Dagang Karbon, RI Akan Ketiban 'Durian Runtuh' Ribuan Triliun
CNBCindonesia.com Jenis Media: News
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dikabarkan akan segera memiliki bursa karbon pada tahun 2023 ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan akan menerbitkan regulasi mengenai bursa karbon pada Juni 2023, dan menargetkan perdagangan atau beroperasinya bursa karbon ini bisa berjalan pada September 2023.
Bila ini berjalan, maka Indonesia diperkirakan akan mendapatkan "durian runtuh". Tidak tanggung-tanggung, Indonesia diperkirakan bisa meraup ribuan triliun dari perdagangan karbon tersebut.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut, potensi perdagangan karbon di Indonesia bisa mencapai Rp 8.000 triliun dalam jangka panjang.
Perlu diketahui, saat ini perdagangan karbon tingkat global berpotensi mencapai Rp 11.400 triliun.
Oleh karena itu, dia menilai bahwa keberadaan bursa karbon di Indonesia kini menjadi penting.
"Kehadiran bursa karbon telah ditunggu-tunggu karena besarnya potensi perdagangan karbon global yang saat ini menembus angka Rp 11.400 triliun, spesifik Indonesia potensinya diramal mencapai Rp 8.000 triliun dalam jangka panjang karena memasukkan potensi hutan dan mangrove," papar Bhima dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (12/5/2023).
Untuk diketahui, aktivitas perdagangan bursa karbon di Indonesia akan dimulai pada September 2023 mendatang, setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merampungkan regulasinya pada Juni 2023.
Payung hukum yang mengayomi tata kelola dan ekosistem pengembangan bursa karbon di Tanah Air yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 21 Tahun 2022 maupun Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
Agar tata kelola dan ekosistem pengembangan bursa karbon di Tanah Air berjalan baik, maka peraturan teknis OJK ini diminta sejalan dengan payung hukum yang telah ada tersebut.
"Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggara bursa karbon idealnya bersifat terbuka asalkan mendapatkan izin dari OJK, tidak eksklusif hanya untuk penyelenggara bursa efek," ungkapnya.
Bhima juga menilai bahwa kehadiran aturan teknis bursa karbon perlu memfasilitasi setiap penyelenggara yang potensial.
"Penyelenggara bursa karbon dapat berasal dari perusahaan berbasis teknologi bukan berasal dari bursa efek, dan itu sah-sah saja," ujar Bhima.
Dengan begitu, dia menilai OJK harus memanfaatkan waktu hingga aturan teknis perihal bursa karbon terbit di bulan Juni 2023 mendatang agar kesiapan mekanisme pengawasan bursa karbon bisa membuat rakyat Indonesia lebih sejahtera.
"Waktu yang ada hingga aturan teknis terbit bulan Juni perlu dimanfaatkan oleh OJK dalam merumuskan sebaik mungkin kesiapan pendaftaran hingga mekanisme pengawasan bursa karbon, sehingga bursa karbon yang hadir di Indonesia dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia," tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyebut, regulasi teknis dari OJK terkait bursa karbon ini ditargetkan akan dirilis pada Juni 2023. Sementara perdagangannya akan dimulai pada September 2023.
"Bursa karbon, pihak kami sudah koordinasi rencana kami terbitkan, OJK itu bulan depan," ungkap Mahendra dalam konferensi pers, Senin (8/5/2023).
"Pada waktu yang bersamaan koneksikan arah sistem registrasi nasional dari karbon dengan yang diperlakukan sistem informasi di bursa karbon lalu, harapannya pada bulan September kita sudah melakukan perdagangan," jelasnya.
Bursa karbon diatur berdasarkan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dimana dalam aturan itu peran OJK juga akan mengawasi implementasi bursa karbon.
"Rencana awal akan dilakukan antara lain juga dengan perdagangan launching hasil dari apa yang sudah diakui sebagai bagian dari result based payment (RBT) sebesar 100 juta ton yang dalam hal ini Kementerian LHK sedang memfinalisasi itu yang terkait kesiapan dan proses menyiapkan bursa karbon," paparnya.
Namun begitu, di sisi lain Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku belum tentu pajak karbon langsung diterapkan. Sebab, ia mengatakan, banyak faktor yang akan menentukan pemberlakuannya.
"Masih kita lihat bersama-sama nanti," kata Sri Mulyani saat ditemui di kawasan The Energy Building, SCBD, Jakarta, Selasa (9/5/2023).
Adapun faktor-faktor yang menentukan penerapan pajak karbon itu, salah satu yang disebutkannya adalah geliat pergerakan ekonomi. Jika gerak ekonomi mulai cepat otomatis karbon atau CO2 yang dihasilkan juga turut meningkat.
"Nah kita lihat nanti dari sisi ekonomi kita mungkin kalau momentum pemulihannya cukup robust dan kuat berarti cukup baik," tuturnya.
"Walaupun kita tetap waspada dengan lingkungan global di sisi lain komitmen terhadap climate change untuk bisa mengakselerasi kita juga akan melihat sebagai satu kebutuhan," ungkap Sri Mulyani.
Ia memastikan, dalam memberlakukan penerapan pajak karbon nantinya, tentu akan turut berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait, termasuk OJK. Tujuannya supaya mekanisme itu tidak hanya memperkuat penerimaan melainkan juga menekan emisi karbon.
"Seperti yang saya sampaikan sebelumnya ini tidak hanya sekedar menjadi sesuatu instrumen yang untuk penerimaan tapi lebih untuk program climate change. Seperti yang dikatakan oleh Pak Mahendra bahwa salah satu instrumen juga untuk memperkuat dari bursa karbon itu adalah pajak karbon dan nanti tarif mengenai karbonnya itu sendiri," tegasnya.
[-]
-
Dianggap Kotor, Cek Segini Emisi Karbon dari PLTU Raksasa RI(wia)
Sentimen: netral (99%)