Lebih Baik MK Dibubarkan Saja…
Akurat.co Jenis Media: News
AKURAT.CO “Wah kacau itu,” kata Hamdan Zoelva, singkat. Hamdan mengomentari perubahan keempat revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) yang sekarang sudah bergulir pada tingkat Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR.
Eks Ketua MK tidak bisa menutupi kekecewaannya terhadap langkah DPR bersama pemerintah merevisi UU MK. Dia meminta badan pengawal konstitusi dibubarkan saja kalau keberadaannya hanya untuk disetir pembuat undang-undang.
Salah satu indikator hakim konstitusi disetir dapat diketahui dari adanya bab mengenai evaluasi (recalling). Ketentuan tersebut memberi legitimasi kepada DPR untuk mengganti hakim konstitusi di tengah jalan.
baca juga:Ketika ditemui di Kantor DPP Demokrat, Hamdan yang aktif kembali menjadi advokat setelah menghabiskan dua periode masa jabatan di MK (2008-2015), menyempatkan waktu memberi pandangannya mengenai upaya revisi UU MK. Dia masih semangat membahas lembaga yang mengalami pasang surut, namun eksistensinya penting.
Menurut Hamdan, tidak ada urgensi merevisi UU MK. Apalagi hanya untuk memaksakan klausul pemberhentian hakim konstitusi di tengah jalan. Berikut petikannya:
Bagaimana pendapat anda mengenai RUU MK?
Wah Kacau itu...
Maksudnya?
Itu kacau.
Karena ada klausul recalling?
Iya evaluasi (hakim konstitusi) kan? Kacau itu. Enggak bisa itu, merusak independensi hakim.
Mengapa?
Kalau ada evaluasi itu merusak independensi hakim. Bukan hanya itu saja, dulu kan ada periodesiasi, juga jadi masalah. Periodesiasi itu kan periode kedua, di tengah menuju periode kedua itu, ada lobi-lobi yang mempengaruhi independensi hakim.
(Hamdan menyebutkan salah satu contoh lobi-lobi salah satu eks Ketua MK yang kedapatan mengadakan pertemuan khusus).
Walaupun mungkin pertemuan biasa menjelang periode yang kedua, ya seperti itu, rawannya di situ. Karena itu biarkan hakim independen. Kalau pakai periodesiasi atau ada evaluasi hakim di tengah jalan itu dipastikan akan membuat hakim tidak independen, maka itu harus ditolak.
Apakah ada contoh MK di negara lain yang menerapkan sistem evaluasi hakim konstitusi?
Bahkan MK di seluruh dunia sekarang, dulu menganut periodesiasi, sekarang dihapus. MK Rusia misalnya, MK Turki, dulu ada menganut periodesiasi tetapi sekarang sudah dihapus, karena itu bermasalah dengan independensi hakim. Apalagi evaluasi, tidak ada MK di seluruh dunia memberhentikan hakim di tengah jalan.
Hamdan Zoelva ketika ditemui di Kkantor DPP Demokrat, Jakarta, Senin (3/4/2023). (AKURAT.CO/Erwin C. Sihombing)Idealnya bagaimana untuk membatasi masa kerja hakim konstitusi? Apakah cukup disederhanakan dengan batas usia?
Kalau itu relatif, saya tidak terlalu mempersoalkan itu tetapi intinya independensi hakim harus dijaga. Jangan dengan periodesiasi atau evaluasi. Mau usia 60, 50 tahun (batas menjadi hakim konstitusi) tidak masalah. Dulu Pak Palguna (eks hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna) usia 51 tahun masuk (MK). Saya juga belum usia 50, jadi bukan masalah, dan bukan itu.
Berarti enggak urgen RUU MK?
Enggak ada urgensinya. Di mana urgensinya?
Apakah menurut anda revisi ini sebatas luapan emosi lantaran MK membatalkan UU Cipta Kerja?
Saya rasa itu yang melatarbelakangangi karena muncul rancangan undang-undang itu kemudian pada sisi lain ditindaklanjuti dengan penarikan Hakim Aswanto. Hakim Aswanto ditarik, saya kira karena latar itu.
Bahayanya di mana?
Kalau hakim membuat putusan tidak sesuai kehendak DPR, tidak ada gunanya ada MK, kalau hakim harus sama dengan DPR dan pemerintah. Justru di situ posisi hakim harus netral. Kalau harus sama dengan DPR, bubarkan saja MK, enggak ada gunanya.
Kalau soal keberadaan Mahkamah Etik, apakah perlu merevisi UU MK?
Dulu waktu zaman saya ada Dewan Etik yang bisa menerima laporan. Masyarakat bisa mengajukan komplain. Dulu banyak sekali pengaduan tetapi memang beberapa yang diproses. Kalau tindakan etiknya tidak terlalu berat langsung diputuskan oleh Dewan Etik.
Tetapi tidak permanen?
Lembaga etik dibentuk oleh MK. Walaupun dibentuk MK tetapi independen. Terbukti dua periode pada masa saya bisa independen. Setelah era saya, ada undang-undang baru, dihilangkan Dewan Etik. Padahal Dewan Etik itu permanen. Kalau sekarang, undang-undang yang baru itu, yang permanen itu dihilangkan.
Secara empirik sudah ada pengawasan melalui Dewan Etik apakah perlu melembagakan lagi Mahkamah Kehormatan MK dan melalui revisi?
Ya sudah, kan selama ini yang melanggar etik dihukum, yang melanggar etik kena sanksi, semuanya jalan saja selama ini. Oleh karena itu bagi saya tidak perlu.
Apakah anda setuju kalau wewenang MK dibatasi dengan cukup menguji materil saja?
Sejak awal MK berdiri memiliki wewenang menguji formil dan materiil. Apakah prosesnya maupun substansinya (menjadi objek perkara MK). Bisa jadi proses pembentukan undang-undangnya tidak beres. Kalau kita mengikuti negara hukum perbaiki cara pembentukannya. Tetapi kalau cara berpikirnya melanggar konstitusi kita mau bicara apa?
Berarti dibatalkan saja RUU MK?
Ya batalkan saja, enggak usah kalau saya. Untuk apa itu perubahan setiap tahun? Kan 2011 (direvisi), 2013 (direvisi), 2020, ini mau yang keempat untuk apa? Ini membuat hukum tidak ajek, dia selalu berubah-ubah menimbulkan ketidakpastian, ketidakstabilan. Tidak ada negara yang mengubah undang-undang sebanyak Indonesia.[]
Sentimen: negatif (94.1%)