Sentimen
Negatif (80%)
24 Feb 2023 : 00.01
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Trisakti, ISESS

Kab/Kota: Tuban, Bojonegoro, Kebayoran Baru, Palu

Kasus: pembunuhan

HEADLINE: Didemosi 1 Tahun, Ganjaran Setimpal bagi Richard Eliezer dari Sidang Etik Polri?

24 Feb 2023 : 00.01 Views 5

Liputan6.com Liputan6.com Jenis Media: News

HEADLINE: Didemosi 1 Tahun, Ganjaran Setimpal bagi Richard Eliezer dari Sidang Etik Polri?

Liputan6.com, Jakarta - Mengenakan seragam dinas kepolisian lengkap baret biru sebagai identitas dari Satuan Brigade Mobil (Brimob), Richard Eliezer Pudihang Lumiu menjalani sidang etik di Gedung Transnational Crime Center (TNCC) Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu 22 Februari 2023. Sidang etik tertutup ini digelar terkait kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Hakim sidang etik dipimpin Sesrowabprof Divpropam Polri, Kombes Sakeus Ginting, dengan anggota Irbidjemen SDM I Itwil V Itwasum Polri, Kombes Imam Thobroni dan Kabagsumda Rorenmin Bareskrim Polri Kombes Hengky Widjaja.

Pada putusannya, Richard Eliezer alias Bharada E dinyatakan tetap menjadi anggota Polri. Ia hanya diberikan sanksi administratif berupa mutasi bersifat demosi selama 1 tahun.

Menurut Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, putusan demosi selama satu tahun terhadap Bharada E akan memberikan preseden buruk bagi Polri. Ia khawatir hukuman ringan terhadap pelaku tindak pidana berat yang menghilangkan nyawa orang lain, akan memantik tuntutan keringanan hukuman bagi pelaku dengan tindak pidana yang lebih ringan.

"Orang-orang pelanggar pidana yang mendapatkan ancaman hukuman mati, sebagai pelaku penghilangan nyawa hanya diberikan sanksi demosi, itu kan menjadi preseden buruk. Bagaimana dengan tindak pidana lain yang lebih ringan? Ini juga akan muncul problem terkait dengan kasus obstruction of justice, akhirnya kan tidak adil juga nanti kalau mereka atas nama perintah atasan. Semuanya kan atas perintah atasan, Sambo," jelas Bambang kepada Liputan6.com, Kamis (23/2/2023).

"Mereka juga berhak mendapatkan vonis yang sedang dan ringan, demosi saja. Toh juga mereka bukan pelaku utama dalam pidana ini. Artinya ada peluang mereka akan aktif kembali sebagai anggota kepolisian. Kalau demikian, Polri sendiri memunculkan problem yang mengakibatkan preseden negatif, sebagai penegakan aturan internal," Bambang menambahkan.

Karena itu, Ia pun mempertanyakan keseriusan Korps Bhayangkara dalam menegakkan aturan internalnya. Jangan sampai keputusan yang dikeluarkan, hanya agar terhindar dari kecaman masyarakat atau pun untuk memenuhi kepuasan pucuk pimpinan.

"Polri maunya jadi profesional tegak lurus pada aturan atau nggak. Kalau seperti ini kan tegak lurus pada perintah Kapolri, bisa suka-suka. Tidak membangun kultur organisasi yang baik. Hanya mengikuti desakan publik, memilih keputusan yang populer, disenangi banyak orang tapi tidak menyentuh substansi masalah," ujar dia.

Untuk itu, Bambang menilai keputusan yang sesuai terhadap Richard Eliezer ialah berupa Pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2003.

"Sejak awal memang kalau melihat peraturan terutama PP 1 Tahun 2003 itu sebaiknya ya di PTDH, karena sudah ada pidana, meskipun di Pasal 12 itu ada klausul melalui pertimbangan dari instansi terkait. Tapi pertimbangan ini menjadi semacam peluang 'kiri kanan', tidak konsisten," ujar dia.

"Kalau ingin konsisten, karena Richard ini ancaman hukumannya mati, seharusnya sudah layak di PTDH. Terlepas dari vonis yang diberikan hakim pengadilan sebabai JC," Bambang mengimbuhkan.

Menurut dia, predikat Justice Collaborator yang tersemat dalam diri Richard Eliezer lain persoalan. Karena berkat statusnya, Richard Eliezer telah mendapatkan apresiasi oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berupa vonis 1,5 tahun penjara, jauh dari tuntutan jaksa selama 12 tahun penjara.

"Itu persoalan lain. Itu persoalan pidana, ini etika organisasi. Problemnya Polri ingin menegakkan aturan berorganisasi atau ikut hasil pidana. Kalau ingin ikut hasil pidana, kalau ingin konsisten, seharusnya pelaku pelanggar tindak pidana yang lain pun segera disidang etik dilakukan keputusan. Contohnya Napoleon Bonaparte yang sudah divonis, sampai sekarang tidak disidang etik. Brigjen Prasetyo Utomo, juga belum disidang etik. Tidak konsisten di situ," ucap dia.

