Sentimen
13 Feb 2023 : 04.30
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Trisakti
Kasus: pembunuhan
Tokoh Terkait
Brigadir Yosua Hutabarat
Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat
Nofriansyah Yosua Hutabarat
Menakar Vonis Hakim Buat Ferdy Sambo
Medcom.id Jenis Media: News
13 Feb 2023 : 04.30
Jakarta: Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo menjalani sidang vonis, Senin 12 Februari 2023. Publik menanti seberapa berat hukuman terdakwa pembunuhan berencana sekaligus merintangi penyidikan kasus Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J itu.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar memprediksi majelis hakim akan memutuskan hukuman penjara seumur hidup atau sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Fickar menilai biasanya hakim akan menjatuhkan hukuman setengah dari tuntutan jaksa.
"Karena hukuman seumur hidup itu tidak bisa dibagi dua, maka menurut saya hakim akan memutus mengikuti tuntutan JPU," kata Fickar kepada Media Indonesia, Minggu, 12 Februari 2023.
Fickar menjelaskan hal yang memberatkan sehingga dapat dihukum penjara seumur hidup ialah Sambo sebagai atasan justru menghabisi nyawa korban atau Brigadir Yosua.
"Ferdy Sambo sebagai atasan korban yang seharusnya membina dan mendidiknya, tetapi justru menghabisinya. Padahal Ferdy Sambo seorang yang sangat mengerti dan paham hukum," ujarnya.
Fickar mengatakan pihak Sambo tentu membantah apa yang telah didakwakan, seperti memerintahkan Richard Eliezer menembak Brigadir Yosua. Namun, hakim tentu menilai apakah bantahan tersebut logis dan bisa dibuktikan.
"Hakim akan menilai apakah bantahannya logis dan bisa dibuktikan, ini yang akan diperhatikan hakim. Karen setiap dakwaan JPU itu akan didukung dengan alat bukti apakah keterangan saksi, surat, keterangan ahli atau bahkan keterangan terdakwa sendiri," papar dia.
Keberanian Hakim Diuji Sementara itu, dosen hukum pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai majelis hakim harus berani menjatuhkan hukuman lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum kepada Ferdy Sambo.Azmi menilai hakim merupakan tiang utama penegakan hukum dan menjaga kewibawaan peradilan.
"Mengingat dalam hukum pidana bagi pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya yang melakukan kejahatan apalagi dalam hal ini berani merekayasa sebuah kejadian pidana, berupaya menghilangkan barang bukti. Jelas ini adalah kejahatan serius dan semestinya mendapat ancaman lebih berat," kata Azmi, melalui keterangannya.
Ia menilai hakim dalam kasus ini dapat mempergunakan keterangan terdakwa di luar persidangan. Misalnya, keterangan Ferdy Sambo yang tidak membantah pada sidang etik kepolisian. Termasuk, fakta yang ditemukan Timsus Polri, ketika Ferdy Sambo tidak membantah semua kesaksian puluhan anggota kepolisian.
Selain itu, hakim dinilai bisa melihat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang dibohongi sejak awal oleh Ferdy Sambo. Padahal, di sisi lain, Ferdy Sambo membuat surat permintaan maaf pada institusi atas perbuatannya.
Ia juga meminta hakim melihat Ferdy Sambo yang berbelit-belit, sehingga menyulitkan persidangan. Hal tersebut sangat bertentangan dengan nota pembelaan yang minta dibebaskan seolah tidak ada perbuatannya.
Azmi mengatakan hakim jangan terbelenggu pada konsep keadilan prosedural. Hakim dalam perkara ini seharusnya berani bersikap progresif menemukan hukum, melihat lebih dominan faktor memberatkan atas perbuatan Ferdy Sambo, bukan malah menyerah pada sifat prosedural hukum.
"Sehingga putusan hakim semestinya mencerminkan rasa keadilan rakyat terutama bagi keluarga korban bukan pula mengesampingkan rasa keadilan masyarakat," ungkap Azmi.
