Siasat Menunda Pemilu 2024
Detik.com Jenis Media: News
Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, turut menguatkan argumen tersebut. Menurutnya, putusan PN Jakpus tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga konstitusi. Dalam konstitusi di Indonesia, pada Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali. Karena itu, dalam Undang-Undang Pemilu, tidak ada ruang sama sekali untuk menunda pemilu secara nasional.
Preseden buruknya bahwa ternyata kita nggak usah repot-repot bikin deklarasi, nggak usah repot-repot mengamendemen UUD. Ternyata level PN saja bisa, yang diajukannya juga oleh partai kecil (Partai Prima) yang bahkan tidak memenuhi syarat administrasi untuk jadi peserta pemilu.""Memang ada di Pasal 400-an (tepatnya 431-433) yang mengatakan bahwa mungkin saja ada pemilu susulan kalau suatu daerah, suatu daerah, bukan nasional, terkena bencana. Misalnya gempa bumi di Cianjur kemarin menunda pemilu selama beberapa bulan misalnya, itu boleh. Tapi tidak secara nasional," terang Bivitri.
Bivitri menambahkan, bentuk dan alasan pemilu susulan itu pun dibatasi, seperti bencana dan sebab-sebab lainnya yang sangat darurat. Proses itu bahkan tidak melalui putusan pengadilan, tetapi melalui peraturan KPU.
Di sisi lain, Bivitri khawatir jika putusan tersebut menjadi contoh di kemudian hari bagi upaya-upaya pelanggaran konstitusi lainnya. Adanya putusan tersebut, menurut Bivitri, juga merupakan sebuah gejala yang makin mengkonfirmasi bahwa isu penundaan pemilu ini bukan hanya isapan jempol. Ia mengatakan orang-orang yang menginginkan penundaan pemilu memakai segala cara, termasuk melalui gugatan di PN.
"Preseden buruknya bahwa ternyata kita nggak usah repot-repot bikin deklarasi, nggak usah repot-repot mengamendemen UUD. Ternyata level PN saja bisa, yang diajukannya juga oleh partai kecil (Partai Prima) yang bahkan tidak memenuhi syarat administrasi untuk jadi peserta pemilu," ucapnya kepada reporter detikX.
Permasalahannya, menurut Bivitri, putusan PN Jakpus hanya bisa dibatalkan oleh putusan lain. Adapun bila hakim dipanggil oleh Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung dan terbukti bersalah secara etik, proses itu hanya untuk mengoreksi perilaku hakim. Sedangkan putusannya tetap berlaku sampai kemudian dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi.
Dengan itu, ia meminta KPU berupaya penuh melakukan banding. Selain itu, KPU dapat melakukan audiensi dengan Mahkamah Agung untuk meminta agar mengeluarkan semacam kebijakan terkait kepatuhan terhadap kompetensi pengadilan.
“Mahasiswa fakultas hukum saja yang belum jadi sarjana itu sudah paham ada kompetensi ini. Kok level hakim bisa nggak mengerti, kan. Ya jangan terlalu naiflah, pasti ada kepentingan di belakangnya,” ujarnya.
Sentimen: negatif (99.9%)