Sentimen
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Jimly Sebut Revisi UU Ciptaker Tidak Sulit Ketimbang Terbitkan Perppu
Kompas.com Jenis Media: Nasional
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, pemerintah seharusnya mengutamakan revisi Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang dibatalkan oleh MK ketimbang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 yang akhirnya menuai polemik.
"Kalau ada niat dan tulus untuk bangsa dan negara, tindak lanjut putusan MK soal uji formil pembentukan UU Ciptaker tidak sulit untuk dikerjakan dalam waktu 2 tahun," kata Jimly dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Menurut Jimly, sebenarnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih mempunyai waktu untuk melakukan revisi UU Cipta Kerja sebelum tenggat yang ditetapkan MK berakhir pada November mendatang.
Baca juga: Soal Perppu Cipta Kerja, Menaker: Sejatinya Ini Ikhtiar Pemerintah Beri Perlindungan bagi Pekerja
"Susun saja undang-undang baru dalam waktu 7 bulan sekaligus memperbaiki substansi materi pasal-pasal dan ayat-ayat yang dipersoalkan ditengah masyarakat dengan sekaligus membuka ruang partisipasi publik yang meaningful (bermakna) dan substansial sesuai amar putusan," ucap Jimly.
Jimly berharap semua pihak yang berkepentingan tetap berpegang kepada norma Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 supaya polemik Perppu Cipta Kerja tidak berkepanjangan.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Perppu Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022) menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada November 2021.
MK menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Dikritik, Menkumham: Biasalah, Kritik Itu Normal
Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak. Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU.
Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.
Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.
Baca juga: Soal Perppu Ciptaker, Menkumham: Tidak Bisa 100 Persen Memuaskan Masyarakat
Keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja dikritik keras oleh Koordinator Tim Kuasa Hukum Penggugat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Viktor Santoso Tandiasa.
"Tindakan ini adalah bentuk perbuatan melanggar hukum pemerintah atas putusan MK. Bahkan, dapat dikatakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi," ujar Viktor kepada Kompas.com.
Viktor menyatakan bahwa MK dalam putusannya mengamanatkan agar pemerintah dan DPR memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dan memaksimalkan partisipasi publik.
Bukannya menjalankan amanat konstitusi tersebut, pemerintah justru melakukan pembangkangan dan mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu.
Baca juga: Dianggap Terburu-buru dan Timbulkan Polemik, Pekerja Desak Pemerintah Cabut Perppu Cipta Kerja
"Sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, apabila dalam dua tahun atau sampai dengan 25 November 2023 tidak diperbaiki, maka akan inkonstitusional secara permanen," papar Viktor.
"Namun, ternyata pemerintah bukannya memanfaatkan dua tahun ini untuk memperbaiki tapi malah mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu," tutur dia.
Terkait hal itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 itu diharapkan kepastian hukum bisa terisi dan ini menjadi implementasi dari putusan MK.
Airlangga mengatakan, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat telah mempengaruhi perilaku dunia usaha dalam dan luar negeri yang menunggu keberlanjutan UU tersebut.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja dan Jebakan Produktivitas Semu
Oleh sebab itu, pemerintah menilai, perlu ada kepastian hukum dari UU tersebut karena pemerintah mengatur bahwa defisit anggaran tahun depan sudah tidak boleh lebih dari 3 persen dan menargetkan investasi sebesar Rp 1.400 trilun.
Menurut Ketua Umum Partai Golkar itu, Perppu Cipta Kerja juga mendesak dikeluarkan karena Indonesia dan semua negara tengah menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.
"Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi," kata Airlangga dalam konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Airlangga menyebutkan Indonesia kini menghadapi potensi resesi global, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi.
Baca juga: Buruh Kaget Isi Perppu Cipta Kerja 99 Persen Berbeda dengan Draf yang Diusulkan
Selain itu, jumlah negara yang bergantung ke Dana Moneter Internasional (IMF) pun disebut semakin bertambah.
"Jadi kondisi krisis ini untuk emerging developing country menjadi sangat real, dan juga terkait geopolitik tentang Ukraine-Rusia dan konflik lain juga belum selesai," ujar Airlangga.
-. - "-", -. -
Sentimen: negatif (96.6%)