Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Oxford, Oxford University, Universitas Negeri Padang (UNP)
Kab/Kota: Paris
Prodi Baru dan Kanibalisasi Antar-ilmu
Detik.com Jenis Media: Metropolitan
Akhir-akhir ini dunia pendidikan tinggi di Indonesia disemarakkan oleh inovasi-inovasi pendirian program studi (prodi) baru yang berusaha menangkap keinginan para milenial yang anti-mainstream karena begitu derasnya arus informasi dan munculnya profesi-profesi baru yang berkaitan dengan perkembangan dunia digital. Di antaranya S1 Bisnis Digital, D4 Produksi Media, S1/S2 Sains Data, D4 Animasi, S1 Film dan Televisi, D3/D4 Seni Kuliner, D4/S1 Desain Mode, D3 Penerbitan, S1 Digital Media, dan S1 Humanitas.
Di sisi lain, prodi-prodi yang menyandang status sebagai ilmu babon (indukan dari sub-sub ilmu) kemudian tidak mau kalah saing dan direduksi kepopulerannya oleh prodi-prodi baru tersebut. Sehingga mereka melakukan semacam rebranding dari sisi Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) dan Profil Lulusan mereka yang memang sangat dimungkinkan dilakukan secara periodik seiring dengan revisi kurikulum pada sebuah program studi di perguruan tinggi.
Sebagai contoh, prodi S1 Ilmu Komunikasi yang baru dibuka oleh Universitas Negeri Padang, salah satu perguruan tinggi negeri di luar Pulau Jawa yang cukup agresif dalam pembukaan program studi baru dalam rangka upaya mereka melakukan proses kemandirian finansial setelah dikukuhkan menjadi PTN-BH pada November 2021 yang lalu, menyantumkan "Literasi" sebagai fondasi pengembangan keilmuan komunikasi dan "Pegiat Literasi" sebagai salah satu profil lulusannya.
Literasi dalam Rebutan
Sekilas tidak ada masalah dengan munculnya diksi "Literasi" tersebut. Apalagi setiap prodi dengan nama yang sama di kampus-kampus yang berbeda harus mencari sisi unik dan khas untuk bisa menarik minat audiens yang hendak mereka sasar. Pada saat penilaian akreditasi Nasional maupun Internasional, sisi uniqueness mendapatkan porsi yang cukup besar.
Namun jika kita telisik lebih dalam, ketika prodi Ilmu Komunikasi mengakuisisi literasi sebagai basis epistemologis dan praktis keilmuannya, maka ia sudah menabrak atau mengambil paksa aspek elementer yang dimiliki oleh ilmu babon lainnya yang bernama Ilmu Sastra dan Bahasa (Literature & Linguistic).
Ilmu Komunikasi sebenarnya adalah disiplin yang baru muncul pada pertengahan abad ke-20 yang diperkenalkan oleh Wilbur Lang Schramm, seorang ilmuan yang memperoleh gelar S2 dari Harvard University dengan riset tentang American Civilization dan S3 dari University of Iowa dengan fokus American Literature serta dikenal lewat karya-karya akademik seputar media massa dalam masyarakat modern.
Secara sederhana, Ilmu Komunikasi dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu yang mempelajari proses komunikasi manusia, pola-pola penyampaian pesan dalam hubungan interpersonal, interaksi masyarakat yang terjadi dalam level-level kebudayaan yang berbeda (Calhoun, 2012). Atau dalam bahasa lain, Ilmu Komunikasi adalah proses memberi dan menerima informasi/ide/pikiran/simbol melalui media yang tepat sehingga pesan yang ingin disampaikan bisa ditangkap dengan baik oleh individu atau masyarakat yang menjadi target pesan tersebut (Ferguson, 2014; Bauer, 2015). Dari sisi induk keilmuannya, Ilmu Komunikasi masuk dalam Ilmu Sosial (Social Sciences).
Sementara, Ilmu Sastra adalah disiplin yang melakukan penelaahan terhadap karya-karya sastra secara saintifik lengkap dengan konteks masyarakat yang melatarbelakangi kehadirannya serta masalah-masalah yang terjadi di sekitarannya (Purba, 2010). Ilmu Sastra biasanya dilekatkan dengan Ilmu Bahasa atau Linguistik yang diartinya sebagai penelisikan terhadap nature (suara bahasa, struktur gramatikal, makna bahasa) dan fungsi bahasa (Linguistic Society of America).
