Sentimen
Negatif (100%)
16 Feb 2023 : 00.01
Informasi Tambahan

Institusi: UNAIR, Universitas Trisakti, Universitas Airlangga, ISESS

Kab/Kota: Surabaya

Kasus: pembunuhan

Tokoh Terkait

HEADLINE: Richard Eliezer Divonis 1 Tahun 6 Bulan, Setimpal untuk Sang Justice Collaborator?

16 Feb 2023 : 00.01 Views 6

Liputan6.com Liputan6.com Jenis Media: News

HEADLINE: Richard Eliezer Divonis 1 Tahun 6 Bulan, Setimpal untuk Sang Justice Collaborator?

Liputan6.com, Jakarta - Wajah Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E menangis haru saat mendengar majelis hakim memutuskan perkaranya terkait kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Dalam putusan, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Bharada E dengan hukuman 1 tahun 6 bulan.

Majelis hakim menilai Bharada E dinyatakan terbukti bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana. Bharada E disebut melanggar Pasal 340 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Mengadili, menyatakan terdakwa Richard Eliezer telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,” kata Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di PN Jaksel, Rabu (15/2/2023).

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer berupa pidana 1,5 tahun penjara,” imbuhnya.

Suasana di PN Jaksel pun riuh usai Ketua Majelis Hakim PN Jaksel Wahyu Iman Santoso menutup persidangan. Massa simpatisan yang berjubel di dalam maupun ruang sidang, bersorak sorai meluapkan kegembiraannya atas vonis hakim itu. Tak sedikit dari mereka yang langsung menghampiri penasihat hukum Bharada E, Ronny Talapessy. Bahkan akibat ulah simpatisan Bharada E itu, Ronny sempat ingin terjungkal akibat terkena kursi panjang di ruang tunggu.

"Bang Ronny, terimakasih Bang Ronny," teriak simpatisan.

Putusan majelis hakim di bawah tuntutan jaksa itu sudah diprediksi Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Menurut dia, keputusan tersebut sangat revolusioner dengan pertimbangan-pertimbangan yang diyakini majelis hakim.

"Bahwa hukumannya di bawah tuntutan jaksa, saya sudah memprediksi itu. Tapi perkiraan saya adalah separuhnya atau ditambah sedikit, 5-6 tahun, tapi ternyata satu setengah tahun. Ini sangat revolusioner lah pertimbangannya," ujar dia saat wawancara dengan Liputan 6 SCTV, Rabu (15/3/2023).

Dia memaparkan, vonis satu setengah tahun kepada Richard lantaran hakim menumpahkan semua hukumannya kepada sang aktor intelektual kasus pembunuhan berencana Brigadir J, yaitu Ferdy Sambo yang divonis mati. Sementara istrinya, Putri Candrawathi dihukum 20 tahun, dua kali lipat lebih tinggi dari tuntutan jaksa yang menuntutnya delapan tahun penjara.

"Kenapa bisa di bawah tuntutan jaksa, karena melihat dari hukuman yang dijatuhkan pada orang-orang yang memerintah, orang-orang yang bertanggung jawab dalam tidak pidana ini, yaitu FS dan PC. FS dengan hukuman yang paling maksimal, yaitu mati, 20 Tahun bagi PC itu hukuman yang paling berat menurut saya. Di situ terlihat hakim mencoba mengambil alih semua kesalahan orang yang ada di bawahnya dibebankan kepada orang yang memerintah, dalam hal ini Sambo dan istrinya," terang dia.

Bahkan Fickar beranggapan, Richard Eliezer atau Bharada E bisa saja terlepas dari hukuman jika usianya di bawah 12 tahun. Namun umur yang terbilang dewasa, terdakwa Bharada E harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Karena itu untuk melepaskannya juga agak sulit. Karena dia, orang dewasa. Kalau RE ini di bawah 12 tahun, bisa lepas. Karena dianggap belum dewasa. Karena ini orang dewasa yang juga bisa berpikir, sebenarnya tapi tetap dipersalahkan. Karena itu kemudian diberikan hukuman yang cukup rendah yaitu, 1,5 tahun," kata dia.

