Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM
Kab/Kota: Yogyakarta
Tokoh Terkait
Kisah Sapardi Djoko Sebelum Jadi Penyair: Pernah Tulis Cerita Anak Bahasa Jawa yang Dianggap Tak Masuk Akal
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Google Doodle hari ini, 20 Maret 2023, merayakan hari kelahiran Sapardi Djoko Damono. Dia dkenal sebagai pujangga yang aktif menulis sejak duduk di bangku SMP.
Sapardi Djoko Damono menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaan pujangga bergelar profesor ini menulis pun berkembang saat dia menempuh kuliah di jurusan Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
"Sebenarnya sebelum menulis puisi, saya sudah pernah menulis cerita anak dalam bahasa Jawa. Tapi ceritanya ditolak karena dianggap tulisannya tidak masuk akal. Padahal ceritanya benar-benar terjadi," katanya dalam sebuah wawancara bersama Antara.
Sapardi Djoko Damono menulis puisi sejak duduk di bangku SMA pada 1957. Buku puisi pertamanya bertajuk "Duka-Mu Abadi" diterbitkan 12 tahun kemudian.
Baca Juga: 5 Puisi Romantis Sapardi Djoko Damono, Google Doodle Hari Ini Kenang Sosoknya
Tidak hanya puisi, dia juga banyak menulis cerita pendek, esai, serta sejumlah kolom/artikel di surat kabar. Sapardi Djoko Damono juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing.
Beberapa puisinya sangat populer saat ini di antaranya adalah "Aku Ingin", "Hujan Bulan Juni", "Pada Suatu Hari Nanti", "Akulah si Telaga", dan "Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari". Meski sarat simbolisme, tetapi sajak-sajak karya Sapardi Djoko Damono sederhana. Pilihan kata dan tema yang mudah dipahami pembaca, barangkali sudah jadi ciri khasnya.
"Jangan bikin yang ruwet, sajak itu sesuatu yang sederhana, manusiawi dan terjadi sehari-hari," ucapnya.
Bahagia saat menulisBagi Sapardi Djoko Damono, menulis adalah sumber kebahagiaan. Itu adalah suatu dorongan hati demi mencapai karya terbaik. Semakin sering menulis, semakin bagus pula hasilnya.
"Bagi saya nulis ya nulis. Karya yang paling baik ya karya yang sering saya tulis. Maka saya tidak akan berhenti nulis, sampai mati," ujarnya.
Meski demikian, menulis bagi Sapardi Djoko Damono bukan untuk mengukir namanya dalam keabadian. "Tapi tujuan saya menulis bukan ingin abadi, kalau menulis saya merasa bahagia. Syukur-syukur kalau dibaca dan dapat honor," tuturnya.
Menurut Sapardi Djoko Damono, menulis sesaat sebelum waktu Subuh bisa membuat pikirannya jernih dan segar. "Saya pernah dalam semalam menulis sampai 18 sajak," ucapnya.
Dalam menulis, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa tak pernah sengaja mencari inspirasi. Baginya, inspirasi adalah niatan menulis itu sendiri. Itu adalah hasil pengalaman dari hasil dari bacaan.
Baca Juga: Google Doodle Hari Ini: Sapardi Djoko Damono, Pujangga Kelas Dunia yang Abadi dalam Karya
"Kita itu menulis karena membaca. Kenapa Tarzan tidak jadi penyair? Karena dia tinggal di hutan dan tak pernah baca," katanya.
Menurut Sapardi Djoko Damono, puisi sebenarnya tak ubahnya sebuah sains atau rumus Matematika. Puisi sangat kental logika.
"maka kata-kata dalam puisi pun harus nyambung," ujarnya.
Tidak menulis saat emosiSapardi Djoko Damono mengaku tak pernah menulis saat sedang dalam keadaan emosi yang tidak stabil. Misalnya saat jatuh cinta, saat patah hati, saat sangat marah, sangat sedih atau bahkan sangat rindu.
"Kalau saudara sedang sangat marah, misalnya, maka itu tidak akan jadi. Saya saat menulis puisi 'Dongeng Marsinah' itu dalam keadaan sangat marah makanya itu butuh waktu sampai tiga tahun untuk menyelesaikannya, bahkan sampai sekarang pun kalau saya membaca lagi puisi itu, saya masih marah dan ingin memperbaikinya," tuturnya.
Peraih penghargaan Pencapaian Seumur Hidup dalam Sastra dan Pemikiran Budaya dari Akademi Jakarta itu yakin, orang yang sedang emosi tinggi atau marah tak akan bisa menulis puisi dengan baik.
Baca Juga: Sejarah Puisi di Indonesia, dari Rustam Effendi hingga Sapardi Djoko Damono
"Kalau emosi tinggi jangan nulis, nanti puisinya tanda pentung (tanda seru) semua, siapa yang bisa baca? Tenangkan dulu perasaannya. Ajak bicara emosinya, 'hei, saya mau nulis dulu, kamu menyingkir dulu', jadi harus ada jarak antara penyair dan apa yang akan disyairkan. Namanya jarak estetis," kata Sapardi Djoko Damono.
Dia pun mengisahkan saat menulis "Dongeng Marsinah" yang merupakan salah satu sajak di kumpulan puisi "Melipat Jarak" (2015). Sapardi Djoko Damono merasa benar-benar marah dan sulit berjarak dengan karyanya, mengingat peristiwa pembantaian Marsinah benar-benar telah membuat sastrawan kelahiran Surakarta itu.
Dia menulis puisi sejak tahun 1957, pertama kali menerbitkan "Duka-Mu" (1969) yang diikuti dua kumpulan sajak tipis pada 1974, "Mata Pisau" dan "Akuarium". "Perahu Kertas" dan "Sihir Hujan" masing-masing mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan Anugerah Puisi Putera, Malaysia pada 1983.
Selain puisi, Sapardi juga menulis cerpen dan novel seperti "Membunuh Orang Gila", "Trilogi Soekram", dan "Hujan Bulan Juni". Buku-buku esainya yang mutakhir adalah "Tirani Demokrasi", "Slamet Rahardjo", "Sebuah Esai, Mengapa Ksatria Memerlukan Punakawan?", serta "Alih Wahana".
Sejumlah penghargaan pernah diterimanya baik dari dalam maupun luar negeri, di antaranya adalah Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putera (Malaysia, 1984), dan SEA-WRITE Award (Thailand, 1988), Khatulistiwa Literary Award (2004).***
Sentimen: positif (100%)