Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Sleman
Kasus: stunting
Angka Stunting di Indonesia Masih Tinggi, Cek Kesehatan Sebelum Menikah
Krjogja.com Jenis Media: News
SLEMAN - Angka stunting di Indonesia dinilai masih tinggi. Per tahun 2022, berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen. Angka tersebut memang turun 2,6 poin dari tahun 2021 yang mencapai 24,4 persen, tapi tetap saja, itu masih tergolong tinggi.
“Artinya ada 21 anak yang stunting dari 100 kelahiran. Itu amat memberatkan,” ujar Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Sukamto dalam Sosialisasi dan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Program Bangga Kencana bersama Mitra Kerja. Kegiatan itu berlangsung di Balai Aspirasi Rakyat, Sinduadi, Mlati, Sleman, Sabtu (08/04/2023) sore menjelang berbuka puasa.
Menurut Sukamto, anak yang terlahir stunting memang memberatkan keluarga dan masyarakat hingga negara. Sebab, mereka tidak bisa beradaptasi di dunia sosial sebagaimana mestinya. Kondisi mereka juga mudah sakit karena kurangnya gizi dalam tubuh.
“Saya kenal satu keluarga, anaknya stunting dan sudah tua, masuk kepala tiga. Tidak minta makan kalau tidak dikasih makan. Tidak bangun kalau tidak dibangunkan. Kami sedih melihatnya,” ujar Sukamto melanjutkan. Dikatakan, anak tersebut diurus oleh sang ibu secara keseluruhan, bahkan hingga urusan mandi, buang air kecil (BAK) san buang air besar (BAB).
Maka, Sukamto meminta, para orangtua yang memiliki anak berusia mapan menikah, perlu untuk mendapatkan edukasi dan mengedukasi anaknya agar tidak melahirkan anak stunting. “Berencanalah. Bahkan mulai dari sebelum menjadi pengantin. Orang tua yang mapan, bisa menghasilkan anak yang sehat,” jelasnya.
Sukamto menekankan kata berencana yang juga berarti menghindarkan anak dari pernikahan dini. Sebab, pernikahan dini bisa menjadi salah satu faktor kelahiran anak stunting. Di usia muda, tubuh ibu belum berkembang dengan maksimal. Padahal, janin membutuhkan nutrisi sejak dalam kandungan. Mau tidak mau, asupan nutrisi yang dimakan ibu harus dibagi dua untuk tubuh ibu dan anak. “Jagalah anak-anak kita dari pernikahan dini. Stunting bisa terjadi karena pernikahan dini juga,” ujarnya.
Sukamto tidak sendiri dalam melakuka sosialisasi pencegahan stunting. Ia menggandeng mitra kerja di DIY, salah satunya adalah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) DIY.
Perwakilan BKKBN DIY, Rohdiana Sumariati setuju dengan Sukamto terkait pencegahan stunting sebelum menjadi pengantin. Ia kembali mengingatkan, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi serta infeksi berulang.
Namun, ciri stunting tidak serta merta dari tinggi badan si anak, melainkan ada gejala klinis lain yang mengikuti. “Calon pengantin, atau orang tua yang sudah waktunya punya mantu, harus cek kesehatan calon pengantin tiga bulan sebelum pernikahan. Cek di puskesmas maupun fasilitas kesehatan terdekat,” terang Rohdiana. Ia mengungkap, untuk menikah, lingkar lengan calon pengantin harus 23,5 cm dengan hemoglobin di angka 11,5-12.
“Mau jadi pengantin tidak boleh anemia. Sebelum menikah dan punya anak, harus dicek dulu itu kesehatannya,” jelasnya.
Inspektur Wilayah II BKKBN, Sunarto membenarkan pernikahan dini bisa menjadi faktor anak stunting lantaran perkembangan tubuh ibu yang belum maksimal.
Maka, selain mencegah pernikahan dini, melakukan cek kesehatan sebelum jadi pengantin, ia meminta setiap orang tua memahami tentang 1.000 Hari Pertama Kehamilan (HPK)
1.000 HPK adalah fase kehidupan yang dimulai sejak terbentuknya janin pada saat kehamilan (270 hari) sampai dengan anak berusia 2 tahun (730 hari). Pada periode inilah, organ-organ vital, seperti otak, hati, jantung, ginjal, tulang, tangan atau lengan, kaki dan organ tubuh lainnya mulai terbentuk dan terus berkembang.(Jay).
Sentimen: positif (99.5%)