Tahun Politik, Walhi: Pemberian Izin Tambang dan Kehutanan Meningkat Tajam
Gatra.com Jenis Media: Nasional
Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, mengatakan, pemberian izin di sektor pertambang dan kehutanan selalu meningkat tajam pada tahun politik.
“Peningkatan izin di tahun politik, tidak ada yang di bawah 200%, di atas 200%. Peningkatannya lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya,” kata Zenzi dalam acara “Peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup 2023” di Jakarta, Selasa (31/1).
Ia menjelaskan, ada beberapa pola unik meningkatnya penerbitan izin jelang pemilu. Biasanya, kalau izinnya di sektor kehutanan, itu diterbitkannya pada tahun sebelum pemilu sampai dengan hari H pemilihan.
Baca Juga: Walhi Prediksi Transaksi Politik dengan Pelaku Kejahatan SDA Bakal Meningkat
Ia mencontohkan, kalau pemilunya pada tahun ini, maka sepanjang tahun ini sampai dengan malam pencoblosan, penerbitan perizinan masih terjadi. Menurutnya, ini seperti pada tahun 2004, dua hari jelang pemilu putaran kedua, luas hutan yang diterbitkan izinnya mencapai 400.000 hektare.
“Itu cuman dua hari jelang pemilihan. Biasanya, penerbitan yang di sektor kehutanan dalam hal ini pada HPH, hutan tanaman industri, itu trennya menjelang pemilihan,” katanya.
Sedangkan untuk perizinan perkebunan sawit dan tambang, lanjut Zenzi, kalau sebelum tahun 2020 kewenangan penerbitan izin tambang ada di kepala daerah. Sedangkan pada 2009–2010, penerbitan izin tambang itu banyak terjadi sebelum pilkada karena banyaknya incumbent yang maju lagi dan kewenangan penerbitan izinnya dia yang memiliki.
“Berbeda dengan 2004–2005, penerbitan izin tambang itu banyak terjadi setelah pemilu,” ujarnya.
Walhi melihat, ada relasi antara pemegang izin tambang dengan mereka yang terpilih dalam pemilu pada tahun 2004–2005. Relasi tersebut terlihat karena mereka yang terpilih adalah mantan Kadis ESDM atau kadis Kehutanan.
“[Mereka] orang yang tahu di mana letak deposit tambang dan orang yang tahu mana kawasan hutan yang bisa dilepaskan,” ujarnya.
Menurutnya, ada tiga faktor yang memengaruhi, di antaranya, apakah penerbitan izinnya di pusat atau daerah, atau penerbitan izinnya sebelum atau sesudah pemilu.
“Sedangkan [di sektor] sawit berbeda lagi, kalaupun incumbent yang maju di tahun yang sama, izin pertama yang diterbitkan, itu izin prinsipnya. Kemudian di tahun berikutnya baru diterbitkan izin usaha perkembuna. Itu trennya,” ujarnya.
Deputi Internal FN Walhi, M. Islah, menambahkan, rakyat atau berbagai elemen bangsa lainnya harus mengawasi dan mewaspadai peningkatan izin-izin di sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.
“Apakah izin-izin yang ke luar itu menjurus ke arah sana atau tidak. Karena ini juga Sumbar dalam beberapa kajian lingkungan, mendekati pilkada atau pemilu itu banyak izin keluar sebagai sumber logistik [pemilu],” ujarnya.
Menurutnya, kalau pada pemilu dan pilkada raya 2024 mendatang masih demikian, maka akan melahirkan pemimpin di eksekutif dan legislator di legislatif, baik di daerah dan pusat, yang tidak mempunyai kepedulian terhadap kelestarian lingkungan.
“Kurang peduli lingkungan karena modal logistiknya saja dari hasil merusak lingkungan hidup,” ujarnya.
Karena itu, lanjut Islah, rakyat Indonesia harus belajar dari dua pemilu terakhir dengan memperkuat soliditas sosial supaya tidak mudah dipecahbelah dengan berbagai cara, misalnya hoaks dan isu SARA sehingga lupa dari subtansi tujuan pemilu, yakni melahirkan pemimpin yang mengatasi persoalan rakyat, kehidupan, dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Baca Juga: Walhi: Implementasi Kebijakan Perbaikan Iklim di Indonesia Belum Sesuai
“Kuncinya ada di rakyat Indonesia sendiri sebagai pemilih, mereka akan memilih dan menentukan siapa yang dipilih menjadi wakilnya,” ujarnya.
Meski masyarakat yang menjadi penentu, lanjut Islah, parpol politik (Parpol) juga harus memberikan calon-calon pemimpin daerah dan pusat serta calon legislatif yang berbobot dan mempunyai komitmen terhadap kelestarian lingkungan. Ini agar rakyat punya banyak pilihan.
“Kita harap juga penyelenggara pemilunya secara jujur dan adil karena harapan itu bisa cedera kalau penyelenggara pemilunya tidak jujur dan adil,” katanya.
47
Sentimen: positif (96.2%)