Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: BTN
Kab/Kota: Jati
Kasus: covid-19
Peneliti BRIN: Ekosistem Riset Kita Bermasalah
Republika.co.id Jenis Media: Nasional
JAKARTA – Gejolak yang terjadi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) semakin terbuka. Setelah Komisi VII DPR mewacanakan penggantian Kelapa BRIN Laksana Tri Handoko karena dinilai gagal, para periset di BRIN juga membongkar banyaknya persoalan di dalam institusi tersebut, salah satunya ekosistem riset yang kian tak jelas.
Peneliti pusat riset politik BRIN Wasisto Raharjo Jati menilai, penggantian sosok kepala bukan solusi utama dan satu-satunya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di BRIN. Menurut dia, pembentukan ekosistem riset harus diprioritaskan. “Yang paling penting menurut saya pribadi adalah pembentukan ekosistem kita yang belum sepenuhnya benar,” kata Wasisto, Jumat (3/2).
Dia mengambil sejumlah contoh masalah dalam ekosistem riset yang dia maksud, seperti masalah birokratisasi pengetahuan, penilaian pemberian gaji yang adil bagi periset, termasuk periset yang berprestasi di dalam risetnya, dan fasilitas bagi periset untuk bisa melakukan penelitian. Menurut Wasisto, semua itu sejauh ini dilupakan.
“Saya pikir itu yang paling penting dan selama ini agak dilupakan oleh ekosistem riset kita. Menurut saya pribadi, sistem ini yang sebenarnya harus dibenahi dulu. Karena kalau kepalanya diganti tapi sistemnya tidak berubah, ya sama saja,” ujar dia.
Persoalan dalam ekosistem riset itu, kata Wasisto, paling kental terasa terjadi karena lebih diutamakannya pemenuhan unsur birokratisasi ketimbang substansi, yakni riset atau penelitian. Urusan birokratisasi membuat periset tidak dapat sepenuhnya fokus kepada masalah-masalah ilmu pengetahuan karena sudah lelah dengan urusan itu terlebih dahulu.
“Di BRIN memang kami lebih memunculkan masalah birokratisasi daripada masalah pengetahuannya. Inilah yang membuat kami itu kemudian tidak sepenuhnya fokus kepada masalah substansi. Kami harus memenuhi unsur birokratisasi dulu baru kemudian substansi,” kata Wasisto.
Dia juga merasa langkah periset agak terganggu karena minim dana dan minim apresiasi. Menurut Wasisto, hal itu terjadi akibat anggaran yang kini tersentralisasi, yang mana menjadi semakin birokratis untuk dapat mengakses dana anggaran yang ada. Semestinya, kata dia, pengelolaan anggaran dikembalikan ke pusat riset masing-masing untuk dapat memacu kinerja riset.
Kalau kepalanya diganti tapi sistemnya tidak berubah, ya sama saja.
WASISTO RAHARJO JATI, Peneliti BRIN
“Idealnya itu, pengelolaan anggaran harus terdesentralisasi. Dikembalikan lagi ke pusat risetnya masing-masing untuk bisa mengelola dana itu agar bisa memacu kinerja riset. Kalau yang sekarang kan cenderung sentralistik, yang justru membuat langkah periset agak terganggu karena minim dana, minim apresiasi,” ujar dia.
Wasisto menerangkan, peran pemerintah pusat diperlukan untuk mengubah situasi pada ekosistem riset saat ini. Pembenahan aturan dan kelembagaan harus dilakukan. Sebagai lembaga riset, BRIN semestinya menjadi lembaga yang independen agar dapat secara merdeka melakukan riset.
“Sikapnya (periset) berbeda-beda. Ada yang merasa terkekang, ada yang merasa bebas, ada yang tengah-tengah. Jadi tergantung ke personal perisetnya. Tidak bisa pukul rata. Tapi idealnya independen,” kata dia.
Salah satu contoh yang membuat periset merasa terkekang terkait dengan pemenuhan output riset berupa publikasi jurnal internasional. Menurut dia, tidak semua sumber daya manusia (SDM) peneliti mampu untuk itu. Pemenuhan output riset, kata dia, tidak harus selalu berbentuk publikasi jurnal, melainkan harus bisa terdiversifikasi yang dapat lebih berguna bagi pengguna dan masyarakat.
“Karena yang keadaan itu lebih kepada disempitkan sesama periset. Harusnya masyarakat juga harus bisa merasakan manfaat dari riset itu,” kata dia.
