Sentimen
Positif (99%)
21 Jan 2023 : 23.30
Tokoh Terkait

Senator Papua Barat Sebut Bikameral Bagian dari Amanat Reformasi

22 Jan 2023 : 06.30 Views 1

Jawapos.com Jawapos.com Jenis Media: Nasional

Senator Papua Barat Sebut Bikameral Bagian dari Amanat Reformasi

JawaPos.com–Anggota DPD dari Papua Barat Filep Wamafma menyebut bikameral merupakan bagian dari amanat reformasi. Perjuangan reformasi menghilangkan sentralisasi kekuasaan pada satu lembaga dan menegasikan lembaga yang lain juga menghindari power tends to corrupt.

Menurut dia, untuk mencegah pemutlakan kekuasaan, perlu ada mekanisme saling mengawasi, termasuk dalam legislatif. Hal itu juga supaya UU yang dihasilkan di kamar DPR tidak menjadi sewenang-wenang.

”Sebagai Ketua DPD LaNyalla Mahmud Mattalitti, semestinya yang diperjuangkan ialah penguatan fungsi bikameral itu, bukan melemahkan. Penguatannya melalui upaya afirmasi terhadap kewenangan DPD di bidang legislatif. Contoh di Prancis, posisi senat dan national assembly sebagai lembaga bikameral adalah sama kuat dan sejajar. Senat dan national assembly sama-sama memiliki kewenangan mengajukan mosi tidak percaya kepada kebijakan pemerintah,” tegas Filep merespons wacana Ketua DPD LaNyalla Mahmud Mattalitti, untuk kembali ke naskah asli UUD 1945 yang dikaitkan dengan eksistensi sistem bikameral.

Senator Papua Barat itu menambahkan, apabila tidak ada sistem bikameral, tidak akan dikenal perwakilan dari daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

”Jika bikameral itu tidak ada, provinsi-provinsi DOB seperti Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, Papua Selatan, tidak akan diwakili hak-hak kedaerahannya. Sebagai Ketua DPD, diharapkan dapat mengajak masyarakat untuk berpikir ke depan, bukan kembali pada masa Orba dengan sentralistiknya. Bikameral bukan penyimpangan, karena amandemen konstitusi pun bukan hal yang tabu, karena diperbolehkan secara hukum,” ungkap Filep.

Menurut mantan anggota Pansus Papua itu, apabila anggota MPR diisi anggota DPR yang dipilih, utusan daerah yang diidealkan berasal dari raja-raja Nusantara dan utusan golongan diisi para profesional dari organisasi-organisasi, dikhawatirkan akan melahirkan transaksi politik.

”Bayangkan saja jika utusan daerah berasal dari raja-raja Nusantara dan utusan golongan dari kaum profesional, bukankah justru akan melahirkan politik transaksional? Akan ada kepentingan-kepentingan tertentu di sana dan hak-hak konstitusional masyarakat di luar para raja dan para profesional dikhawatirkan justru akan dikebiri dan sangat tidak demokratis,” ujar Filep Wamafma.

”Terus terang saya cukup heran dengan pandangan Pak LaNyalla, karena bagaimanapun, DPD dilahirkan dari rahim reformasi. Potret perubahan Konstitusi yang melahirkan DPD, sejatinya bertujuan agar memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daerah, serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang,” tambah dia.

Filep juga menekankan, para wakil daerah bukan wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah yang berbasis ideologi atau parpol ataupun keturunan tertentu. Wakil daerah adalah figur-figur yang dapat mewakili seluruh elemen yang ada di daerah.

”Jangankan DPD, persoalan otonomi daerah, termasuk otsus, merupakan hasil amandemen dari pasal 18 konstitusi. Dulu kan pasal ini lebih menekankan streak and locale rechtsgemeenschappen atau bersifat daerah administrasi belaka. Justru dengan amandemen pasal 18, beberapa prinsip baru dapat diterapkan dan diakui, yaitu prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya dan bukan sekadar administratif, prinsip kekhususan dan keragaman daerah, serta prinsip menghormati masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya,” jelas Filep.

Dia menambahkan, dengan prinsip itu masyarakat adat Papua contohnya, bisa meminta hak atas DBH sumber daya alam, hak atas tanah adat, hak atas pemberdayaan masyarakat adat, dan lainnya.

”Mari berpikir ke depan. Jangan sampai DPD yang sudah berdiri ini dan juga seluruh sistem lain, dikembalikan ke masa lalu. Kecuali kalau memang ada kepentingan lain di balik itu, ya jelas harus dilawan,” ucap Filep Wamafma.

Editor : Latu Ratri Mubyarsah

Sentimen: positif (99.6%)