Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: BTN
Kab/Kota: Sumenep, Madura
Kasus: kekerasan seksual, pelecehan seksual
Kekerasan Seksual di Sekolah Mengintai
Republika.co.id Jenis Media: Nasional
JAKARTA -- Pemberitaan terkait kekerasan seksual di lingkungan pendidikan marak belakangan. Data yang dihimpun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga menunjukkan fenomena tersebut.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat, lebih dari 25 persen korban kekerasan seksual yang memohonkan perlindungan kejadiannya terkait dengan dunia pendidikan. LPSK menyayangkan kekerasan seksual terjadi di lingkungan dunia pendidikan.
Catatan LPSK tahun 2022, permohonan perlindungan dari tindak pidana kekerasan seksual berjumlah 634 pemohon. Dari 634 pemohon itu, sebanyak 379 pemohon berstatus korban, dengan 84 di antaranya korban kekerasan seksual terkait dunia pendidikan.
"Hampir 25 persen pemohon adalah korban kekerasan seksual terkait dunia pendidikan. Artinya apa? Kekerasan (seksual) ada," kata Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar dalam keterangannya, Jumat (20/1).
Livia mengamati keterkaitan korban dengan dunia pendidikan bisa dipilah dari pendidikan bidang keagamaan dan umum. Bidang pendidikan agama, pesantren menjadi tempat kejadian terbanyak dengan 45 korban, tempat mengaji dengan 10 korban, dan tempat ibadah dengan enam korban. Sedangkan di bidang pendidikan umum, sekolah jadi tempat kejadian terbanyak dengan 19 korban dan satu korban di universitas.
Menurut Livia, korban kekerasan seksual yang memohonkan perlindungan ke LPSK belum menggambarkan peristiwa sebenarnya.
"Masih banyak korban kekerasan seksual lainnya, baik yang sudah melapor ke aparat penegak hukum tapi tidak mengajukan perlindungan ke LPSK maupun yang tidak melaporkan sama sekali kejadian yang menimpanya," ujar Livia.
Livia menjelaskan, faktor relasi kuasa sangat kental dalam kasus kekerasan seksual yang terkait dunia pendidikan. Modus dan dampak dari perbuatan itu terbilang luar biasa.
"Kita (LPSK) pernah menangani kasus kekerasan seksual oleh oknum guru dibantu siswa teman korban sendiri, tempat kejadian di ruang sekolah, dan di jam sekolah," kata Livia.
Livia berikutnya menyoroti kasus kekerasan seksual dengan pelaku HW di Jawa Barat. Kasus itu menyita perhatian karena melibatkan belasan korban, di antaranya anak dan akibat perbuatan itu lahir sembilan orang bayi.
"Bagaimana mungkin anak usia belasan tahun menjadi budak seks selama bertahun-tahun dan akibat perbuatan itu mereka harus melahirkan di usia muda. Anehnya, kejadian itu berlangsung lama dan tidak banyak yang tahu," ujar Livia.
Selain faktor relasi kuasa yang kental, Livia membeberkan pelaku kekerasan seksual terkait dunia pendidikan, mulai dari oknum guru hingga petugas/pegawai lain di lingkungan pendidikan. Bahkan pemilik maupun pengurus yayasan pendidikan.
"Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk mereka mengejar dan mendapatkan pengetahuan, bukan sebaliknya," kata Livia menegaskan.
Livia sependapat, dunia pendidikan harus bersih dan bebas dari perilaku kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Berangkat dari hal itu, menurutnya pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan, baik umum maupun keagamaan, termasuk yang berbasis asrama, menjadi sangat penting.
"Para pemangku kepentingan jangan berpangku tangan, pengawasan melekat mendesak dilakukan," sebut Livia.
Selain itu, Livia mengingatkan para orang tua harus dapat selektif dalam memilih tempat pendidikan bagi anak-anaknya. Ia menyinggung lingkungan sekitar tempat pendidikan punya peran dan harusnya bisa lebih peka mencegah kekerasan seksual.