Jaksa menuntut Ferdy Sambo dihukum penjara seumur hidup karena dinilai terbukti bersalah membunuh Brigadir J. Tindakan Sambo juga menimbulkan keresahan dan kegaduhan di tengah masyarakat. Ferdy Sambo dinilai terbukti melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dia juga dinilai terbukti menghalangi penyidikan atau obstruction of justice dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Ferdy Sambo dianggap terbukti melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar memprediksi majelis hakim akan memutuskan hukuman penjara seumur hidup atau sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Fickar menilai biasanya hakim akan menjatuhkan hukuman setengah dari tuntutan jaksa.
"Karena hukuman seumur hidup itu tidak bisa dibagi dua, maka menurut saya hakim akan memutus mengikuti tuntutan JPU," kata Fickar kepada Media Indonesia, Minggu, 12 Februari 2023.
-?
- - - -Fickar menjelaskan hal yang memberatkan sehingga dapat dihukum penjara seumur hidup ialah Sambo sebagai atasan justru menghabisi nyawa korban atau Brigadir Yosua.
"Ferdy Sambo sebagai atasan korban yang seharusnya membina dan mendidiknya, tetapi justru menghabisinya. Padahal Ferdy Sambo seorang yang sangat mengerti dan paham hukum," ujarnya.
Fickar mengatakan pihak Sambo tentu membantah apa yang telah didakwakan, seperti memerintahkan Richard Eliezer menembak Brigadir Yosua. Namun, hakim tentu menilai apakah bantahan tersebut logis dan bisa dibuktikan.
"Hakim akan menilai apakah bantahannya logis dan bisa dibuktikan, ini yang akan diperhatikan hakim. Karen setiap dakwaan JPU itu akan didukung dengan alat bukti apakah keterangan saksi, surat, keterangan ahli atau bahkan keterangan terdakwa sendiri," papar dia.
Keberanian Hakim Diuji Sementara itu, dosen hukum pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai majelis hakim harus berani menjatuhkan hukuman lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum kepada Ferdy Sambo.Azmi menilai hakim merupakan tiang utama penegakan hukum dan menjaga kewibawaan peradilan.
"Mengingat dalam hukum pidana bagi pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya yang melakukan kejahatan apalagi dalam hal ini berani merekayasa sebuah kejadian pidana, berupaya menghilangkan barang bukti. Jelas ini adalah kejahatan serius dan semestinya mendapat ancaman lebih berat," kata Azmi, melalui keterangannya.
Ia menilai hakim dalam kasus ini dapat mempergunakan keterangan terdakwa di luar persidangan. Misalnya, keterangan Ferdy Sambo yang tidak membantah pada sidang etik kepolisian. Termasuk, fakta yang ditemukan Timsus Polri, ketika Ferdy Sambo tidak membantah semua kesaksian puluhan anggota kepolisian.
Selain itu, hakim dinilai bisa melihat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang dibohongi sejak awal oleh Ferdy Sambo. Padahal, di sisi lain, Ferdy Sambo membuat surat permintaan maaf pada institusi atas perbuatannya.
Ia juga meminta hakim melihat Ferdy Sambo yang berbelit-belit, sehingga menyulitkan persidangan. Hal tersebut sangat bertentangan dengan nota pembelaan yang minta dibebaskan seolah tidak ada perbuatannya.
Azmi mengatakan hakim jangan terbelenggu pada konsep keadilan prosedural. Hakim dalam perkara ini seharusnya berani bersikap progresif menemukan hukum, melihat lebih dominan faktor memberatkan atas perbuatan Ferdy Sambo, bukan malah menyerah pada sifat prosedural hukum.
"Sehingga putusan hakim semestinya mencerminkan rasa keadilan rakyat terutama bagi keluarga korban bukan pula mengesampingkan rasa keadilan masyarakat," ungkap Azmi.
Jaksa menuntut Ferdy Sambo dihukum penjara seumur hidup karena dinilai terbukti bersalah membunuh Brigadir J. Tindakan Sambo juga menimbulkan keresahan dan kegaduhan di tengah masyarakat. Ferdy Sambo dinilai terbukti melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dia juga dinilai terbukti menghalangi penyidikan atau obstruction of justice dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Ferdy Sambo dianggap terbukti melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id.
(AGA)
Sentimen: negatif (100%)