Sentimen
Negatif (99%)
11 Mar 2023 : 00.01

HEADLINE: Usulan Damai Partai Prima dan KPU Terkait Penundaan Pemilu 2024, Peluangnya?

11 Mar 2023 : 07.01 Views 1

Liputan6.com Liputan6.com Jenis Media: News

HEADLINE: Usulan Damai Partai Prima dan KPU Terkait Penundaan Pemilu 2024, Peluangnya?

Liputan6.com, Jakarta - Polemik Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih terus berlanjut. Perseteruan ini bersumbu pada gugatan Partai Prima ke PN Jakarta yang memutuskan Pemilu 2024 ditunda.  

KPU pun langsung menyatakan banding. Langkah banding putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst tertanggal 2 Maret 2023 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat resmi diambil hari ini, Jumat (10/3/2023).

Komisioner KPU Mochammad Afifuddin mengungkapkan, selain menyatakan banding terhadap putusan gugatan Partai Prima, pihaknya juga telah menyerahkan memori banding atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.JKT.PST.

"Pada hari ini, Jumat 10 Maret 2023, KPU resmi menyatakan banding. Ini dilakukan KPU terhadap Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst sebagai bentuk keseriusan KPU dalam menghadapi dan menyikapi gugatan yang diajukan oleh PRIMA. Selanjutnya, KPU menunggu putusan dari Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap banding yang diajukan," kata dia kepada wartawan, Jumat (10/3/2023).

Di tengah proses hukum yang berlangsung, muncul usulan agar Partai Prima dan KPU berdamai. Pasalnya, gugatan yang dilayangkan Partai Prima ke PN Jakarta Pusat masuk dalam ranah perdata.

Namun demikian, menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia), Jeirry Sumampow, anjuran tersebut sulit untuk diwujudkan. Mengingat saat ini, perjalanan kasus sudah sampai pada putusan PN Jakarta Pusat.

"Saya kira, ketika tahapan sudah sampai sejauh ini dan perjalanan kasus Partai Prima sudah sampai ada putusan PN itu, sudah agak sulit solusi seperti itu," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (10/3/2023).

Jeirry menegaskan, jalur damai tak bisa dilakukan setelah KPU secara resmi mengeluarkan SK terhadap partai politik yang lolos verifikasi Pemilu 2024. Bila jalan itu ditempuh KPU, Ia khawatir akan menjadi preseden buruk dan memancing partai lain menuntut hal yang sama jika mengalami kasus serupa.

"Setelah SK KPU keluar, jalannya memang harus lewat Bawaslu dan Pengadilan. Nggak bisa dengan cara 'jalan damai'. Bisa berbahaya itu. Tahapan itu harus sesuai UU agar ada kepastian hukum. Jika tidak maka yang lain juga bisa menuntut untuk dilakukan 'jalan damai'," tegas dia.

Karena itu, cara satu-satunya dalam menyelesaikan polemik Partai Prima dengan KPU ialah melalui proses hukum secara tuntas. Ia menilai usulan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra tidak sesuai seperti halnya putusan PN Jakarta Pusat.

"Jadi solusi hanya lewat jalur hukum. Nggak boleh lewat jalur lain. Makanya usulan Yusril itu tak relevan. Sama dengan putusan PN Jakarta Pusat," kata Jeirry.

Dia menilai posisi Partai Prima saat ini untuk menjadi peserta Pemilu 2024 sudah terkunci. Namun gembok tersebut bisa saja terbuka dengan menggugat penyelenggara pemilu melalui jalur etik lantaran dalam putusan pengadilan menyebutkan KPU tidak profesional.

"Jadi bisa sanksi etik ke penyelenggara yang tak profesional itu. Atau ganti rugi lewat jalur perdata seperti putusan PN Jakarta Pusat itu," kata Jeirry.

Pun bila dilakukan verifikasi ulang, menurut dia, KPU harus memiliki dasar hukum yang kuat. Jangan sampai kebijakan memverifikasi ulang terhadap Partai Prima, dilakukan tanpa putusan pengadilan.