"Orang tua jangan sampai terkesan hanya memindahkan kewajiban mengurus anak-anak kepada tenaga pendidik di sekolah tanpa pengawasan berkala," ujar Livia.
Dalam kasus kekerasan seksual di sekolah yang terkini, jajaran Polres Sumenep, Madura, Jawa Timur, menangkap seorang guru sekolah dasar (SD) berinisial N atas dugaan telah melakukan tindakan asusia terhadap sejumlah muridnya yang masih di bawah umur. Oknum PNS yang mengajar di salah satu SD di Kecamatan Kangayan, Pulau Kangean, disebut-sebut melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah murid kelas VI.
Kasi Humas Polres Sumenep AKP Widiarti mengungkapkan, oknum guru tersebut merupakan warga Desa Angon-Angon, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep. Perilaku bejat M terbongkar setelah salah seorang keluarga korban melaporkan kelakuannya ke aparat desa.
"Kemudian diteruskan ke Polsek Kangayan. Tersangka melancarkan aksinya pada saat jam pelajaran berlangsung, dengan cara memanggil para korbannya ke ruang guru," kata Widiarti, Kamis (19/1).
Widiarti menjelaskan, modus operandi yang digunakan tersangka adalah mengancam para korbannya akan diberi nilai jelek dan tidak akan dinaikkan kelas, jika menolak mengikuti kemauan bejatnya. Widarti mengungkapkan, tersangka diduga telah melancarkan aksinya sejak 2021.
"Ada sebanyak 10 orang yang sudah melaporkan. Ini akan kita kembangkan lagi, karena siswinya sudah banyak yang lulus," kata Widiarti.
Widiarti enggan menjelaskan secara perinci terkait dugaan pelecehan seksual yang dilakukan tersangka. Widiarti menegaskan, tersangka disangkakan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Aduan kekerasan
Sementara, Komnas Perempuan menghimpun 3.728 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2022. Komnas Perempuan memerinci dari ribuan pengaduan itu sebanyak 723 di antaranya merupakan surat rujukan, 54 surat klarifikasi, 61 surat rekomendasi, tujuh saksi ahli, dan empat amicus curiae.
"Penyikapan ini mengalami peningkatan 47 persen jika dibandingkan dengan penyikapan pada 2021," kata Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang dalam keterangannya pada Jumat (20/1).
Veryanto mengungkapkan, Komnas Perempuan sebenarnya mengalami keterbatasan sumber daya. Sebab dengan pembiayaan oleh negara saat ini hanya dapat diperuntukkan bagi satu orang personel dari 20 orang personel pada Unit Pengaduan dan Rujukan Komnas Perempuan sejak 2021.
"Kasus-kasus di ranah negara, terutama terkait konflik sumber daya alam, konflik agraria dan proyek strategis nasional juga termasuk dalam pengaduan dan membutuhkan penyikapan," ujar Very.
Guna mengatasi masalah sumber daya, Komnas Perempuan melakukan kerja sama dengan kementerian/lembaga dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan. Dua di antaranya menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Kapolri dan MoU Komnas Perempuan untuk KuPP (Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan).
Selain itu, Very menyinggung pentingnya tahun ini bagi Komnas Perempuan sebagai 25 tahun reformasi dan 25 tahun berdirinya Komnas Perempuan. Komnas Perempuan menjadwalkan tracking pelaksanaan agenda reformasi termasuk agenda penghapusan penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam atau tidak manusiawi lainnya.
"Termasuk pentingnya mengawal implementasi undang-undang, berbagai regulasi dan ekspektasi publik, di antaranya terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan undang-undang lain yang terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan," ujar Very.
