Sebut Roy Suryo Korban Kriminalisasi, LBH Jakarta Ajukan Diri Jadi Amicus Curiae Di Kasus Meme Stupa Candi Borobudur
Suara.com Jenis Media: News
Suara.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengajukan diri sebagai Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) dengan mengajukan pendapat tertulis ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Hal itu berkaitan dengan kasus ujaran kebencian, penodaan agama, dan penyebaran berita bohong yang menyeret nama eks Menpora, Roy Suryo.
LBH Jakarta berpendapat, Roy Suryo telah menjadi korban kriminalisasi terhadap ekspresi pribadi di wahana digital. Dalam perkara ini, Roy telah dituntut jaksa dengan hukuman penjara satu tahun enam bulan.
"Dalam pendapat tersebut, pada pokoknya LBH Jakarta menyatakan bahwa Roy Suryo telah menjadi korban kriminalisasi terhadap ekspresi pribadi yang disampaikan dengan damai di ranah digital," kata pengacara publik LBH Jakarta, Fadhil Alfathan dalam siaran persnya, Senin (19/12/2022).
LBH Jakarta juga menilai, unggahan Roy Suryo bukanlah pendapat dan ekspresi yang dilarang di dalam diskursus hak asasi manusia (HAM). Unggahan tersebut justru dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum HAM baik nasional maupun internasional.
Baca Juga: Update Kasus Meme Stupa Candi Borobudur: Roy Suryo Dihukum 9 Bulan Penjara dan Denda Rp 150 Juta
Kedua, unggahan Roy Suryo bukanlah perbuatan ujaran kebencian karena tidak memenuhi unsur motif untuk membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA. Motif ini wajib dibuktikan sesuai SKB Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang pedoman implementasi UU ITE.
"Namun di dalam unggahan Roy Suryo hanya menyuarakan isu publik mengenai ketidaksetujuannya terhadap komersialisasi wisata budaya Candi Borobudur," sambung Fadhil.
LBH Jakarta juga menyinggung soal Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pasal penodaan agama yang telah kehilangan relevansinya dalam tatanan masyarakat demokratis. Sehingga, sudah sepatutnya tidak digunakan dalam penegakan hukum pidana saat ini.
"Mahkamah Konstitusi bahkan telah menyatakan UU Penodaan Agama yang menjadi dasar Pasal 156a KUHP bermasalah dan perlu direvisi. Namun ironisnya, DPR dan Pemerintah belum mentaati putusan MK tersebut hingga sekarang. Oleh karenanya, penerapan ini menjadi tidak relevan lagi dan sudah sepatutnya Majelis Hakim mengesampingkan dakwaan pasal ini," beber Fadhil.
Alasan keempat, unggahan Roy Suryo tidak memenuhi iktikad buruk atau mens rea berupa “adanya maksud agar orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP.
Baca Juga: Roy Suryo Divonis 9 Bulan Penjara dan Disebut Tak Berpendidikan oleh Hakim
Sedangkan di dalam unggahan Roy Suryo tidak terdapat ajakan atau seruan agar orang tidak menganut agama apapun, melainkan hanya membicarakan terkait kebijakan pemerintah tanpa menyinggung agama apapun.
"Maksud dari perbuatannya hanya untuk mengkritik kebijakan pemerintah tentang harga tiket masuk Candi Borobudur yang dirasa terlalu mahal," ujarnya.
Berdasarkan uraian-uraian pendapat tertulis sebagai amicus curiae dalam perkara itu, LBH Jakarta menyampaikan sejumlah tuntutan sebagai berikut:
Agar Majelis Hakim pada perkara 890/Pid.Sus/2022/Pn Jkt.Brt menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam memutus perkara a quo, terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana dijamin di dalam konstitusi, yaitu pasal 27 ayat (1), pasal 28 E ayat (3), dan pasal 28 D UUD 1945.Proses hukum terhadap Terdakwa Roy Suryo harus dijalankan dengan kepatuhan dan ketaatan terhadap posisi ultimum remedium hukum pidana dan batas-batas unsur pasal yang didakwakan. Tanpanya, proses hukum ini akan menjadi peradilan yang sesat (miscarriage of justice).Agar Majelis Hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa, sehingga Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Pasal 15 UU 1/1946, dan Pasal 156a KUHP yang dirumuskan dengan tidak cukup jelas dan dirumuskan secara luas tanpa ada penjelasan yang memadai itu dapat dihindari penggunaannya oleh hakim karena sangat berpotensi disalahgunakan dalam wujud kriminalisasi. Hal tersebut sebagaimana tergambar dalam kasus ini dan juga menurut berbagai kajian lembaga riset dan ilmuwan menjadi penyebab mundurnya demokrasi di Indonesia.Sentimen: negatif (100%)