Palu sidang etik sudah diketuk, hakim memutuskan demosi 1 tahun terhadap Richard Eliezer. Meski menurutnya, Polri harus menanggung risiko atas keputusan tersebut.

"Semua harus menerima (keputusan itu) dengan segala risiko. Membangun kultur organisasi kepolisian ini tidak akan pernah beranjak dari kondisi sebelumnya, risikonya seperti itu," kata Bambang.

Agar keputusan ini tidak dianggap sebagai pencitraan, dia mendesak Polri untuk konsisten dalam mendorong munculnya justice collaborator dan juga wistleblower dari internal yang membuka bobroknya. Menurutnya, harus ada mekanisme untuk melapor dan perlindungan bagi mereka yang membongkar pelanggaran-pelanggaran di Korps Bhayangkara.

"Kalau tidak, ujung ujungnya lagi-lagi ini hanya sekadar membangun citra sesaat alias pencitraan saja. Citra baik itu memang harus dibangun terus kan, caranya bagaimana? Harus konsisten dengan kebijakan-kebijakan, dengan langkah lebih konkret, terkait membangun budaya organisasi yang lebih baik,"dia menandaskan.

Pandangan berbeda disampaikan Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, Richard Eliezer seharusnya bebas dari segala hukuman di sidang etik kepolisian.

"Menurut saya, harusnya si Eliezer dilepaskan dari tanggung jawab kesalahannya. Dia kan cuman melaksanakan jabatan. Artinya nggak ada hukuman, dibebaskan dia," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (23/2/2023).

Terlebih dalam kejadian ini, Bharada E hanya menjalankan perintah dari atasan. Yang mana disebutkan bahwa segala tindakan prajurit menjadi tanggung jawab komandannya.

"Karena itu pun konteksnya melaksanakan perintah, jabatan kan, sebenarnya itu. Malah kalau dalam KUHP melaksanakan perintah jabatan itu tidak dipidana, enggak ada hukumannya," dia menegaskan.

Sementara Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai putusan komisi sidang etik terhadap Bharada E telah tepat. Karena Komisi Etik kepolisian berhasil mempertimbangkan segala hal yang paling esensial.

"Terkait fakta dan hal-hal yang meringankan termasuk keterbukaan, kejujuran dan keterangan yang tidak berbelit dari Bharada E lah yang sangat membantu penyidikan di tingkat kepolisian sehingga dapat terang dan jelas perkara atas peristiwa kematian Brigadir J," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (23/2/2023).

Dia menegaskan, putusan Komisi Etik kepolisian layak diapresiasi, Karena mempertimbangkan segala aspek , terkait keadaan maupun peran peran kontribusi nyata Bharada E.

"Ini juga bisa menjadi kultur baru dalam tubuh Polri yang menunjukkan bahwa pimpinan Polri berpihak pada bawahan yang berani menyampaikan kebenaran dan kejujuran atas perilaku yang tidak tepat dari atasan yang menyalahgunakan kekuasaannya," ujar dia.

Azmi menilai putusan komisi etik ini sebagai suatu era semangat budaya tinggi di tubuh kepolisian. Dan dapat menjadi cermin untuk terus berbenah dan memperbaiki hal -hal yang tidak tepat.

"Putusan atas Bharada E ini tidak hanya menunjukkan ketertiban hukum namun keadilan yang dirasakan bagi masyrakat, sehingga ke depan diharapkan Bharada E atau personel anggota kepolisian dapat mendatangkan perubahan- perubahan perilaku yang lebih tegas, berani menolak perintah atasan yang menyalahgunakan jabatan dan berlawanan dengan hukum," dia menandaskan.

Hal yang sama disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Wihadi Wiyanto. Dia mengapresiasi keputusan Sidang Kode Etik Polri terhadap Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E).

"Jadi, kami apresiasi langkah polisi yang bisa memberikan penghargaan dan masih memberikan kesempatan kepada anggotanya dan melihat dengan jernih kasus ini," kata Wihadi kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (23/2/2023), yang dilansir dari Antara.

Dia mengatakan sidang etik tetap mempertahankan Eliezer sebagai anggota Polri itu sudah tepat karena berdasar dari hasil vonis, fakta pengadilan, dan Eliezer yang merupakan "justice collaborator" (JC).

Dia menilai Eliezer merupakan JC dan apabila tidak ada pengakuan dari Eliezer maka kasus pembunuhan Brigadir Yosua oleh Ferdy Sambo tidak akan bisa terungkap.

"Saya kira langkah polisi patut dapat apresiasi," kata Legislator Dapil Jatim IX meliputi Tuban dan Bojonegoro tersebut.

Bharada Richard Eliezer jalani sidang etik untuk kasus pembunuhan Brigadir Yoshua Hutabarat. Pada sidang ini, Polri memutuskan Eliezer tetap menjadi anggota Kepolisian.

Sentimen: negatif (80%)