Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: PHK
OPINI: Usaha Rintisan Digital Menghadapi Resesi & Endemi
Harianjogja.com Jenis Media: News
Bagai dua mata uang bagi usaha rintisan, kepercayaan konsumen dan rasa optimisme investor. Keduanya merupakan buah strategi dan inovasi para punggawa usaha rintisan dalam 12 tahun terakhir dan kini tengah berguguran di saat dunia sedang menghadapi ancaman resesi global serta menjelang endemi.
Kondisi makro nasional maupun global tengah menghadapi ketidakpastian. Meskipun, benteng perekonomian nasional cukup kuat, harap cemas imbas resesi global tak bisa dinafikan. Terlebih lagi bagi sektor usaha rintisan (startup). Kondisi makro yang kurang kondusif pada tahun depan menambah berat beban para pelaku usaha sekaligus investor.
Situasi itu akan memperpanjang fenomena tech winter, menambah deras gulungan ombak yang menghantam bisnis usaha rintisan. Sepanjang 2022, berbagai usaha rintisan mulai dari kategori big tech hingga yang baru tumbuh ikut karam. Dampaknya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Per Desember 2022, lebih dari 20 usaha rintisan digital di Indonesia melakukan PHK.
Para pelaku startup kini menempuh jalur lebih terjal dibandingkan satu dekade lalu, saat perusahaan teknologi mengalami momentum terbaik. Kini, para investor dan modal ventura di tengah kondisi makro global yang tertekan memaksa mereka melihat kinerja konkret.
Fenomena “bakar uang” serta upah mewah bagi startup seakan memasuki babak akhir. Para investor melecut usaha rintisan untuk segera mencetak profit. Di titik inilah ujian sesungguhnya usaha rintisan. Fondasi bisnis yang kuat dan berkesinambungan merupakan juru selamat terbaik.
Momentum pandemi yang merupakan motor akselerasi selama dua tahun belakangan tidak selamanya diharapkan berlanjut. Semua pihak berharap kondisi pandemi segera beralih kepada endemi. Imbasnya, usaha rintisan yang tidak lagi relevan bakal tergulung. Persoalan ini menambah berat beban hidup startup di tengah ancaman resesi.
Dari persoalan tersebut, penulis yang juga praktisi ekonomi digital telah lama menyimpulkan transformasi usaha rintisan di tengah momentum pertumbuhan. Sebagai investor perusahaan teknologi, penulis telah lama menerapkan prinsip dasar untuk menemukan mitra founder startup yang sejalan.
Prinsip ini akan mengembangkan sikap investasi bagi usaha rintisan, mereka tidak akan boros dalam hal yang tak penting. Sebagian dana masuk akan dipergunakan sebagian besar untuk pengembangan fitur, inovasi fitur terbaru, hingga pengembangan solusi-solusi bagi konsumen.
Penulis melalui lengan investasi digital Ventura Capital juga menerapkan metode investasi yang unik. Pertama, secara langsung ikut membangun dan mendanai usaha rintisan. Selanjutnya, investasi yang diberikan kepada usaha rintisan pre IPO. Dua strategi lainnya yakni kemitraan dengan pemain global maupun perluasan kolaborasi dengan jaringan bisnis milik grup induk perusahaan. Kedua strategi ini harus melalui kajian dan pendekatan yang jeli.
Di sisi lain, secara keseluruhan dalam situasi resesi dan fase endemi, strategi investasi itupun tetap sama. Hanya saja, benang merah yang paling mendasar adalah menemukan mitra founder atau usaha rintisan yang mau berupaya secara berkesinambungan melahirkan layanan solutif bagi pasar.
Hal inilah yang cenderung dilupakan baik investor maupun pelaku usaha rintisan. Pendanaan yang masuk berapapun besarnya akan menjadi berarti jika para pelaku di dalam usaha rintisan bersemangat untuk selalu menyajikan inovasi dan relevansi pasar.
Omnichannel
Persoalan kemudian, yang jarang diakui para pelaku dan investor usaha rintisan adalah keampuhan kolaborasi antara layanan digital dan konvensional. Sejak semula, Lippo Group merealisasikan berbagai strategi yang disebut omnichannel.
Dengan strategi omni ini, usaha rintisan akan memberlakukan layanan sejalan garis business to consumer (B2C) tidak sekadar consumer to consumer (C2C). Dengan jaringan layanan konvensional yang bisa divaluasi secara konkret, serta menangkap perubahan pola belanja era endemi, maka usaha rintisan B2C dipastikan menjadi primadona ke depan.
Lanskap bisnis era digital tidak bisa dilakukan secara fragmentasi maupun parsial. Kemunculan perusahaan teknologi itupun masih juga membutuhkan infrastruktur bisnis konvensional. Ini telah dicontohkan Alibaba atau di sini Tokopedia dengan MPPA. Contoh teranyar juga diperlihatkan Blibli (BELI). Omnichannel membuka peluang bagi ekosistem digital memangkas rantai pasok sekaligus menggalang profit lebih cepat.
Dengan paparan dan rekomendasi yang telah dijabarkan, setidaknya dalam menghadapi situasi pada 2023, ada banyak hal bisa dilakukan ekosistem usaha rintisan digital.
Tentunya paling utama adalah prinsip para founder dan investor yang selalu ingin memberikan solusi bagi masyarakat, karena itu mata uang yang tak pernah bisa ditukar dan harus mampu menjawab kebutuhan pasar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Sentimen: negatif (87.7%)