Beragam persoalan di BRIN juga dilontarkan peneliti tata kelola dan konflik di BRIN, Poltak Partogi Nainggolan. Menurutnya, BRIN pada awalnya dibentuk untuk membangun sebuah pusat riset nasional yang dapat berdaya saing global dengan SDM riset unggul. Menurut dia, yang sudah terjadi saat ini adalah sebuah kesalahan.
“Harus punya visi itu siapa pun yang dipilih untuk itu. Di situ kan mandatnya sebetulnya mengoordinasikan, bukan mengintegrasikan atau melebur. Siapapun yang melebur itu, itu keputusan yang salah,” kata Poltak.
Dia memberikan contoh peleburan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dibangun dengan investasi tinggi oleh BJ Habibie ke dalam BRIN. Dari yang sudah bisa berjalan dengan baik hingga menghasilkan riset yang bagus, kini dia sebut menjadi hancur. Hal serupa juga terjadi di berbagai proyek penelitian lain yang berjalan tidak maksimal.
“Bisa kita bandingkan satu hal saja. BPPT dulu punya Pak Habibie, orang sudah jalan, sudah bagus, hancur semua itu lihat. Juga yang lain-lainnya. Bikin drone, vaksin (Covid-19) Merah Putih. Mana? Karena semuanya jadi setengah-setengah. Tidak ada fokus,” ujar dia.
Masih terkait peleburan, Poltak mempersoalkan pembubaran badan riset yang ada di lembaga legislatif dan juga yudikatif. Poltak mengatakan, badan riset di masing-masing lembaga tersebut harus berdiri masing-masing karena punya fungsi yang berbeda untuk memenuhi unsur check and balances di setiap lembaga. Jika tidak, akan timbul bahaya berupa semua pendapat tentang UU akan pro pemerintah.
“Kalau mau berpikir efisiensi, tidak bisa main pukul rata seperti itu. Yang tidak efisien, diefisienkan. Misalnya unit-unit pemerintah yang tumpang tindih. Tapi yang punya DPR ataupun yang yudikatif, di bawah MK dan MA, itu tidak bisa. Itu harus mengikuti check and balances,” kata dia.
Poltak juga menyoroti persoalan pengelolaan dana riset yang dia nilai ngawur. Periset yang tergabung di dalam BRIN, kata dia, dipersulit ketika hendak melakukan riset dengan aturan yang dibuat sendiri. Uang untuk keperluan riset, kata dia, tidak dapat dipegang di tangan sehingga mengharuskan periset menggunakan kartu kredit untuk membayar keperluan riset.
Badan riset di masing-masing lembaga tersebut harus berdiri masing-masing karena punya fungsi yang berbeda.
Dia mencontohkan soal biaya transportasi untuk keperluan riset. Biaya menuju bandara dipotong hanya menjadi Rp 150 ribu untuk perjalanan pergi dan pulang. Sesampainya di lokasi riset pun dia mengalami kesulitan karena minimnya dana yang diberikan. Poltak mengalami hal tersebut ketika hendak meneliti Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan.
“Waktu saya riset IKN itu, tidak bisa sampai semua. Yang tadinya tim ada tujuh orang tinggal dua orang saja yang jalan. Padahal kita harus mewawancarai banyak pihak. Itu pun dalam sehari karena sudah tidak mungkin lagi berhari-hari. Uangnya tidak cukup,” jelas dia.
Kesulitan-kesulitan tersebut tentu berdampak pada berantakannya metodologi yang dilakukan seorang periset. Keterbatasan yang ada membuat riset yang dilakukan memiliki data yang tidak cukup representatif. Padahal, periset di BRIN dituntut untuk mempertanggungjawabkan riset-risetnya hingga bisa terbit di jurnal internasional.
“Jurnal internasional itu kan dia lihat metodologi. Kalau survei, berapa sampelnya. Kalau kecil-kecil tidak representatif dia lihat, istilahnya kacangan atau main-main, abal-abal. Riset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dia tidak paham itu,” kata Poltak.
Posisi Megawati
Poltak menambahkan, ada kesalahan dalam struktur organisasi di BRIN, yakni kehadiran dewan pengarah. Dia menilai dewan pengarah tidak dibutuhkan oleh BRIN yang semestinya menjadi lembaga yang benar-benar independen. Ketua dewan pengarah BRIN saat ini adalah Megawati Soekarnoputri.
