Sentimen
Positif (100%)
11 Feb 2023 : 10.33
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Institusi: Paspampres

Kab/Kota: Sidoarjo, Rembang, Sampang, Yogyakarta, Madura, Magelang

Tokoh Terkait

Gus Yahya dan Kiai Masduqi

Detik.com Detik.com Jenis Media: Metropolitan

11 Feb 2023 : 10.33
Gus Yahya dan Kiai Masduqi
Jakarta -

Tiang Pancang

Pondok pesantren merupakan sumber energi terbesar bangsa Indonesia. Dia lahir sebagai rencana Tuhan untuk menjaga keseimbangan alam. Di dalamnya terdapat sejumlah unsur penting sebagai penyangga. Tetapi tidak ada yang paling determinan dari unsur-unsur itu, selain figur seorang kiai. Dia berposisi sebagai autadaa--tiang pancang. Berdiri tegak di semua sisi pesantren. Dia adalah mata air kehidupan. Tempat para santri dan umat menyulam satin kehidupan.

Mengapa kiai? Karena darinya ajaran tentang ketuhanan dan kehambaan mengalir. Ia menjadi wasilah Tuhan berkirim nilai-nilai kebajikan. Para kiai, dalam segala jenisnya adalah pusat energi. Ibadahnya, akhlaqnya, dawam dalam dzikir, istiqamah mendaras kitab suci, ketulusannya, dan semua jenis riyadhahnya, telah menyebabkan kiai mampu menyimpan energi positif. Energi itu mengimbas ke lingkungan, para santri dan umat, tiada terputus.

-

-

Alangkah besar akumulasi energi pesantren. Setiap saat jadi mihrab ibadah dan sumber mengalirnya firman suci. Gaung kalimat toyyibah sambung menyambung. Dari waktu ke waktu, dari pagi hingga sore. Dari malam hingga pagi lagi. Semua itu lahir lewat ajaran dan teladan kiai. Sosok penjaga harmoni kehidupan. Jika seorang di antaranya wafat, semesta akan mengalami kematian. Kiai-kiai adalah wasilah Tuhan menjaga hidup.

Saya Yahya dari Rembang

Di antara banyak 'jenis' kiai itu, ada satu jenis yang kehadirannya lepas dari tatapan mata awam. Ia merasa tidak berhak 'memilih', karena hidupnya akan mengalir sebagai kehendak Tuhan. Ia hadir di tengah khalayak, karena arus membawanya. Atau ada di pinggiran karena suara hati menuntunnya. Begitu besar energi positif dalam dirinya, hingga doanya menjelma cahaya. Doanya meluncur ke arasy Tuhan secepat cahaya buraq yang dikendarai Jibril.

Pesan dan kesan semacam itu yang gampang ditangkap ketika Gus Yahya, Ketua Umum PBNU, mendadak luruh badan dan suaranya. Ia bersimpuh di hadapan KH Masduqi Abdurrahman Al Hafidz. Kiai yang istiqamah berzikir di mana pun. Di atas tanah, di pertemuan apapun. Termasuk di jalan menuju arena tasyakuran Satu Abad NU di Sidoarjo. Tasbih jadi instrumen wushul kepada Sang Maushul. Serban hijaunya jadi salah satu penanda kehadirannya.

Saat duduk beradu lutut, Gus Yahya berbisik mengenalkan diri.

"Saya Yahya dari Rembang," Kiai Masduqi menyambut riang.

Dia mendengar tapi tidak tahu siapa Gus Yahya. Tersenyum lebar. Kedua tangannya merentang dan memeluk. Seperti memeluk bola dunia. Mengalirkan energi positif. Mengirim pesan damai dalam bisikan. Bisikan yang biasa dia lakukan pada Tuhan. Kepada kiai seperti sosok Kiai Masduqi, Gus Yahya kerap merajuk.

Memohon didoakan. Agar disambungkan dengan sanad dan wasilah kepada Tuhan YME. Kiai-kiai yang tulus ikhlas mengayomi umat. Yang maqam amalnya jadi kumparan barokah.

Barokah yang tengah dinikmati umat. Lalu siapakah gerangan sosok Kiai Masduqi yang membuat Gus Yahya jatuh bersimpuh? Menurut penuturan Gus Ipul--Saifullah Yusuf, dia adalah pengasuh salah satu pondok pesantren. Gus Ipul mengaku kerap melihat Kiai Masduqi.

Jimat di Abad Kedua

Ia sering hadir di banyak kegiatan keagamaan. Kadang duduk di deretan depan bersama para hukama, ulama, dan kubaro. Tapi lebih sering Gus Ipul mendapati Kiai Masduqi ada bersama umat di posisi paling pinggir. Dalam setiap zaman dan setiap ruang, selalu ditemukan 'keganjilan' menyertai kisah perjalanan anak manusia. Di NU, banyak ulama yang 'khumul' alias berperan di balik layar. Tidak banyak dikenal dan tidak kenal banyak orang.

