Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Depok, Serang
Tokoh Terkait
Regulasi di balik fenomena pengobatan alternatif Ida Dayak
Alinea.id Jenis Media: News
Nama Ida jadi perbincangan, terutama di media sosial, setelah pada Senin (3/4) praktik pengobatan alternatifnya di GOR Kostrad, Cilodong, Depok, Jawa Barat didatangi ribuan orang untuk berobat. Namun, pelaksanaan pengobatan itu terpaksa dibatalkan lantaran terlalu banyaknya pasien dan berujung ricuh.
Aksi mengobati pasien perempuan asal Kalimantan Timur itu cukup unik. Ia mengenakan pakaian adat khas, melakukan ritual menari, lalu mengurut bagian tubuh pasien yang sakit dengan minyak—disebut minyak bintang. Ida tak memungut biaya kepada pasien, hanya menjual minyak bintang tersebut.
“Dia (Ida) juga kan pakai ilmu-ilmu turun-temurun dari sesepuhnya. Makanya, dia juga ritualnya tarian Dayak,” ujar pegiat pengobatan alternatif Hapid Ridwanudin, Senin (10/4).
Hapid mengaku punya keahlian pijat, yang disebutnya jari totok saraf halilintar. Kemampuan pijatnya itu bermula dari kebiasaan memijat guru dan sesepuh sewaktu menimba ilmu di pondok pesantren.
Lantas, ia diminta gurunya untuk mengasah keahlianya itu. Gurunya tersebut lalu mengajarkan tata cara pijat jari totok saraf halilintar. Ia pun belajar dari kitab atau buku yang membahas metode pijat itu. Ia menjelaskan, pijat jari totok saraf halilintar menggunakan media jari untuk memijat dan minyak Cimande.
“(Kata) halilintarnya (karena) ketika dipegang, itu kayak kesetrum,” ujarnya.
Menurut Hapid, setiap keluhan penyakit, punya titik saraf yang berbeda-beda. Perbedaan pijat jari totok saraf halilintar dengan metode totok lainnya, kata Hapid, bakal terasa usai terapi dilakukan. Pasien biasanya akan merasa sakit karena yang disentuh sarafnya. Lalu, akan membaik setelah istirahat.
“Terasa badan enteng,” ucapnya.
Hapid yang serius mempelajari pijat jari totok saraf halilintar sejak 2020 mengaku sudah pernah menyembuhkan pasien yang mengalami sakit kepala berat, keseleo, mual, sesak napas, dan saraf kejepit. Ia tak mematok tarif.
“Gede (bayarannya) alhamdulillah, enggak ada juga enggak apa-apa,” katanya.
Ia mengatakan, masyarakat sekitar lingkungannya di Serang, Banten percaya dengan pengobatan alternatif itu karena ilmu pijat jari totok sudah dikenal sejak lama. Ilmu yang diturunkan dari gurunya itu, sifatnya turun-temurun.
“Jadi (pengobatan) urut itu kadang-kadang ada yang cocok, ada yang enggak,” tuturnya.
Regulasi dan pengawasan
Meski diminati masyarakat, seseorang yang membuka praktik pengobatan tradisional atau alternatif tak boleh sembarangan. Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi, tenaga penyehat tradisional—sebutan seseorang yang buka praktik pengobatan tradisional atau alternatif—harus memiliki surat terdaftar penyehat tradisional (STPT).
Nadia menjelaskan, ada lima regulasi yang dirujuk untuk pengobatan tradisional, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesahatan Tradisional, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer, Permenkes Nomor 61 Tahun 2016 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris, Permenkes Nomor 37 Tahun 2017 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi, dan Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Tenaga penyehat tradisional pun, tutur Nadia, bisa dibagi berdasarkan modalitasnya, seperti keterampilan, ramuan, dan campuran. Atas dasar regulasi dan modalitas tadi, menurut Nadia, Kemenkes melakukan pembinaan supaya masyarakat tak dirugikan.
“Misalnya, seseorang yang (punya) penyakit kanker jangan sampai terlambat karena berobat tradisional. Padahal sudah ada metode yang memang bisa menyembuhkan 100% kalau dilakukan pengobatan pada stadium dini,” tuturnya saat dihubungi, Senin (10/4).
Walau demikian, ia tak membantah Indonesia punya warisan budaya, termasuk pengobatan tradisional. “Memang sebagian masih perlu diteliti dan didukung secara empiris,” kata dia.
Senada, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan, secara filosofis Indonesia merupakan negara dengan kekayaan tradisional yang melimpah. Tak heran, banyak aspek pengobatan, terapi, maupun perawatan yang eksis secara turun-temurun.
