Konsep Jihad Berorientasi Ofensif Perlu Ditinjau Ulang
Mediaindonesia.com Jenis Media: Nasional
KONSEP jihad yang berlaku di dalam kebanyakan komunitas muslim dinilai perlu ditinjau ulang. Pasalnya, ungkap Wakil Presiden Ma’ruf Amin, kondisi masyarakat ini sudah mengalami banyak mengalami perubahan.
“Mayoritas ulama pada masa lalu mendukung konsep jihad dengan arti ofensif (hujûmiyyah). Sebaliknya, mayoritas ulama pada masa kini lebih mendukung konsep jihad dalam arti defensif (difâ’iyyah),” kata Ma’ruf saat Muktamar Internasional Fikih Peradaban di Surabaya, Senin (6/2).
Baca juga:
Muktamar Internasional Fikih Peradaban inj merupakan rangkaian agenda Peringatan Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU).
Lebih lanjut Ma’ruf menjelaskan, konsep jihad secara ofensif diinterpretasikan ketika kehidupan masyarakat saat itu diliputi konflik dan perang antar-kelompok masyarakat. Di samping itu, pada masa sebelumnya belum ada badan /lembaga tingkat nasional maupun internasional yang mengatur dan mengawasi hubungan antar-kelompok dan antar-bangsa.
‘’Sementara kondisi dunia modern ini yang mengedapankan prinsip perdamaian dan kerukunan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan antar-bangsa (internasional),” ujarnya.
Sebenarnya saat ini dalam hubungan internasional terdapat sebuah lembaga bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menghimpun hampir semua negara di dunia. Hanya saja, dalam kenyataannya perjanjian internasional yang telah ditetapkan oleh PBB tidak sedikit yang dilanggar, sehingga seringkali terjadi konflik antar negara, seperti pendudukan Israel di Palestina, serangan multinasional terhadap Irak dan perang Rusia-Ukraina, yang kemudian berdampak secara global.
“Oleh karena itu, PBB harus diperkuat dengan memberikan kesetaraan hak antar anggota dan menambah representasi sebagai anggota tetap Dewan Keamanan yang mempunyai hak veto dari negara berkembang. Selain itu, perlu diperbanyak forum-forum internasional yang memberi pengaruh kuat terhadap PBB,” paparnya.
Karena itu, tambahnya, dirinya mengajak para ulama semua untuk terlibat lebih aktif dalam merespons setiap permasalahan baru dan terbarukan yang muncul, sehingga tercipta fikih baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Para ulama di dunia diharapkan ikut ambil bagian dalam perumusan tatanan global demi terwujudnya dunia yang lebih adil dan damai, dan sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan global yang dihadapi, terutama kemiskinan, konflik, perang, dan kerusakan lingkungan.
“Dalam konteks ini, saya juga mengajak para ulama untuk terus mendorong terwujudnya substansi etika global (global ethics), yakni saling memahami (mutual understanding), saling menghormati (mutual respect), saling ketergantungan (interdependence), dan kerja sama (cooperation) di antara bangsa-bangsa di dunia,” paparnya.
Ma’ruf mengakui banyak kalangan yang beranggapan ajaran Islam semuanya tsawabit dan alergi pada perubahan. Atau, tambahnya, kalangan yang beranggapan ajaran Islam semuanya memungkinkan untuk berubah. “Maka bisa dipastikan orang tersebut tidak memahami ajaran Islam itu sendiri,” tegasnya.
Baginya, saat ini terbuka luas untuk melakukan perumusan fikih baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban. NU sebagai sebuah organisasi keagamaan kemasyarakatan telah memiliki cukup syarat untuk merumuskan fikih baru tersebut. NU selama ini dikenal memiliki prinsip pemahaman keagamaan yang dinamis dan kontekstual.
“Oleh karena itu, sudah pada maqamnya NU ikut aktif mengurai dan memberikan jawaban terhadap masalah-masalah global yang terjadi pada era peradaban modern dewasa ini,” pungkasnya.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf menyebutkan, acara ini diharapkan sebagai bukti bahwa Islam menjadi solusi dari masalah. “Dan bukan lagi bagian dari masalah,” ujarnya. (Che)
Sentimen: positif (99.9%)