Ilmu Literatur sudah dimulai diinisiasi sejak abad ke-17 di Inggris sebagaimana yang diteliti oleh Claire Preston dalam karyanya The Poetics of Scientific Investigation in 17th Century England yang diterbitkan pada 2016 lalu oleh Oxford University Press (Doyle, 2017). Ilmu Bahasa/Linguistik sendiri baru diperkenalkan pada pertengahan abad ke-19 untuk menambal kekurangan pada ilmu kebahasaan yang sudah eksis sebelumnya yakni Filologi (Sejarah Bahasa).
Literasi sendiri secara sederhana diartinya sebagai kemampuan untuk membaca, menulis, berbicara dan mendengar agar bisa berkomunikasi secara efektif dan logis dalam interaksi sosial kemasyaratan. Ia terkait dengan kemampuan manusia untuk menguasai bahasa dalam berbagai level kesulitan gramatikal dan makna, konsep yang berada di balik sebuah pernyataan lisan dan tulisan serta diversitas kebudayaan untuk bisa dikomunikasikan dalam berbagai bentuk-bentuk interaksi kehidupan sehari-hari manusia.
Timbul persoalan, apakah literasi itu seharusnya masuk ranah Ilmu Komunikasi atau menjadi domain dari Ilmu Sastra dan Bahasa? Dari segi ranah praktisnya, fenomena sosiologis literasi lebih banyak dipegang oleh orang-orang yang bergerak di bidang sastra. Para pegiat literasi di berbagai daerah kebanyakan adalah para sastrawan dan penulis. Sementara, Ilmu Komunikasi lebih mengarah kepada pekerjaan-pekerjaan yang mengangkat fenomena literasi seperti jurnalis bukan pada kegiatan literasinya itu sendiri.
Sejarah Disiplin Ilmu Modern dan Milenial
Sophie Noel (2015), seorang pakar Cultural Studies dari Paris Sorbonne University mengulas dengan baik terkait arus perkembangan disiplin ilmu dari 1950-an sampai ke periode 2000-an. Pasca Perang Dunia Kedua yang kemudian diikuti oleh Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur serta proses dekolonialisasi yang cukup masif disuarakan oleh negeri-negeri bekas jajahan Barat, muncul disiplin baru yang bernama "Area Studies" yang berfokus pada riset dan keilmuan menelisik aspek geografis dan kultural sebuah kawasan.
Di sinilah kemudian muncul sub-sub ilmu baru seperti Southeast Asian Studies, South Asian Studies, African Studies, American Studies, dan East Asian Studies. Intinya adalah adanya keinginan dari para ilmuan Barat untuk lebih memahami kondisi negara-negara tertentu dalam konteks kawasan.
Pada 1970-an, muncul arus keilmuan baru yang berorientasi pada objek kajian atau yang dikenal sebagai "Object Studies". Dimana ada topik-topik tertentu yang memerlukan penelaahan lebih spesifik yang tidak mampu dipecahkan secara memuaskan oleh pola keilmuan babon tradisional yang masih sangat luas maupun oleh "Area Studies". Maka muncullah pada periode ini sub-sub disiplin seperti Cultural Studies dan Feminist Studies. Yang menjadi semangat dalam arus ini adalah Iimu sebagai lokomotif emansipasi/perubahan.
Pada periode 80-an, dunia akademik mendapat tantangan yang makin kuat dari industri. Cap kampus tak lebih dari "menara gading" sebenarnya muncul pada tahun-tahun ini. Di mana kampus diledek cuma melahirkan orang-orang yang pandai berbicara dan berteori tapi tidak mampu bekerja (praktikal). "Knowledge Market" adalah sebutan yang populer untuk masa ini. Artinya, ilmu-ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi seharusnya bisa memenuhi kebutuhan pasar kerja yang dibuka oleh Industri dan melahirkan riset-riset yang useful bagi masyarakat.