Dia memaparkan, momen ini menjadi yurisprudensi yang bagus. Fickar melihat bahwa Pasal 50 KUHP menjadi kunci dalam putusan tersebut.

"Sebenarnya kalau mengacu pada peradilan militer, yang dipakai itu Pasal 50 KUHP. Setiap ada anak buah melakukan kesalahan itu yang dihukum komandannya. Karena dianggap, komandan bertanggung jawab terhadap perbuatan anak buahnya. Kalau di peradilan militer tidak aneh. Tetapi di masyarakat luas, saya kira ini sesuatu yang tidak baru, tetapi ini sesuatu yang mengisi dahaga rasa keadilan di masyarakat," katanya.

Untuk itu, Ia mengajak para penegak hukum untuk menjadikan kasus ini sebagai pelajaran. Yang mana Ia berharap aparatur negara untuk lebih jernih dalam melihat suatu permasalahan hukum. "Siapa sebenarnya yang bersalah dan siapa sebenarnya yang paling berperan dalam satu peristiwa pidana," katanya.

Namun terlepas dari itu, Ia sangat mengapresiasi majelis hakim yang berani mengambil keputusan ini. Selain itu, perhatian masyarakat luas terhadap kasus pembunuhan berencana Brigadir J ini juga tak kalah penting perannya.

"Saya kira keberanian hakim dalam mengambil keputusan, harus kita acungi jempol. Di lain pihak, saya kira perhatian masyarakat yang begitu besar ini juga ada perannya. Sehingga hakimnya tidak main-main," ucapnya.

Sebab sebelum sidang putusan terhadap Ferdy Sambo Cs berlangsung, disebutkan ada seorang perwira tinggi yang diduga melakukan gerakan bawah tanah untuk mempengaruhi vonis terhadap mantan Kadiv Propam Polri tersebut. Hal itu sempat diungkapkan Menko Polhukam Mahfud Md.

"Mungkin pernah ada angin yang lewat. Maksud saya seperti Pak Mahfud bilang ada kekuatan besar di luar yang menekan dalam kaitan hukuman yang akan dijatuhkan kepada FS dan PC. Tapi kekuatan perhatian masyarakat ini saya kira sudah mengubah paradigma itu, bahwa peradilan kita masih dipengaruhi oleh banyak tangan yang tidak terlihat, dipengaruhi banyak faktor, iya. Tapi ini tadi, perhatian masyarakat membantu membersihkan dunia peradilan kita sehingga hakim menjadi berani memutus sesuai dengan hati nuraninya, sesuai dengan keyakinannya," dia menerangkan.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md yang menyaksikan langsung sidang vonis Richard Eliezer atau Bharada E mengaku bersyukur saat mendengar majelis hakim yang memvonis Richard Eliezer selama 1 tahun 6 bulan dalam kasus pembunuhan Brigadir Yoshua.

"Alhamdulillah, saya tidak tahu mengapa hati saya bergembira dan bersyukur setelah membaca vonis hakim atas Eliezer," kata Mahfud dalam keterangan persnya di Youtube Kemenko Polhukam, Rabu (15/2/2023).

Dalam video di Youtube, Mahfud bahkan bertepuk tangan saat hakim membacakan vonis untuk Richard Eliezer. Dia menilai majelis hakim memiliki keberanian dan bersikap obyektif dalam membaca fakta-fakta di persidangan.

"Saya melihat hakim itu punya keberanian, hakim itu objektif membaca seluruh fakta persidangan dan dibacakan semua. Yang mendukung Eliezer semua dibaca," ujarnya.

Mahfud menilai majelis hakim juga mendengarkan suara-suara masyarakat terkait kasus pembunuhan Brigadir J. Dia juga mengapresiasi majelis hakim yang tak terpengaruh dan logis dalam membuat keputusan.

"Suara-suara masyarakat didengarkan, rongrongan yang mungkin ada untuk membuat putusan tertentu tidak berpengaruh kepada hakim. Sehingga dia saya lihat putusannya menjadi sangat logis," jelasnya.

"Tentu menurut saya berkemanusiaan, ngerti denyut-denyut kehidupan masyarakat kemudian progresif juga," sambung Mahfud.

Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai hakim telah sangat bijaksana dan menjaga keseimbangan antara perbuatan dalam memutuskan lama pemidanaan bagi Bharada E mengingat kedudukan dan fungsi Bharada E yang bekerja sama dalam membongkar kejahatan ini. Richard juga belum pernah dihukum, keterangan tidak berbelit, terdakwa sopan di persidangan dan kooperatif, serta menyesali perbuatan dan telah dimaafkan keluarga korban.

"Karena peran utama Bharada E ini semua ini dapat terbongkar yang dibantu teriakan publik yang bersatu setelah keluarga Brigadir J melihat ada kejanggalan foto-foto jenazah Yosua," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (15/2/2023).

Termasuk proses persidangan sampai putusan ini bisa berjalan. Sebab peran utama Bharada E yang telah mampu memberi keterangan berkesesuaian dan relevan dengan bukti dan saksi yang tersisa dan yang mau komitmen. "Bharada E dihadapkan dengan keadaan dimana buktinya direkayasa dan saksi kunci yang semua berpihak dengan skenario yang disusun FS."

Azmi menilai, keadaan ini yang dijadikan hakim sebagai pertimbanganan untuk menentukan keringanan hukuman penjatuhan pidana bagi Bharada E. Di mana Bharada E berani bersuara menyampaikan kebenaranan dengan menerangkan kesaksiannya yang sebenarnya dalam tingkat penyidikan maupun di persidangan.

"Hal terpenting dari kasus penjatuhan pidana ini terhadap Bharada E ini juga merupakan pelajaran bagi anak buah untuk berani menolak perintah atasan yang tidak sesuai dengan perintah Undang undang," tegas dia.

Terkait dengan hukuman Richard 1,5 tahun yang dinilai sangat jauh dari tuntutan Jaksa, Azmi menilai hal itu bukanlah putusan ekstrem. Hakim mempertimbangkan agar hukum bisa tertata dan semua masyarakat siapa pun khususnya aparatur hukum bisa taat terhadap hukum yang rasa kemanusiaan dan keadilan.

"Jadi saya kira tidak langkah ekstrem. Ini jadi era baru bagi bawahan di mana anak buah akan mampu dan berani menolak perintah atasan apabila perintah tersebut bertentangan dengan hukum, sehingga putusan ini dapat menjadi yurisprudensi, sekaligus peringatan bagi para Perwira Tinggi maupun perwira menengah bahkan siapapun yang punya jabatan untuk menyadari tidak boleh memaksakan anak buahnya dalam tindakan yang salah termasuk menyalahgunakan jabatan atau sarana yang ada padanya. Jadi kasus FS ini termasuk penjatuhan pidana bagi Bharada E adalah sejarah dan Hikmah pembelajaran hukum buat semua," terang Azmi.

Sedangkan Pengamat kepolisian ISESS Bambang Rukminto menilai keputusan majelis hakim yang memvonis Richard Eliezer 1,5 tahun sudah tepat. Karena berkat Eliezer, kasus ini terbuka lebar dan masyarakat pun merasakan jasanya.

"Sepertinya dipertimbangkan juga oleh hakim, makanya memberi hukuman jauh di bawah tuntutan Jaksa. Dan ini juga tamparan bagi kejaksaan bagaimana tuntutan itu dijatuhkan seolah-olah suka-suka," dia menandaskan.

Adapun Pakar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Iqbal Felissiano mengganggap wajar putusan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu 1,6 tahun jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) 12 tahun penjara.

Menurutnya, walaupun terdakwa Eliezer dinyatakan bersalah namun hakim memutuskan melakukan pengurangan masa pidananya karena dianggap sebagai terdakwa yang bekerja sama dalam pengungkapan perkara.

“Putusan dengan penetapan yang bersangkutan sebagai Justice Collaborator (JC) bukan berarti yang bersangkutan tidak bersalah. Tetap dia diputus bersalah melakukan tindak pidana,” ujarnya kepada wartawan di Surabaya, Rabu (15/2/2023).

Iqbal menegaskan, untuk menetapkan seorang sebagai JC majelis hakim pastinya sangat berhati-hati. "Hakim juga mempertimbangkan sejauh mana dia bekerja sama dalam mengungkap perkara tindak pidananya," ucapnya.

Sentimen: negatif (100%)