Very juga menyebut tahun ini menjadi tahun politik di mana agenda-agenda kepemimpinan perempuan dan potensi konflik, termasuk yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender berpotensi mengalami peningkatan. Menurut dia, Komnas Perempuan diperhadapkan dengan kondisi genting kelembagaan pada tahun ini.
"Di mana jumlah sumber daya manusia belum ada perubahan dan stagnan, ketersediaan anggaran, insfrastruktur dan jaminan kesehatan yang tidak memadai untuk mendukung kerja-kerja Komnas Perempuan. Hal ini membuat Komnas Perempuan bergantung pada dana hibah," ujar Very. Baca Selengkapnya';
").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://platform.twitter.com/widgets.js' }).prependTo("head"); if ($(".instagram-media").length > 0) $("").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://www.tiktok.com/embed.js' }).prependTo("head"); $(document).on("click", ".ajaxContent", function(t) { var e; t.preventDefault(); Pace.restart(); var a = $(this).attr("href"); var b = $(this).attr("data-id"); $(".btn-selengkapnya-news").show(); $(".othersImage").addClass("hide"); $(this).hide(); $("." + b).removeClass("hide"); return e ? (Pace.stop(), document.getElementById("confirm_link").setAttribute("href", a), $("#modal_confirm").modal()) : ($("*").modal("hide"), void $.get(a, function(t) { $("#" + b).html(t.html); console.log("#" + b); }).done(function() { $(".collapse").fadeOut(); $("#" + b).fadeIn(); }).fail(function() { $("#modal_alert .modal-body").html(fail_alert), $("#modal_alert").appendTo("body").modal() })) }); $(".body-video").on('loadedmetadata', function() { if (this.videoWidth < this.videoHeight) this.height = 640; this.muted = true; //console.log(this.videoHeight); } ); window.onload = function() { var videos = document.getElementsByTagName("video"), fraction = 0.8; function checkScroll() { if (videos.length > 0) { for (var i = 0; i < videos.length; i++) { var video = videos[i]; var x = video.offsetLeft, y = video.offsetTop, w = video.offsetWidth, h = video.offsetHeight, r = x + w, b = y + h, visibleX, visibleY, visible; visibleX = Math.max(0, Math.min(w, window.pageXOffset + window.innerWidth - x, r - window.pageXOffset)); visibleY = Math.max(0, Math.min(h, window.pageYOffset + window.innerHeight - y, b - window.pageYOffset)); visible = visibleX * visibleY / (w * h); if (visible > fraction) { video.play(); } else { video.pause(); } } } } window.addEventListener('scroll', checkScroll, false); window.addEventListener('resize', checkScroll, false); }; window.fbAsyncInit = function() { FB.init({ appId: '700754587648257', xfbml: true, version: 'v14.0' }); }; (function(d, s, id) { var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0]; if (d.getElementById(id)) { return; } js = d.createElement(s); js.id = id; js.src = "https://connect.facebook.net/en_US/sdk.js"; fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs); } (document, 'script', 'facebook-jssdk')); $(".share_it a,.share-open-fix li").on("click", function() { url = window.location.href; s = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.blog-post-actions").children("div.pull-left").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); c = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.quote-text").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); content = c + " - " + s; if ($(this).children().hasClass("fa-facebook")) { img = document.querySelector("meta[property='og:image']").getAttribute("content"); FB.ui({ method: 'share_open_graph', action_type: 'og.shares', action_properties: JSON.stringify({ object: { 'og:url': url, 'og:title': "", 'og:description': c, 'og:og:image:width': '610', 'og:image:height': '409', 'og:image': img } }) }); console.log(img); } else if ($(this).children().hasClass("fa-twitter")) { window.open("https://twitter.com/intent/tweet?text=" + content + " " + url); } else if ($(this).children().hasClass("fa-whatsapp")) { window.open("https://api.whatsapp.com/send?utm_source=whatsapp&text=" + content + " " + url + "?utm_source=whatsapp"); } return false; }); });Sentimen: negatif (100%)