Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru, Rezim Orde Lama
Institusi: MUI
Kab/Kota: bandung
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Filosofi Siger Tengah Pikiran Rakyat: Bersikap Etis dan Junjung Nilai Kesundaan
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Penempatan posisi berpijak dipengaruhi oleh banyak hal, di antaranya adalah awal kemunculan dan perjalanan proses hidupnya.
Media massa juga merupakan lembaga yang memilih posisinya sendiri untuk berpijak. Pikiran Rakyat pun memiliki posisi tersendiri yang dipilih karena pengaruh dari awal kemunculannya serta kondisi sosiologis tempat dia hidup dan berkembang.
Siger tengah, itulah istilah yang digunakan Pikiran Rakyat sejak dulu sampai sekarang. Posisi itu dilatarbelakangi kehidupan Pikiran Rakyat yang mengikuti sikap etis pada era Orde Baru serta kultur kesundaan yang menjadi tempat Pikiran Rakyat hidup.
"Pikiran Rakyat filosofinya siger tengah, tidak memihak. Kita betul-betul napak di kultur sunda. Kita kritis, tapi etis, dan tidak menyakiti. Kalau orang anggap PR cari aman, sebenarnya karena kita pegang kuat karakter itu, karakter kesundaannya. Orang Sunda kan tidak biasa meledak-ledak," ujar Yoyo S. Adiredja, Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat pada masa 2003-2009.
Baca Juga: Jokowi Larang Bukber karena Transisi Endemi, Ketua MUI Cholil Nafis Tak Setuju
Dikatakannya, orang Sunda tentu saja banyak yang kritis dan berbicara lantang. Contohnya saja Solihin GP, apalagi dia besar di lingkungan militer. Tetapi, karakternya tetap saja tidak meledak-ledak seperti Ali Sadikin.
Perkataan yang kritis tidak disampaikan dengan menohok langsung.
Yoyo mengatakan, filosofi siger tengah dipengaruhi juga oleh pemerintahan Orde Baru, masa ketika PR tumbuh dan berkembang.
Konten media di masa itu sangat terjaga dan 'dikendalikan'. Bertahun-tahun hidup dengan karakter itu, Pikiran Rakyat mempertahankannya karena ternyata dengan begitu bisa mempertahankan kualitas konten yang bisa dipercaya.
"Saya ingat betul Pak Atang dulu mengatakan, kita siger tengah. Kita hidup di kultur Sunda, kita harus menjaga etika. Sekencang-kencangnya mengkritik, harus etis. Saat reformasi banyak media massa yang seakan tersalurkan kekesalannya, tapi itu bukan kultur kita dan tidak kita ikuti. Kita pertahankan kultur kita, dan ternyata masyarakat pembaca tetap memilih Pikiran Rakyat karena karakter beritanya dipertahankan secara kualitatif," ujarnya.
Posisi awal yang netral di tengah media yang berideologi politikPada awal kemunculannya, Pikiran Rakyat juga mempertimbangkan banyak hal untuk menentukan posisinya. Apalagi, saat itu di Indonesia terjadi transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pikiran Rakyat yang dimaksud adalah harian umum yang berdiri setelah surat kabar bernama Warta Harian Pikiran Rakyat. Menurut beberapa literatur sejarah, koran itu berdiri 30 Mei 1950, yang diterbitkan oleh Bandung NV (Naamloze Vennootschap), sebuah penerbit di Jalan Asia Afrika No. 133 Kota Bandung.
Warta Harian Pikiran Rakjat didirikan oleh Djamal Ali dan A.Z. Palindih dan Sakti Alamsyah Siregar menjabat pemimpin redaksi.
Surat kabar ini berbeda lagi dengan koran yang namanya mirip, tapi dengan ejaan lama, Fikiran Ra’jat. Koran ini mulai terbit tahun 1926 dan merupakan media yang menjadi corong Partai Nasional Indonesia yang didirikan Ir. Sukarno.
Cerita singkat pada masa Orde Lama itu, pemerintah kemudian membredel seluruh pers di bawah Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) pada 23 Februari 1965.
Lalu, pada 25 Maret 1965, melalui Departemen Penerangan, pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa semua surat kabar wajib berafiliasi kepada partai politik atau organisasi massa tertentu.
Peraturan tersebut mengakibatkan wajah pers nasional makin bermuatan ideologis. Warta Harian Pikiran Rakyat pun berhenti cetak dan pemiliknya memutuskan untuk berafiliasi pada Muhammadiyah dengan menerbitkan koran Mercusuar.
Baca Juga: Heboh Anies Basewedan Sindir Menko yang Ingin Ubah Konstitusi, Akademisi: Istana Tak Perlu Respon
Wartawan dan pegawai Warta Harian Pikiran Rakyat yang tidak mau berafiliasi ke parpol atau ormas manapun, lantas menganggur. Semua terombang-ambing mencari pemasukannya masing-masing dengan beragam cara, termasuk Sakti Alamsyah.
Pada masa sulit itulah, para mantan wartawan senior Warta Harian Pikiran Rakyat melakukan kontak dengan para perwira Kodam VI/Siliwangi.