Yang terjadi kemudian pada 1990-an dan 2000-an, ilmu-ilmu tua yang berasal dari abad ke-18 seperti Humanities yang menjadi rumah besar bagi Ilmu Sastra/Bahasa dan Social Sciences yang menjadi ibu dari Ilmu Komunikasi harus berpikir keras agar bisa bertahan dari sisi finansial, tidak kehilangan mahasiswa, menjaga masa depan staf dan dosennya. Cara survival yang dilakukan adalah dengan memasukkan unsur-unsur vokasional yang memiliki korelasi dengan cultural industries atau industri kreatif.
Leburnya "Expertise" dan Sekat Disiplin Ilmu
Dari apa yang diuraikan oleh Noel di atas, kita bisa memahami kenapa S1 Ilmu Komunikasi kemudian merasa penting untuk memasukkan unsur "Literasi" sebagai pondasi dan memproyeksikan pekerjaan "Pegiat Literasi" sebagai profil lulusannya. Karena memang saat ini, pegiat literasi diberikan ruang-ruang yang luar biasa dalam berbagai kegiatan dan proyek baik oleh pemerintah maupun swasta.
Ketika peluang-peluang finansial dibuka kran-nya besar-besaran, maka ilmu-ilmu yang sebenarnya bisa dikatakan sudah mapan dengan landasan ontologis, epistemologis, aksiologis, dan etis terpaksa harus mengadopsi sisi-sisi kepraktikalan dan pragmatis yang sebenarnya dari sisi epistemologis ilmu menjadi milik dari ilmu lain yang dalam konteks ini adalah Ilmu Sastra dan Bahasa.
Ketika sekat-sekat antara satu ilmu dengan ilmu yang lain sudah bobol, maka kita kesulitan untuk membangun keahlian teoritis dan spesialisasi pada suatu ilmu. Sulit untuk membedakan mana yang ahli komunikasi, ahli media, ahli bahasa, ahli sastra, dan ahli literasi.
Memang banyak yang mengatakan bahwa di era pasca postmodern ini interdisciplinary sangat dibutuhkan dan perlu diajarkan di perguruan tinggi sehingga terbentuk mahasiswa-mahasiswa yang punya horison berpikir yang lebih kaya dan berorientasi solve-problem. Namun persoalannya adalah ada aspek epistemologis keilmuan yang menjadi asas dari penamaan dan munculnya ilmu atau sub-disiplin baru dalam pohon keilmuan.
Epistemologi keilmuan itu selain menyangkut basis pengetahuannya juga menyangkut objek pembahasan. Ada kriteria yang mesti dipenuhi oleh sebuah disiplin baru agar bisa diakui sebagai ilmu seperti: paradigma ilmu yang jelas, tujuan ilmu, karakter kajian, instrumen, dan metode riset untuk pengembangan ilmu serta pengakuan dari komunitas ilmiah dan alat penyebaran/publikasi hasil kajian dari ilmu tersebut yang masif sehingga mudah diakses oleh masyarakat.
Celakanya, saat proses transformasi adaptasi dengan kebutuhan pasar atau dunia kerja, ilmu-ilmu mapan tersebut tidak melakukan kajian ulang terhadap basis epistemologi ilmu mereka. Pada saat yang sama prodi-prodi baru yang mencampurkan beberapa disiplin ilmu kemudian juga abai dalam pembangunan epistemologi disiplin sebelum mendirikan dan menawarkan prodi tersebut kepada masyarakat.
Seperti misalnya, S1 Bisnis Digital itu sebenarnya dari sisi filsafat pengetahuan masuk pada Ilmu Ekonomi atau Ilmu Teknologi Informasi, jika sifatnya interdisiplin bagaimana bentuk bangunan epistemology blended-nya? Artinya, pendirian prodi baru kekinian atau pelebaran materi pada ilmu-ilmu mapan mengabaikan proses-proses ilmiah yang selama ini dilakukan oleh pakar-pakar Filsafat Ilmu dalam melahirkan disiplin-disiplin baru pada pohon keilmuan (tree of sciences).
Anggun Gunawan dosen D3 Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta, alumni S2 Publishing Media Oxford Brookes University
Sentimen: positif (100%)