"Saya kira, untuk lakukan verifikasi ulang juga, tak boleh serta merta begitu saja. Itu bisa dilakukan jika ada putusan. Sebab melakukan verifikasi ulang tanpa ada perintah pengadilan, juga jadinya ilegal," kata dia.

Sementara itu Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai peluang damai antara Partai Prima dengan KPU masih terbuka. Namun begitu, opsi peradilan hingga adanya putusan inkrach juga masih menjadi pilihan dalam penyelesaian polemik tersebut.

"Peluang itu bukan tidak ada, itu kan hanya saran ya. Tapi kita lihat karena Partai Prima kan posisinya juga membawa kepentingan dia untuk menyelamatkan partai, sementara KPU harus melakukan (banding), karena ini bagian dari peradilan yang berjalan, meskipun salah alamat tadi. Jadi bisa saja ditempuh jalan damai. Tapi bisa juga ini dilanjutkan sampai nanti ada keputusan inkrach begitu kan ya. Dan kelihatannya akan ada peluang ke sana akan berakhir di Pengadilan Tinggi," jelas Firman.

Namun yang menjadi sorotan, menurut dia, perseteruan antara Partai Prima dengan KPU sebenarnya tidak mengganggu jalannya proses Pemilu 2024. Karena perkara perdata hanya mengikat pada dua belah pihak saja.

"Jadi aman saja sebetulnya secara umum ya, hanya saja ini apakah memang mau dipercepat saja prosesnya dengan berdamai ataukah mau dituntaskan. Efeknya saya kira tidak akan ke Pemilu," kata dia.

Firman juga menilai salah langkah Partai Prima yang mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat. Hal ini lantaran partai tersebut dinilainya sudah kehabisan akal untuk mencari keadilan.

"Partai Prima sendiri harusnya sudah paham lah harusnya kemana gitu. Dan dia sudah coba kan sebenarnya, kemudian dia mencoba peruntungan ke PN Jakpus. Di sisi lain, hakim-hakimnya juga kurang memahami konteksnya, sehingga banyak teman teman pakar hukum yang menyatakan ini salah alamat," ujar dia.

"Dan terakhir yang saya baca, Pak Yusril, kelihatannya kecil sekali kalau di level Pengadilan Tinggi itu akan menang, karena ini memang harus sudah setop sejak awal. Jadi saya kira ini sebuah kombinasi antara coba-coba dengan ketidakpahaman konteks yurisdiksinya gitu," Firman mengimbuhkan,

Meski demikian, Ia menilai kasus ini juga menjadi kritik tersendiri bagi KPU dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu. Untuk itu, KPU dituntut membuktikan bahwa kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan.

"Ini kan in general kritik terhadap performa KPU yang sudah banyak dikritik juga. Sebetulnya di balik ini semua KPU berkontribusi terhadap kekacauan, cuman mungkin bahasa saya akan menyerang KPU, tapi intinya bahwa KPU ini juga banyak kritik terhadap kinerja dia, yang harus dibuktikan pada akhirnya di pengadilan. Mungkin di sini sisi positifnya ya, bahwa akhirnya KPU harus membuktikan kerja-kerja mereka juga secara lebih serius karena diangkat ke permukaan meskipun di domain yang salah," terang Firman.

Dia menegaskan, KPU harus benar-benar claer dan berada pada jalurnya. Selain itu, juga merangkul semua kalangan. "KPU jangan main main politik lah, jangan juga menjaga jarak dengan beberapa kalangan, Jadi tegak lurus saja sama aturannya, dan itu yang terbaik menurut saya," uja dia.

KPU, Firman mengimbuhkan, juga diharapkan tetap membuka diri untuk berdialog, tapi tetap ketat dalam aturan. "Saya kira bila itu dipegang dengan konsisten dan konsekuen akan membawa dampak baik buat KPU, pemilu, dan buat keberlangsungan pemerintah selanjutnya nanti. Karena yang dipertaruhkan adalah kredibilitas dan legimitasi pemerintahan selanjutnya," demikian dia menandaskan.