Mantan wartawan senior itu berjumlah 18 orang, lalu mendapatkan dukungan dari mantan karyawan yang lain sehingga jumlahnya menjadi 29 orang.
Posisi yang tidak terafiliasi parpol dan ormas memang membuat dana minim. Dengan dana pinjaman, penerbitan mulai berjalan. Seluruh wartawan muda bahkan bukan saja bertugas sebagai reporter tetapi juga sebagai tenaga pemasaran.
Wartawan senior terus melakukan pendekatan-pendekatan ke berbagai pihak, terutama kepada perwira-perwira Kodam VI/Siliwangi sambil mencari dukungan modal. Hal itu membuahkan hasil. Panglima Kodam (Pangdam) VI Siliwangi, Ibrahim Adjie, yang sukses memberantas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, mengajak para wartawan tersebut membentuk sebuah yayasan.
Saat itu, Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita mewakili awak redaksi sepakat untuk menerbitkan Harian Umum Angkatan Bersendjata Edisi Djawa Barat yang merupakan afiliasi Harian Umum Angkatan Bersenjata pusat yang terbit di ibu kota.
Nomor perdana Harian Umum Angkatan Bersenjata Edisi Djawa Barat terbit pada 24 Maret 1966, bertepatan dengan peringatan ke-20 peristiwa Bandung Lautan Api. Tanggal itu pulalah yang dipilih sebagai hari lahirnya Pikiran Rakyat.
Berganti tahun, Menteri Penerangan saat itu mencabut kembali peraturannya tentang keharusan pers berafiliasi dengan parpol atau ormas. Pangdam Siliwangi pun melepas sepenuhnya ketergantungan koran ini dari Kodam Siliwangi sehingga Pikiran Rakyat benar-benar independen.
Sejak 24 Maret 1967, Harian Umum Angkatan Bersenjata Edisi Djawa Barat pun berganti nama menjadi Harian Umum Pikiran Rakyat.
Baca Juga: Pernah Buat Pernyataan Soal Anies Baswedan, Zulfan Lindan Mundur dari NasDem
Tumbuh dalam kesederhanaanHadir dengan semangat untuk posisi netral tanpa afiliasi parpol dan ormas, memang membuat Pikiran Rakyat mula-mula bertumbuh dalam kesederhanaan dan bahkan keprihatinan. Seluruh wartawan muda bertugas juga sebagai tenaga pemasaran dan mulai dititipi lima koran tiap pagi. Hasil penjualan disetor ke petugas distribusi.
Sosialisasi di lapangan pun lebih banyak menggunakan tenaga wartawan, dengan menggunakan sepeda atau jalan kaki. Sejumlah wartawan yang belum berkeluarga biasanya menginap di kantor dan tidur di atas meja kerja.
Semua reporter juga bertugas rangkap sebagai korektor menjelang jam-jam cetak sekitar pukul 4.00 WIB. Karyawan yang bertugas di bidang distribusi dan sirkulasi juga tidur sekenanya di atas meja beralas kertas koran.
Kondisi itu dikisahkan juga oleh Syafik Umar dalam tulisan yang diterbitkan di Pikiran Rakyat pada 24 Maret 2021. Ia mengisahkan bagaimana masa muda para karyawan Pikiran Rakyat didedikasikan seluruhnya ke kantor.
"Ketika masih muda, kami tak sempat memikirkan periuk karena selalu memikirkan pekerjaan. Pergi subuh, pulang malam. Ketika menunggu mesin cetak, kami sampai tidur di meja kerja. Ketika itu, semuanya terasa biasa-biasa saja, tidak istimewa, karena semua orang mengalaminya," ucapnya.
Ia pun menceritakan satu pengalaman yang masih dikenangnya. Kala itu, ia tidur di bagian pinggir meja kerja dengan beralaskan lembaran kertas koran yang masih putih (belum dicetak). Ketika terbangun, tiba-tiba, tangannya sedang memeluk Atang Ruswita. Saking lelapnya, ia tidak sadar kapan beliau tidur di sampingnya.
Sebagai reporter, ia pun terbiasa berjalan kaki dari Jalan Asia Afrika No. 133 ke Balai Kota atau Markas Polisi Kota Besar Bandung. Di lain hari, ia juga terkadang menaiki sepeda.
Namun, proses pengiriman berita pun tidak bisa dilakukan dengan cepat. Untuk membuat berita, ia harus menunggu untuk bisa memakai mesin tik di ruangan Humas Kota Bandung.
Dari sana, berita dikirimkan lewat faksimili. Namun, ia lebih sering membawa sendiri naskah berita yang sudah diketik itu dengan berjalan kaki kembali ke kantor.
"Banyak orang mungkin heran, kok bisa? Sebenarnya enggak juga. Itu tadi, pada waktu itu, semua orang yang menekuni pekerjaan di bidang tersebut mengalami ha-hal demikian. Tidur sembarangan. Suguhan rapat paling banter tahu kupat ataupun tahu dan pisang goreng," katanya.***
Sentimen: positif (88.9%)