Begitu pula dengan sumber obat yang banyak. Salah satunya jahe. Dengan segala kekayaan itu, masyarakat mengakui kearifan lokal, termasuk pengobatan yang diwariskan turun-temurun.
Praktik pengobatan tradisional pun tersebar di berbagai daerah. Di Jakarta, kata Hermawan, salah satu pengobatan patah tulang yang terkenal adalah praktik Haji Naim.
“Oleh karena itu, pemerintah memberi ruang agar pengobatan dan pelayanan kesehatan tradisional ada,” ujarnya, Senin (10/4).
Keberadaan Permenkes 61/2016, Permenkes 37/2017, dan Permenkes 15/2018, ujar Hermawan, adalah bagian dari upaya pemerintah memberi ruang bagi pengobatan tradisional. Namun demikian, tetap harus memenuhi kaidah ilmiah.
Celakanya, masih ada yang salah kaprah menyamakan pengobatan tradisional dengan praktik perdukunan. Ia menjelaskan, perdukunan merupakan praktik yang sulit dibuktikan karena identik dengan hal mistis. Sedangkan pengobatan tradisional berbeda.
“Pelayanan kesehatan tradisional itu lebih mudah di arahkan ke ranah yang lebih formal. Misal, diberi ruang atau izin,” ucapnya.
“Kemudian dilihat prosesnya, dievaluasi risikonya, dan diperhatikan prosedur keselamatan pasiennya.”
Permenkes 61/2016, katanya, mengakomodir pelayanan kesehatan tradisional yang berdasarkan empiris, yang bisa diidentifikasi atau disalurkan dengan baik. Pengobatan patah tulang adalah salah satu pengobatan tradisional yang empiris. Sebab, ahli patah tulang biasanya mendapat kemampuan secara turun-temurun dan sudah terampil karena pengalaman.
“Memang punya metode, keahlian, dan bisa dibuktikan,” tuturnya.
Sementara praktik Permenkes 37/2017 salah satu contohnya ada di RSUD Bali, yang membuka layanan kesehatan tradisional. Regulasi yang memperkuatnya adalah Peraturan Gubernur Bali Nomor 55 Tahun 2019 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Bali.
“Itu dibuka di layanan kesehatan modern. Jadi, dia diakui sebagai terintegrasi,” katanya.
Ada pula pengobatan tradisional yang sangat saintifik—yang disebut sebagai pelayanan kesehatan tradisional komplementer. Layanan pengobatan seperti ini sudah diteliti dan sifatnya melengkapi pelayanan kesehatan modern.
Misalnya pijat bayi, yang kini sudah berkembang sesuai kaidah medis. Ia menuturkan, sebelum dikembangkan, sejak dahulu masyarakat di perdesaan mengenal tukang pijat bayi yang bisa membuat bayi lebih tenang.
“Dalam kaidah ilmu modern, terutama ilmu kebidanan, (pijat bayi) itu diakui,” kata dia.
Hermawan menerangkan, Kemenkes juga sudah melakukan pengawasan. Bahkan, ada direktorat khusus terkait pelayanan kesehatan tradisional, yakni Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer. Lewat direktorat tersebut, pemerintah bukan cuma mengawasi, tetapi juga menelaah dan menyusun prosedur kebijakan pengobatan tradisional.
“Monitoring juga dilakukan pemerintah daerah melalui jejaring dinkes hingga puskesmas,” tuturnya.
Sekalipun punya keahlian, Hermawan mengingatkan, jangan sampai ada pelayanan kesehatan tradisional yang tak terdaftar di pemerintah. Jika membuka praktik tanpa terdaftar, Hermawan khawatir sewaktu-waktu bisa menimbulkan risiko dan membahayakan warga. Lebih lanjut, Hermawan mengatakan, kalau sudah mendapatkan izin beroperasi, biasanya tenaga penyehat tradisional berhimpun dalam sebuah asosiasi.
“Misalnya, ada asosiasi pengobatan patah tulang. Mereka biasanya sudah terdaftar jadi mitra pemerintah dan memang legal untuk praktik-praktik tertentu,” ujarnya.
Sekalipun sudah ada regulasi, Hermawan mengingatkan, masyarakat tetap perlu menyadari soal potensi risiko ketika mengakses pengobatan alternatif. Tujuannya, agar prosedur keselamatan bisa tetap terjaga.
“Jangan sampai bukannya sembuh, malah sebaliknya. Kan banyak juga kejadian yang seperti itu,” kata Hermawan.
“Dengan adanya kanalisasi resmi oleh pemerintah, itu memudahkan pengawasan hingga penjaminan keselamatan pasien. Itu yang penting.”
Sentimen: positif (100%)