Pengamat Nilai Alasan Kegentingan Penerbitan Perpu Cipta Kerja Mengada-Ada
Gatra.com Jenis Media: Nasional
Jakarta, Gatra.com - Pengamat Ekonomi dan Politik, Anthony Budiawan, mengatakan bahwa alasan adanya situasi kegentingan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tidak bisa dibuktikan atau mengada-ada sehingga aturan ini tidak tepat dirumuskan.
"Kita lihat kegentingan memaksa ini tidak ada, bahwa ini diada-adakan. Dengan [isi] perppu sedemikian banyak, tidak mungkin memuat kegentingan memaksa, karena kegentingan sangat spesifik, bukan semua dimasukkan di undang-undang," ujarnya dalam diskusi bertajuk "Menggugat Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker: Makzulkan Jokowi" yang digelar secara hybrid, Senin (9/1).
Baca Juga: Akademisi Nilai Pelanggaran Konstitusi Perppu Cipta Kerja Bisa Buat Pemerintah Dimakzulkan
Ia menerangkan bahwa di dalam Perppu Cipta Kerja, pada butir menimbang terdapat dua pernyataan yang membantah situasi kegentingan itu sendiri. Pertama, dalam butir meninbang (f) yang berbunyi: bahwa untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 I/PUU-XVIII 2020, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Ini gimana? Untuk melaksanakan itu diperbaiki dengan perppu di dalam menimbangnya. Ini memang sudah dikondisikan, mau mengubahnya melalui perppu, bukan kegentingan memaksa," ucapnya.
Sedangkan butir (g)-nya: dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate changel, dan terganggunya rantai pasokan (supplg chain) telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja.
Anthony menjelaskan bahwa kondisi global yang tidak stabil justru turut membawa dampak positif bagi Indonesia, salah satunya terkait dengan ekspor batu bara.
Selain itu, ia menilai bahwa di dalam isi Perppu Cipta Kerja ini, tidak mengatur mengenai krisis ekonomi-politik yang dianggap mengancam di tahun ini. Menurutnya, isi Perppu Cipta Kerja untuk menarik investasi tidak bisa mengatasi masalah krisis. Sebab, di saat krisis, terjadi oversupply sehingga tidak mungkin ada perusahaan yang melakukan investasi.
"Kita bisa debat dengan pemerintah apa yang dimaksud dengan kegentingan memaksa di konteks ekonomi dan gimana perppu mengatasi krisis ekonomi itu. Kalau ada krisis ekonomi, apakah Perppu Cipta Kerja bisa menangani itu? Kalau tidak bisa apa konsekuensinya? Ini permasalahannya," katanya.
Menurut Anthony, Indonesia sudah memiliki payung hukum kuat terkait dengan penanganan situasi krisis ekonomi, yakni dengan adanya Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, serta RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK). Adanya aturan ini menunjukkan bahwa penerbitan perppu tidak diperlukan. Sebab, tidak ada kekosongan hukum dan masih ada aturan yang mengatasinya.
"Kalau kita lihat hukum kita tidak kosong. Untuk apa lagi ada perppu? Bahwa kalau tidak ada kekosongan hukum, maka perppu tidak boleh diterbitkan, ini pelanggaran konstitusi," lanjutnya.
Baca Juga: Pengamat: Penerbitan Perpu Cipta Kerja Langgar Aturan
Untuk itu, Anthony menegaskan bahwa Perppu Cipta Kerja harus dibatalkan. Sebab, unsur kegentingan yang disebut menjadi alasan oleh pemerintah tidak bisa dibuktikan.
"Saya kira tidak ada jalan lain bahwa perppu harus dibatalkan, eksekutif mencabut kembali agar kegaduhan ini tidak meluas, atau DPR menolaknya. Kemudian dievaluasi, apakah perppu benar melanggar konstitusi atau tidak, agar kejadian serupa tidak terjadi bahwa konstitusi dilanggar seenaknya," kata dia.
Sebelumnya, Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada akhir Desember 2022 lalu.
63
Sentimen: negatif (100%)