Tata Kelola Penyaluran Pupuk Bersubsidi Belum Efektif, Masih Ditemukan Maladministrasi, Ini Kata Ombudsman
Poros.id Jenis Media: Regional
POROS.ID - Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pertanian (Kementan) telah melakukan berbagai upaya dalam penyediaan pupuk bersubsidi, dengan harapan bisa menggenjot produksi hasil pertanian.
Salah satunya adalah dengan menggelontorkan subsidi untuk pupuk Urea dan NPK. Kedua jenis pupuk bersubsidi yang ditetap pemerintah ini, diperuntukan bagi sembilan komoditas pertanian strategis yang berdampak terhadap inflasi antara lain padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao, dan kopi.
Namun, upaya - upaya tersebut belum memberikan hasil yang maksimal dalam pencapaian target produksi komoditas pertanian tersebut.
Hal ini menjadi perhatian Ombudsman Republik Indonesia, terutama dalam tata kelola Program Pupuk Bersubsidi.
Sebagai mana tertuang dalam laporan Kajian Sistemik Ombudsman RI tentang Pencegahan Maladministrasi dalam Tata Kelola Pupuk Bersubsidi, bulan April 2021.
"Dalam kajian Ombudsman, seridaknya ada lima potensi maladministrasi dalam tata kelola pupuk bersubsidi," ujar Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, dikutip dari ombudsman.go.id.
Pertama, tidak dituangkannya kriteria secara detil petani penerima pupuk bersubsidi dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021.
Kedua, ditemukan ketidakakuratan data petani penerima pupuk bersubsidi. Pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap tahun dengan proses yang lama dan berujung dengan ketidakakuratan pendataan. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, ada potensi Maladministrasi dalam proses pendataan, yang berakibat pada buruknya perencanaan dan kisruhnya penyaluran pupuk bersubsidi.
Ketiga, terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh Pupuk Bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi.
Keempat, mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip 6T tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu.
Kelima, belum efektifnya mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi.
Merujuk temuan di atas, Ombudsman menyimpulkan perlunya reformasi kebijakan pupuk nasional secara fundamental.
Pertama, perlu perbaikan kriteria petani penerima pupuk bersubsidi dengan beberapa opsi misalnya pupuk bersubsidi alokasinya diberikan 100% kepada petani tanaman pangan dan hortikultura sesuai kebutuhan lahannya dengan luas lahan garapan di bawah 0,1 hektar.
Kedua, akurasi pendataan petani penerima pupuk bersubsidi. Caranya adalah dengan melakukan pendataan penerima pupuk subsidi dilakukan setiap lima tahun sekali dengan evaluasi setiap tahun. Selain itu dapat dilaksanakan penyusunan mekanisme pelibatan Aparatur Desa dalam pendataan, verifikasi dan validasi rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) Pupuk Bersubsidi.
Ketiga, mengevaluasi mekanisme subsidi di semua tahapan.
Sentimen: positif (100%)