Sentimen
Negatif (99%)
10 Jan 2023 : 00.06
Informasi Tambahan

Kasus: Tipikor, korupsi

Tokoh Terkait
Juniver Girsang

Juniver Girsang

Surya Darmadi

Surya Darmadi

Ahli Sebut Kerugian Perekonomian Negara Harus Nyata dan Pasti

10 Jan 2023 : 00.06 Views 1

Merahputih.com Merahputih.com Jenis Media: News

Ahli Sebut Kerugian Perekonomian Negara Harus Nyata dan Pasti

MerahPutih.com - Sidang dugaan korupsi alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau, dengan terdakwa Bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi alias Apeng kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan pakar hukum pidana, Agus Surono sebagai ahli. Dalam keterangannya, Agus menegaskan bahwa penghitungan kerugian perekonomian negara harus jelas dan pasti.

Baca Juga

Hakim Nilai Langkah Jaksa Hadirkan Terdakwa Kasus Indosurya tidak Sesuai Prosedur

"Tentu kerugian perekonomian negara pun juga harus dimaknai adanya satu kerugian yang sifatnya nyata dan pasti. Bagaimana metodenya saya tidak tahu menghitungnya. Harus ada," ucap Agus Surono kepada majelis hakim di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (9/1).

"Jadi, tidak mungkin kalau tidak nyata dan tidak pasti, maka ini kan bertentangan dengan prinsip asas kepastian hukum juga bahwa harus ada kerugian yang sifatnya nyata dan pasti," lanjutnya.

Agus menjelaskan, pandangannya tersebut mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016.

Di mana, putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa 'dapat' dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa 'dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara' dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).

"Memang di dalam putusan MK, yang berkaitan dengan tafsir kata 'dapat' itu dimohonkan hanya berkaitan dengan keuangan negara saja," ujarnya.

Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Surya Darmadi (tengah) berjalan meninggalkan ruangan usai menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (8/9). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Dalam persidangan tersebut, Agus juga menjelaskan bahwa konteks perbuatan melawan hukum haruslah ada niat perbuatan melakukan pidana atau mens rea. Sehingga, sambung Agus, jelas bahwa seseorang yang melakukan perbuatan pidana diawali dengan niat jahat.

"Pidana itu kan pasti harus ada mens rea ataupun ada actus reus. Actus reus itu itu sifatnya harus sadar," ungkap Agus.

Baca Juga

Saksi dan Kuasa Hukum Merasa Perusahaan Surya Darmadi Didiskriminasi Masalah Izin

Sementara itu, Kuasa Hukum terdakwa Surya Darmadi, Juniver Girsang juga sependapat dengan pandangan Agus Surono bahwa penghitungan kerugian perekonomian negara di kasus kliennya sebenarnya harus nyata dan jelas.

Tetapi, menurut Juniver, perhitungan perekonomian negara di kasus Surya Darmadi belum nyata dan jelas.

"Ahli pidana menjelaskan untuk menentukan adanya kerugian negara harus kongkrit dan nyata sesuai dengan keputusan MK Nomor 25 Tahun 2016, jelas, tidak boleh di luar daripada itu, kalau tidak kongkrit dan tidak nyata itu tidak boleh dikatakan kerugian negara," tutur Juniver.

Tak hanya itu, Juniver juga sepakat dengan pandangan Agus Surono bahwa perbuatan pidana haruslah didasarkan pada mens rea. Pasalnya, jika tidak ada mens reanya, maka seseorang itu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Hal itulah, yang terjadi pada kasus Surya Darmadi.

"Nah oleh karenanya, suatu perbuatan yang tidak ada mens rea, dan kemudian tidak perbuatannya, itu tidak boleh dikatakan sebagai sesuatu yang bisa dimintai pertanggungjawaban atau tindak pidana," katanya.

Di sisi lain, saksi Fungsional Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Mulya Pradata menjelaskan bahwa belum ada penetapan kawasan hutan di Riau.

Menurutnya, para pihak masih belum menemukan kesepakatan. Oleh karenanya, ada pemaduserasian antara Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan dan Peta Tata Ruang.

"Dari hasil pemaduserasian itu nanti diharapkan sudah ada kesesuaian tata ruang Provinsi dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan. Sehingga, dari hasil pemaduserasian, terbit SK Nomor 878 yang tahun 2014," pungkasnya. (Pon)

Baca Juga

Saksi Patahkan Dakwaan TPPU Surya Darmadi

Sentimen: negatif (99.2%)