Sementara itu, menurut Advokat Themis Indonesia Ibnu Shamsu Hidayat, perkara perdata antara Partai Prima dengan KPU sebenarnya telah ada mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun langkah tersebut kandas dengan adanya putusan penundaan Pemilu 2024 tersebut.

"Dalam hal isu keperdataan maka dikedepankan proses mediasi. Itu kan sebenarnya sudah ditempuh saat Partai Prima dengan KPU saat proses persidangan kemarin. Tentu sebelum masuk ke pokok perkara, penggugat dan tergugat itu sudah melakukan mediasi. karena kewajiban dalam proses keperdataan itu harus ada mediasi," ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat (10/3/2023).

Meski demikian, pintu damai masih terbuka lantaran proses hukum tersebut berlanjut pada tingkat banding. Dan jika perdamaian itu terwujud, menurutnya ini sebagai langkah terbaik dalam mengakhiri sengkarut tersebut.

"Keputusan ini kan belum inkrach, masih dalam proses persidangan, dalam hal proses banding. Nah kalau misalkan dalam perjalanan banding dan menemukan proses perdamaiannya, tentu sangat bisa berdamai. Dan perdamaian itu bagus," ujar dia.

Ibnu menuturkan, Koalisi Masyarakat Sipil sejak awal melihat proses verifikasi administrasi maupun faktual KPU banyak ditemukan kejanggalan. Keganjilan-keganjilan itu pun telah disampaikan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan setumpuk data.

"Kami menerima banyak data, khususnya dalam verifikasi faktual yang mana banyak keganjilan-keganjilan. Itu kami mengajukan laporan ke DKPP, tentu dengan bukti yang ada. Karena itu ketika Partai Prima mempermasalahkan soal verifikasi administrasi ini pun itu adalah sesuatu hal benar, dalam konteks keberatan dalam proses verifikasi administrasinya. Tetapi Partai Prima mengajukan ke PN itu yang salah, mengapa harus di PN," terang dia.

Selain itu, menurutnya, tidak ada partai lain yang dirugikan jika kedua belah pihak berdamai. Lantaran saat ini, proses pemilu masih dalam tahapan pemutakhiran data pemilih dengan mendatangi pemilih secara langsung atau dikenal dengan pencocokan dan penelitian (coklit).

"Partai lain tidak akan ada dirugikan dengan misalkan Partai Prima masuk jadi peserta Pemilu 2024. Karena proses tahapan pemilu juga saat ini masih coklit. Proses kampanye kan belum ada, dan tentu belum merugikan partai lain," ujar dia.

"Itu menurut saya solusi paling tengah, tidak menabrak Perma 2 Tahun 2019 yang itu bukan kewenangan absolut dari PN," dia mengimbuhkan.

Ibnu menjelaskan, untuk menyelesaikan masalah ini bisa ditempuh melalui pengadilan tinggi yang menyatakan bahwa ini bukan kewenangan pengadilan tingkat pertama PN Jakpus. Karena itu merupakan kewenangan dari PTUN, dan kemudian PTUN mengatakan bahwa gugatan ini tidak dapat diterima.

"Selain itu, Bawaslu juga harus menindaklanjuti karena itu yang dilaporkan oleh Partai Prima terhadap Bawaslu bukan perkara yang sudah diputus Bawaslu, yang kemudian dilaporkan kembali oleh Prima. Tapi ini laporan baru karena tidak dapatnya akses sipol pada hasil rekomendasi dari keputusan Bawaslu. Karena di awal kan Bawaslu sudah membuat sebuah keputusan yang memberikan akses kepada prima untuk 1X24 jam, ternyata itu tidak dapat diakses kan sipolnya, kemudian ini kan melaporkan lagi," jelas dia,

"Artinya itu bukan sama yang sudah diputus oleh Bawaslu, tapi itu adalah permohonan baru yang seharusnya Ne Bis in Idem," ujarnya mengimbuhkan,

Sentimen: negatif (99.9%)