Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Institusi: UII, Imparsial
Kasus: covid-19
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Putusan PN Jakpus dan Perpanjangan Pretensi Penundaan Pemilu
Detik.com Jenis Media: Metropolitan
Belakangan tengah ramai kecaman dan penolakan terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) perihal gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap proses verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Majelis hakim yang mengadili perkara a quo membuat terobosan putusan yang terlampau menohok. Dalam amar putusannya, hakim menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 yang tengah berlangsung.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan itu diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Jika putusan ini inkrah, maka konsekuensinya, pemilu harus ditunda pelaksanaannya pada 2025.
Putusan itu lantas mendapat respons dari berbagai pihak. Mulai dari Wakil Presiden, Menkopolhukam, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, politisi, akademisi, ahli hukum, pengamat, hingga masyarakat luas. Putusan terhadap gugatan perdata itu terasa telah meruntuhkan seketika bangunan negara hukum.
Kesalahan Kompetensi
Kompetensi Pengadilan Negeri dalam mengadili perkara perdata bersifat absolut. Artinya, terhadap perkara perdata, pengadilan negeri mengadili dan menjatuhkan putusan yang berdampak secara perdata terhadap para pihak yang terkait. Nahasnya, putusan PN Jakpus tersebut justru membuat putusan yang selayaknya menjadi kompetensi hukum administrasi. Perkara perdata menjadi sangat aneh dan mencurigakan bilamana putusannya malah berdampak hukum kepada publik.
Dalam hukum administrasi, penundaan tahapan pemilu hanya bisa dilakukan melalui instrumen hukum administrasi. Andai pun terjadi keadaan tertentu, maka yang berwenang memutuskan penundaan itu ialah KPU. Atau dalam keadaan darurat, melalui perppu yang ditetapkan oleh presiden. Namun itu pun harus merupakan pilihan terakhir ketika situasi dan keadaan secara objektif tidak lagi terkendali.
Dalam keadaan apa pun, Pengadilan Negeri tidak berwenang menjatuhkan putusan yang menunda tahapan pelaksanaan pemilu. Karena pemilu merupakan ranah hukum administrasi. Apalagi putusan itu dikeluarkan ketika mengadili perkara perdata PMH. Tentu putusan ini menjadi preseden yang amat buruk dalam supremasi hukum.
Untuk menghindari kekacauan hukum, itu sebabnya dalam prinsip negara hukum telah memisahkan kewenangan kekuasaan secara tegas ke dalam institusi yang berbeda. Begitu pula, di dalam institusi yudikatif kompetensi mengadili terpisah ke dalam beberapa lingkungan badan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan TUN).
Sengketa Proses Pemilu
Dalam kaitannya dengan sengketa proses merupakan ranah dari kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di luar institusi peradilan, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberikan kewenangan penyelesaian sengketa proses (termasuk sengketa proses verifikasi) kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam praktiknya, penyelesaian ajudikasi oleh Bawaslu dilakukan sebelum pengajuan permohonan ke PTUN. Karena apabila sudah masuk ke PTUN, maka putusannya menjadi final.
Kendati pun UU memberikan kewenangan penyelesaian sengketa proses kepada Bawaslu dan PTUN, tetapi putusannya tidak bisa sampai menunda tahapan pemilu. Karena penetapan jadwal pemilu yang dilakukan oleh KPU merupakan perintah UUD 1945, pemilu wajib dilaksanakan lima tahun sekali.
Partai Prima sebelumnya juga telah menempuh proses di Bawaslu dan PTUN. Tetapi putusan dari dua institusi in qasu menolak permohonan yang diajukan oleh Partai Prima. Putusan dari PTUN tersebut bersifat final dan mengikat bagi KPU untuk tidak menetapkan Partai Prima sebagai peserta Pemilu 2024. Dengan demikian, maka sengketa proses verifikasi antara Partai Prima dan KPU secara hukum telah inkrah.
Gugatan perdata yang diajukan Partai Prima dengan dalil PMH terhadap KPU adalah ranah hukum privat. Konsekuensinya, andai pun KPU terbukti PMH, maka amar putusannya hanya bisa berdampak secara keperdataan. Baik itu berupa ganti rugi atau perintah kepada KPU untuk mengulangi proses verifikasi khusus bagi partai Prima tanpa menunda tahapan pemilu.
Putusan PN Jakpus tersebut merupakan anomali yang dapat berujung runtuhnya supremasi hukum. Tidak relate-nya gugatan perdata yang justru menghasilkan amar putusan administrasi. Preseden ini tidak sekadar ancaman konsolidasi demokrasi, namun bisa jadi ini merupakan indikasi kuat bergesernya prinsip negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat).
Putusan ini juga melengkapi keterlibatan tiga lembaga terhadap pretensi penundaan pemilu. Sebelumnya, eksekutif dengan big data Menteri Luhut, disusul jajak pendapat para pengusaha berdasarkan hasil survei yang disuarakan Menteri Bahlil, serta Ketua Umum PKB sekaligus Wakil Ketua DPR yang hadir dengan dalih pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19.
Namun kita berharap, putusan ini semata-mata merupakan murni kekeliruan hakim. Serta tidak ada sangkut-pautnya dengan pretensi segelintir elite yang sempat menghendaki penundaan pemilu. Semoga saja, tidak ada intervensi kekuasaan terhadap gugatan Partai Prima serta putusan PN Jakpus dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tersebut.
Sembari menunggu hasil banding KPU, ada baiknya Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung memeriksa ketiga majelis hakim yang mengadili perkara a quo. Pemeriksaan penting dilakukan untuk menjaga citra peradilan. Jangan sampai peristiwa ini memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi peradilan yang khidmat. Itu sebabnya, peradilan selalu disematkan anasir yang bersifat merdeka, independen, dan imparsial, supaya para pencari keadilan benar-benar menemukan keadilan.
Asrizal Nilardin mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Ketua Umum Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia
(mmu/mmu)Sentimen: negatif (100%)