"Tapi beliau-beliau itu jadi jimatnya NU," kisah Gus Ipul. Cicit Mbah Bisri Syansuri ini lantas berkisah seputar tangkapan video yang sedang viral. Tentang sosok Kiai yang bisa lolos dari ketatnya protokoler pasukan pengaman presiden (paspampres) saat puncak resepsi Satu Abad NU di Delta Sidoarjo.

"Beliau KH Masduqi Abdurrahman Al hafidz. Kiai sepuh yang waktunya habis untuk mendaras dan menjaga Al-Qur'an," tutur Gus Ipul soal sosok dan riyadhah Kiai Masduqi.

Melihatnya menggelar serban dan berzikir di lorong GOR, tiba-tiba Gus Yahya datang untuk sungkem.

"Apa reaksi Kiai Masduqi? Beliau malah bertanya: Sampeyan sinten? (Anda siapa?) daleme pundi? (Rumahnya di mana?) tanya Kiai Masduqi dengan polos.

Dengan penuh takzim, Gus Yahya menjawab: "Kulo Yahya, Kiai. Saking Rembang. (Saya Yahya, Kiai. Fari Rembang)," jawab putra KH Moh. Cholil Bisri itu.

Sangat bisa jadi, setelah mendengar jawaban itu, Kiai Masduqi baru sadar bahwa sosok yang duduk sungkem kepadanya adalah tuan rumah acara akbar yang beliau datangi itu. Itulah kenapa beliau tampak tersenyum dan memeluk Gus Yahya.

"Ah...Saya kok jadi terharu. Keikhlasan Kiai Masduqi untuk ikut 'ngalap' berkah muassis NU, hingga beliau tidak kenal Ketua Umum PBNU. Sosok yang luruh bersimpuh dan sungkem kepadanya."

Rupanya sosok Gus Yahya, figur yang namanya sudah dikenal di dalam dan luar negeri itu, belum menembus ruang-ruang sunyi yang menjadi laku para kiai sepuh.

"Saya tidak tahu bagaimana perasaan Gus Yahya yang tidak dikenal jemaahnnya sendiri. Tapi dari gesturnya, tersirat takzim seorang santri pada kiai sepuh. Saya yakin kiai khumul kayak Kiai Masduqi, amat dibutuhkan untuk jadi jimat bagi kedigdayaan NU di abad kedua."

Di luar sosoknya yang tak dikenal dan tak mengenal banyak orang itu, Kiai Masduqi adalah putra dari KH Abadurrahman Bahri dan Nyai Dewi Mariyam. Putra Kiai Masduqi, H Muhammad Syarifuddin Ahmad atau Gus Udin menjelaskan riwayat pendidikan KH Masduqi bermula dari belajar agama dari sang ayah. Pada tahun 1948-1949, Kiai Masduqi belajar kepada KH Muhammad Munawwir Sholih Pedes Jombang.

Seangkatan Mbah Mangli

Di tahun 1950-1951 belajar kepada KH Dahlan Kholil di Pesantren Darul Ulum Peterongan, Rejoso, Jombang. Pada tahun 1951-1952 ngaji kepada KH M. Said Ismail di Pesantren Assaidiyah Sampang, Madura. Lalu ke Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta pada tahun 1953-1954.

"Kemudian berguru pada KH R. Abdul Qodir Munawwir di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta," kata Gus Udin.

"Saat nyantri di Sampang, Kiai Masduqi seangkatan dengan Mbah Mangli Magelang atau KH Hasan Asy'ari," imbuh dia.

Pada tahun 1960 Kiai Masduqi pulang. Dia diminta membantu mengajar Al-Qur'an oleh tokoh agama di Perak, Jombang, KH Hasan (Mbah San). Ia juga nyantri kepada KH Umar Zahid Semelo. Kemudian tahun 1965 membangun sebuah mushola sederhana dan baru dapat diselesaikan pada tahun 1968.

Inilah embrio Yayasan Ar-Rahman Pondok Pesantren Putra Putri Roudhotu Tahfidzil Qur'an Perak Jombang. Setiap hari Kiai Masduqi menerima setoran hafalan Al-Qur'an dari ratusan santrinya. Setiap Jumat pagi, ia memberi pengajian tafsir Al-Ibris. Di pesantren itu, ada lembaga pendidikan TPQ Ar-Rahman, KB (Kelompok Bermain) Dewi Maryam, TK Islam Dewi Maryam, SD Islam Ar-Rahman, SMP Islam Ar-Rahman.

Ishaq Zubaedi Raqib, Ketua Lembaga Ta'lif wan-Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LTN PBNU)

(fhs/ega)

Sentimen: positif (100%)