, sampai nongkrong di warung kopi tanpa takut kemalaman karena besok harus bekerja.

Terbitnya Peppu Ciptaker, bisa jadi membikin semua mimpi itu makin sulit diwujudkan. Boro-boro jadi mimpi, work-life balance mungkin sekadar mitos.

Bagaimana menjaga mental tetap aman jika 3/4 rutinitasnya direduksi menjadi bekerja?

Saat Indonesia masih meributkan libur satu hari atau dua hari, tujuh negara lain telah mengambil langkah yang cukup jauh. Jepang, Belgia, Islandia, Spanyol, Selandia Baru, Skotlandia dan Uni Emirat Arab menetapkan empat (4) hari kerja dan tiga (3) hari libur.

Survei Henley Business School menyebut pemangkasan hari kerja dapat berdampak positif bagi seseorang dan lingkungannya.

Survei dilakukan pada 250 perusahaan yang berbasis di Inggris, dengan 64 persen perusahaan mengadopsi sistem waktu kerja kurang dari lima hari.

Hasil analisis dari survei itu didapati 78 persen pekerja mengaku lebih bahagia dengan aturan kerja kurang dari lima hari, 70 persen dengan tingkat stres yang rendah, dan 62 persen mengaku hanya perlu beberapa hari untuk istirahat ketika terkena sakit.

Mereka bahkan masih bisa memanfaatkan libur yang lebih banyak itu untuk meningkatkan kemampuan dan bergabung dengan sejumlah kegiatan sosial.

Sebanyak 40 persen di antara mereka memanfaatkan hari libur yang lebih banyak untuk berlatih meningkatkan kemampuan, sementara seperempat lainnya memilih bergabung dengan sejumlah kegiatan sosial.

Di Indonesia, waktu yang terus bergerak maju tidak melulu beriringan dengan roda peradaban. Lebih dari 70 tahun sejak aturan waktu kerja maksimal 40 jam dalam seminggu diterapkan di Amerika Serikat, Indonesia saat ini justru mengambil langkah mundur.

Padahal, jika merujuk pada survei Henley Business School waktu kerja yang lebih luang justru lebih banyak manfaatnya dan patut dicoba di Indonesia. Bukan hanya berdampak positif pada pekerja, tapi juga perusahaan.

Lembaga think tank Autonomy, 4 Day Week UK Campaign dan para peneliti di Universitas Cambridge, Universitas Boston, dan Universitas Oxford melakukan uji coba kepada 72 perusahaan dengan 3.300 pekerja di Inggris untuk menjalankan empat hari kerja pada 2022.

Hasilnya, 34 persen produktivitas pekerja meningkat dan 15 persen meningkat drastis.

Pekerja lebih banyak waktu untuk beraktualisasi. Tidak menutup kemungkinan jika ide-ide baru nan segar justru muncul di luar waktu kerja.

Belum lagi masalah kesehatan mental. Berdasarkan polling yang dilakukan CNNIndonesia.com terhadap pembacanya pada Agustus 2021 lalu, sebanyak 77,3 persen pernah merasakan burnout dalam bekerja. Alasan tertinggi karena mereka harus standby 24 jam.

Bisa dibayangkan jika hari bekerja ditambah, apakah pekerja harus menyisihkan sebagian uangnya untuk berkonsultasi ke psikolog?

Cita-cita work-life balance mungkin terkesan sepele, tapi dampaknya meluas.

Pertanyaannya lagi, masih kah mungkin keseimbangan itu diusahakan di Indonesia? Kapan Indonesia bisa menyusul tujuh negara yang sudah melangkah maju?

Tampaknya, hanya pembuat Perppu yang bisa menjawab. Tanpa sikap si pembuat, cita-cita itu mungkin benar-benar sekadar mimpi. 

(vws/vws) LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS

Sentimen: negatif (79.9%)