“Waktunya kepala BRIN ini juga tersita karena struktur organisasi yang ada di BRIN ini juga ada yang tidak benar. Ada dewan pengarah. Buat apa? Lembaga BRIN harus independen. Apalagi dewan pengarah ini di bawah kooptasi partai politik. Bayangkan,” ujar Poltak.
Menurut Poltak, penting untuk memperbaiki struktur organisasi di BRIN dengan meniadakan dewan pengarah. Struktur BRIN, kata dia, semestinya benar-benar terdiri dari orang yang benar-benar profesional, tidak partisan, bebas, dan independen. Jika sudah tercampur politik, ditambah kapabilitas dan kapasitas pemimpin BRIN rendah, maka akan semakin kacau.
“Tidak bisa lagi mau diberesin. Di satu sisi ditarik-tarik oleh partai politik, di sisi lain dia mau benahi tapi tidak punya kemampuan. Ini PR yang berat. Bisa dibayangkan yang terjadi apa? Kemunduran. Kalau dibiarkan kehancuran,” ujar Poltak.
").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://platform.twitter.com/widgets.js' }).prependTo("head"); if ($(".instagram-media").length > 0) $("").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://www.tiktok.com/embed.js' }).prependTo("head"); $(document).on("click", ".ajaxContent", function(t) { var e; t.preventDefault(); Pace.restart(); var a = $(this).attr("href"); var b = $(this).attr("data-id"); $(".btn-selengkapnya-news").show(); $(".othersImage").addClass("hide"); $(this).hide(); $("." + b).removeClass("hide"); return e ? (Pace.stop(), document.getElementById("confirm_link").setAttribute("href", a), $("#modal_confirm").modal()) : ($("*").modal("hide"), void $.get(a, function(t) { $("#" + b).html(t.html); console.log("#" + b); }).done(function() { $(".collapse").fadeOut(); $("#" + b).fadeIn(); }).fail(function() { $("#modal_alert .modal-body").html(fail_alert), $("#modal_alert").appendTo("body").modal() })) }); $(".body-video").on('loadedmetadata', function() { if (this.videoWidth < this.videoHeight) this.height = 640; this.muted = true; //console.log(this.videoHeight); } ); window.onload = function() { var videos = document.getElementsByTagName("video"), fraction = 0.8; function checkScroll() { if (videos.length > 0) { for (var i = 0; i < videos.length; i++) { var video = videos[i]; var x = video.offsetLeft, y = video.offsetTop, w = video.offsetWidth, h = video.offsetHeight, r = x + w, b = y + h, visibleX, visibleY, visible; visibleX = Math.max(0, Math.min(w, window.pageXOffset + window.innerWidth - x, r - window.pageXOffset)); visibleY = Math.max(0, Math.min(h, window.pageYOffset + window.innerHeight - y, b - window.pageYOffset)); visible = visibleX * visibleY / (w * h); if (visible > fraction) { video.play(); } else { video.pause(); } } } } window.addEventListener('scroll', checkScroll, false); window.addEventListener('resize', checkScroll, false); }; // window.fbAsyncInit = function() { // FB.init({ // appId: '700754587648257', // xfbml: true, // version: 'v14.0' // }); // }; // (function(d, s, id) { // var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0]; // if (d.getElementById(id)) { // return; // } // js = d.createElement(s); // js.id = id; // js.src = "https://connect.facebook.net/en_US/sdk.js"; // fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs); // } // (document, 'script', 'facebook-jssdk')); // $(".share_it a,.share-open-fix li").on("click", function() { // url = window.location.href; // s = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.blog-post-actions").children("div.pull-left").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); // c = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.quote-text").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); // content = c + " - " + s; // if ($(this).children().hasClass("fa-facebook")) { // img = document.querySelector("meta[property='og:image']").getAttribute("content"); // FB.ui({ // method: 'share_open_graph', // action_type: 'og.shares', // action_properties: JSON.stringify({ // object: { // 'og:url': url, // 'og:title': "", // 'og:description': c, // 'og:og:image:width': '610', // 'og:image:height': '409', // 'og:image': img // } // }) // }); // console.log(img); // } else if ($(this).children().hasClass("fa-twitter")) { // window.open("https://twitter.com/intent/tweet?text=" + content + " " + url); // } else if ($(this).children().hasClass("fa-whatsapp")) { // window.open("https://api.whatsapp.com/send?utm_source=whatsapp&text=" + content + " " + url + "?utm_source=whatsapp"); // } // return false; // }); });Sentimen: positif (64%)